Memperoleh Informasi Publik Adalah Hak Konstitusional Warga Negara

    1885

    Salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang demokratis adalah hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Di negara-negara demokrasi, pengakuan terhadap hak atas informasi merupakan sarana untuk memantau dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan.

    Pemerintahan yang demokratis akan berusaha semaksimal mungkin membuka ruang informasi yang dibutuhkan publik. Itu sebabnya, di negara demokratis konstitusional, keterbukaan informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan penyelenggaraan negara secara umum, mengoptimalkan peran dan kinerja badan publik, serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik (Subagyo, 2008). Keterbukaan terhadap informasi publik juga mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Partisipasi atau pelibatan masyarakat tidak banyak berarti tanpa jaminan keterbukaan informasi publik.

    Jaminan Hak warga negara Indonesia untuk memperoleh Informasi telah diatur oleh Konstitusi, berdasarkan Pasal 28F UUD 1945, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

    Sebagaimana juga diatur berdasarkan Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”.

    Rakyat yang mendapatkan informasi dengan baik akan menjadi kekuatan dan aktor dalam proses penentuan dan pengawasan kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada pemikiran dan pengalaman empirik bahwa: Pertama, publik yang lebih banyak mendapat informasi dapat berpartisipasi lebih baik dalam proses demokrasi. Kedua, parlemen, pers, dan publik harus dapat dengan wajar mengikuti dan meneliti tindakan-tindakan pemerintah; kerahasiaan adalah hambatan terbesar pada pertanggungjawaban pemerintah.

    Ketiga, pegawai pemerintahan mengambil keputusan-keputusan penting yang berdampak pada kepentingan publik, dan agar bertanggung jawab, pemerintah harus menyediakan informasi yang lengkap mengenai apa yang dikerjakan. Keempat, arus informasi yang lebih baik menghasilkan pemerintahan yang efektif dan membantu pengembangan yang lebih fleksibel. Dan yang terakhir, kerja sama antara publik dan pemerintah akan semakin erat karena informasi yang semakin banyak tersedia (Parwiyanto, 2009).

    Sebagai hak asasi pada umumnya yang bersifat universal, hak atas informasi tidak bersifat absolut. Hak ini dapat dikesampingkan (derogate) dalam kondisi darurat, dan dibatasi (subject to certain restrictions) untuk kepentingan-kepentingan publik. Salah satu pembatasan yang sah adalah “keamanan nasional”, sebagaimana yang tercantum dalam Artikel 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR), yang berbunyi “For the protection of national security or of public order, or of public health or morals.”

    Aturan pembatasan lebih lanjut dalam ICCPR sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, khusus berkenaan dengan keamanan nasional dan kebebasan memperoleh informasi telah dirumuskan dalam The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information. Hal tersebut juga sudah diadopsi melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

    Secara teoritis, pemberian jaminan akses informasi kepada masyarakat menunjukkan komitmen penyelenggara negara dalam melindungi Hak Asasi Manusia. Konsepsi munculnya kebebasan terhadap informasi pertama kali dituangkan di Swedia melalui Freedom of the Press Act 1776 (Calland, 2010).  Sejak tahun 1946, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Resolusi 59 (1), yang menyatakan bahwa “kebebasan informasi adalah hak asasi yang fundamental dan merupakan tanda dari seluruh kebebasan yang akan menjadi titik perhatian PBB” (Febrianingsih, 2012).

    Hak atas informasi diakui secara internasional dalam Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR/ DUHAM), dan Pasal 19 Section 2 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Pasal 19 DUHAM menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan- keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas negara.”

