Beberapa waktu terakhir ini, kita menyaksikan beberapa peristiwa yang menggambarkan betapa menantang dan rentannya hidup dalam keberagaman. Dari soal tudingan penistaan agama, sertifikasi halal untuk produk makanan bahkan profesi pengacara, hukum cambuk, tuntutan kriminalisasi atas ranah pribadi, dan lain sebagainya yang juga pernah kami angkat di portal ini.
Meskipun peristiwa tersebut dianggap sebagai bagian dari dinamika demokrasi, dalam praktiknya, kejadian-kejadian tersebut mendorong kita untuk merenungkan kembali makna ‘masyarakat’ dan yang tidak kalah pentingnya soal ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang kita tahu dan banggakan selama ini.
Dalam tulisannya mengenai komunitas politik, Chandran Kukathas, seorang teoritikus politik Australia kelahiran Malaysia (2005) menyebutkan bahwa pada dasarnya semua komunitas adalah ‘asosiasi parsial’. Masyarakat dalam hal ini adalah sekumpulan individu yang sepakat soal pemahaman ranah privat dan publik dalam komunitas tersebut. Dalam colloquium Liberty Fund dan IDEAS akhir bulan Oktober lalu di Kuala Lumpur, diskusi mengenai komunitas dan keberagaman menjadi salah satu topik yang cukup hangat diperdebatkan.
Misalnya, soal definisi Kukathas yang terlalu ideal dan tidak jelas dalam praktiknya, terutama ketika berbicara soal para pihak yang terlibat dalam kesepakatan soal suatu komunitas, kepentingan yang terkait dan relasi kuasa yang terlibat. Hal ini tentu sangat mempengaruhi kesepakatan soal ranah publik dan privat dalam komunitas terkait, terutama berangkat dari siapa saja yang menyepakati dan menentukan hal tersebut sebelum berlaku bagi anggota komunitas secara keseluruhan.
Selain itu, perbincangan soal keberagaman sebagai praktik dari demokrasi dan wujud kebebasan juga membahas apakah kebebasan mempraktikkan keberagaman juga diikuti oleh kebebasan individu dalam masyarakat untuk keluar dari kesepakatan yang ada dan meninggalkan komunitas tersebut jika merasa tidak nyaman. Di poin itulah, seorang libertarian akan sangat tergelitik untuk mempertanyakan kebebasan individu sebagai bagian dari komunitas yang beragam.
Tom Gordon Palmer, seorang penulis libertarian dan Senior Fellow the Cato Institute, dalam artikelnya mengenai globalisasi dan kebudayaan (2004) mengutip Mario Vargas Llosa, terkait kebebasan individu dalam komunitas. Mario adalah jurnalis Peru yang juga Penerima Nobel bidang Sastra tahun 2010. Ia mengatakan bahwa “upaya untuk memaksakan suatu identitas budaya sama saja dengan memenjarakan orang-orang dan melanggar kebebasan yang paling berharga, yaitu untuk memilih apa, bagaimana, dan menjadi siapapun yang mereka mau.
Argumen Mario sangat penting karena tidak seharusnya masyarakat 100% menentukan dan mengatur kebebasan individu di dalamnya. Apalagi jika mengacu pada definisi soal komunitas yang disebutkan Kukathas soal asosiasi parsial komunitas dan kesepakatan soal ranah publik dan privat. Untuk itu, pemahaman soal masyarakat sebagai asosiasi parsial perlu ditekankan karena tiap individu berafiliasi dengan beragam asosiasi lainnya dan penghargaan terhadap hak asasi manusia adalah suatu keniscayaan.
Selain itu, tiap individu mempunyai persepsi berbeda dalam memaknai kebebasan, keberagaman, dan konteks dimana mereka berada. Tidak heran maka sebagai libertarian, langkah awal yang bijak dan seharusnya adalah mengakui dan menerima keberagaman dan menghargai kebebasan individu, serta menjunjung tinggi ‘rule of law’.
Menjadi bagian masyarakat juga membawa pertanyaan seperti apa manfaat menjadi bagian dari satu kesatuan komunitas? Dimanakah praktik keberagaman dalam komunitas yang mengaku menjunjung tinggi dan bangga akan ‘Bhinneka Tunggal Ika’? Apa harga yang harus dibayar ketika kita keluar dari suatu entitas dan membentuk komunitas yang baru?
‘Bhinneka Tunggal Ika’ dengan peristiwa-peristiwa yang mengancam kebebasan individu dan keberagaman cenderung dijadikan jargon untuk mempertahankan kesan harmonis terkait hidup bersama dan bersatu dalam negara yang multikultur. Di sisi lain, konflik menjadi bagian yang wajar dalam fenomena sosial dan hidup dalam keberagaman.
Pertanyaannya kemudian, mengapa kita harus mengikuti aturan yang diskriminatif dan di saat yang bersamaan masih berusaha percaya soal ‘Bhinneka Tunggal Ika’ atau dipaksa bersatu dalam keberagaman yang seolah-olah ada? Di sini, ‘unity’ hanya akan menjadi utopia dan pepesan kosong jika tidak dimaknai dengan sebenar-benarnya. ‘Unity’ juga hanya akan berhenti sebagai slogan manis yang tidak realistis saat ada ketidakpuasan terhadap sikon yang ada, seperti diskriminasi dan pemaksaan kehendak atas nama kepentingan tertentu.
Seperti yang juga muncul dalam colloquium di Kuala Lumpur, akan sangat berbahaya jika ‘unity’ dinilai dan dipahami sebagai keharusan untuk ‘uniform’ terhadap setiap individu dalam segala hal, termasuk soal sikap dan pendapat pribadi mengenai suatu isu. Di satu sisi, krisis dan konflik bermanfaat sebagai bagian dari refleksi atas situasi yang ada, terutama untuk memperbaiki kehidupan dalam keberagaman dan menghargai serta melindungi hak asasi manusia, terutama kebebasan individu dalam komunitas.
Di sisi lain, jika permasalahan soal keberagaman dan konflik tidak dikelola dengan baik, maka yang berbahaya adalah ‘unity’ akan menjadi sesuatu yang diterima begitu saja sebagai slogan dan orang tidak akan peduli akan makna ‘Bhinneka Tunggal Ika’ sebenarnya atau seharusnya. Hal ini disebabkan karena konsep ini sudah dianggap ‘politically correct’ dan harga mati terutama oleh siapapun yang berkepentingan untuk mempertahankan konsep itu begitu saja.
Ketika individu bertahan dalam suatu komunitas kemungkinannya karena tiga hal. Pertama, individu tersebut memang merasakan manfaat dari komunitas yang ada karena menjamin kebebasan individu dan keberagaman lewat penegakan hukum. Kedua, individu terkait tidak memiliki pilihan atau pemahaman yang cukup tentang kebhinnekaan, serta tidak cukup berdaya untuk mengkritik, menentang, atau keluar dari komunitas yang ada. Ketiga, individu tersebut ‘terlena’ atau menerima ‘Unity in Diversity’ begitu saja sebagai suatu konsep yang sempurna.
Yang jelas ‘unity’ tanpa asas manfaat dan diskriminasi yang kental akan cenderung menciptakan ketidakpuasan dan konflik yang bukan tidak mungkin mengarah pada disintegrasi yang mempertanyakan otoritas dan ‘kesepakatan’ untuk tetap berada dalam suatu entitas. Tanpa lingkungan yang kondusif untuk kebebasan individu untuk berkembang akan sulit membayangkan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dalam arti yang sebenarnya.

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org