    Amartya Sen, pada tahun 1999, memperkenalkan konsep kebebasan sebagai tujuan pembangunan (development as freedom), dengan mengatakan bahwa pembangunan hanya bisa dilihat sebagai proses pengembangan kebebasan yang sebenarnya yang bisa dinikmati masyarakat. Lebih lanjut, Amartya Sen menyatakan bahwa terdapat lima instrumen penting untuk mencapai kemerdekaan tersebut. Salah satunya adalah jaminan atas transparansi. Misalnya, tersedianya informasi yang jelas dan terpercaya atas kondisi politik yang tengah berlangsung. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keterbukaan terhadap informasi dapat meningkatkan kualitas hidup manusia (Sen, 1999).

    Namun, komitmen pemerintah dan DPR dalam pemenuhan hak atas informasi publik, khususnya terhadap rancangan kebijakan, dan regulasi yang berlaku masih minim. Hal ini dapat kita lihat pada peristiwa politik September 2019 lalu, di mana banyak terjadi penolakan pengesahan beberapa RUU dari masyarakat. Di sisi lain, banyak masyarakat yang tidak membaca karena tidak bisa mengakses RUU tersebut. Kejadian yang sama juga terjadi saat ini dalam pembahasan dan penyusunan RUU Omnibus Law. Selain itu, database yang bisa diunduh dan tersedia dari website milik Pemerintah juga tidak lengkap.

    Bahwa kewajiban pemerintah dan DPR untuk menyebarluaskan Prolegnas, RUU, dan UU, sudah diatur berdasarkan Pasal 88 sampai dengan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan-Perundang-Undangan, kemudian dipertegas pada Pasal 96 ayat (4), yang menyatakan. “Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.”

    Adapun maksud dari penyebarluasan informasi suatu Rancangan Undang-Undang hingga Pengundangan Undang-Undang adalah untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan dari masyarakat dan para pemangku kepentingan.  Hal ini juga tertuang dalam Pasal 170 sampai dengan Pasal 179 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014.

    Kebutuhan akan pemenuhan informasi hukum sangat penting bagi masyarakat, karena berlaku apa yang disebut dengan Fiksi Hukum. Fiksi Hukum adalah suatu asas yang menyatakan bahwa ketika suatu Peraturan Perundang-Undangan telah diundangkan, maka setiap orang dianggap sudah tahu hukum tersebut (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut sudah mengikat, tanpa terkecuali. Ketidaktahuan seseorang akan hukum yang sudah diundangkan tidak dapat membebaskan dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).

    Prinsip persamaan kedudukan warga negara di mata hukum, sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, hanya mungkin terwujud jika setiap warga negara mengetahui hukum yang berlaku. Demikian pula halnya dengan pemenuhan hak-hak lainnya. Setiap kebijakan dan Undang-Undang yang disahkan akan mengikat mutlak setiap warga negara. Maka seharusnya, warga negara berhak mendapatkan informasi dan terlibat sejak awal proses legislasi sampai diundangkan. Mandat rakyat tidak terputus begitu saja di bilik suara ketika memilih presiden dan anggota DPR.

     

    Referensi:

    Calland, Richard. 2010. The Impact and Effectiveness of Transparency and Accountability Initiatives A review of the evidence to date Freedom of Information. Institute of Development Studies. Hlm. 3.

    Febrianingsih, Nunuk. 2012. Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Terbuka Menuju Tata Pemerintahan yang Baik.  Jurnal Rechtsvinding,Vol. 1, Nomor 1. Hlm. 136.

    Parwiyanto, Herwan. 2009. Kaidah Transparansi & Kepentingan Umum, http://herwanparwiyanto.staff.uns.ac.id. Diakses pada 28 Februari 2020, pukul 14.45 WIB.

    Sen, Amartya. 1999. Development as Freedom, New York: Alfred A. Knopf, Inc. Sebagaimana dikutip Lembaga Informasi Nasional, Pengkajian dan Pengembangan Standar Transparansi dan Kebebasan Memperoleh Informasi, Buku 4, Lembaga Informasi Nasional Jakarta, 2001. Hlm 5.

    Subagiyo, Henri,et.al, 2009. Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (edisi pertama). Gajah Hidup Print, Jakarta. Hlm. 4.