Kebebasan adalah hal yang lahir sebagai bagian dari kehendak bebas (free will) dan merupakan salah satu hal yang masih dicita-citakan hingga saat ini. Secara konsep, kebebasan yang dimiliki manusia terbagi menjadi dua, yaitu kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan positif artinya seseorang memiliki kebebasan untuk menentukan sesuatu (freedom of choice), sedangkan kebebasan negatif memiliki arti bahwa tidak ada boleh ada paksaan dari pihak luar terhadap kebebasan seseorang (Berlin 2002). Semua orang mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan politik, sosial, ekonomi, dan budayanya masing-masing tanpa boleh ada paksaan dari pihak lain. Konsep tersebut menjadi basis dari kebebasan berpendapat yang notabenenya merupakan sebuah hak asasi manusia. Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) telah menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk bebas dalam berekspresi dan berpendapat. Dengan demikian, secara internasional, kebebasan berpendapat adalah hal fundamental yang dilindungi.
Namun, meskipun kebebasan berpendapat adalah hak asasi bagi seluruh umat manusia, nyatanya di Indonesia masih banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk membungkam kebebasan berpendapat rakyatnya. Dikutip dari situs milik Komnasham, sepanjang tahun 2020 hingga 2021, terdapat 44 kasus pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dialami oleh masyarakat (Komnasham 2022). Tidak hanya sampai situ, saat ini kebebasan berpendapat di Indonesia semakin dibatasi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang baru. Dalam rancangan undang-undang tersebut terdapat beberapa pasal yang sangat kontroversial. Beberapa diantaranya adalah Pasal 218-220 tentang penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240-241 tentang penghinaan pemerintah yang sah, dan Pasal 351-352 tentang penghinaan kekuasaan umum/lembaga negara. Adanya pasal-pasal tersebut di RKUHP mencerminkan bahwa pemerintah semakin antikritik yang disampaikan oleh rakyatnya. Padahal, Indonesia sebagai negara demokrasi sudah menjamin kebebasan berpendapat rakyatnya melalui konstitusi negara Indonesia (Syafriadi 2018). Pengekangan terhadap kebebasan mengemukakan pendapat oleh Pemerintah Indonesia merupakan indikasi stagnansi bahkan kemunduran demokrasi (Manan 2016).
Apabila meninjau dari segi historisnya, kebebasan berpendapat adalah hal yang sejak zaman dahulu diperjuangkan dan dicita-citakan oleh banyak orang. Sejak masa penjajahan oleh
kolonial Belanda hingga masa kepemimpinan Presiden Soeharto di zaman Orde Baru, rakyat Indonesia terus terkekang dengan bayang-bayang pemimpin yang antikritik dan otoriter. Masa Reformasi sudah seharusnya menjadi awal dari perubahan yang lebih baik bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Namun, yang terjadi saat ini justru merupakan kebalikan dari semangat reformasi yang diperjuangkan dan dicita-citakan oleh masyarakat pada generasi sebelumnya (Kurniawan 2021).
Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan yang sudah diperoleh saat ini di tengah terancamnya kebebasan berekspresi di Indonesia. Di tengah kemajuan teknologi yang semakin pesat saat ini, generasi muda penerus bangsa sudah seharusnya menjadi garda terdepan dalam upaya perlindungan kebebasan berekspresi di Indonesia. Terlebih lagi upaya-upaya pembungkaman sering terjadi di ranah digital, yaitu media sosial. Namun, generasi muda yang ada saat ini cenderung apatis dan bersikap tidak mau tahu terhadap masalah-masalah yang sedang dialami oleh rakyat Indonesia. Mereka hanya peduli ketika masalah tersebut sudah berdampak langsung dan merugikan bagi mereka. Padahal, kerugian-kerugian yang ditimbulkan dengan adanya pembatasan dalam kebebasan berpendapat sudah dialami oleh masyarakat.
Apabila dianalisis secara mendalam, permasalahan yang ada di generasi muda saat ini adalah kurangnya wawasan dan pendidikan politik, sehingga generasi-generasi muda tersebut tidak mengerti dengan masalah politik yang sedang terjadi di Indonesia, bahkan cenderung menghindari masalah-masalah tersebut. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat pendidikan politik di Indonesia yang masih kurang memadai dan kurang diperhatikan. Seharusnya, generasi muda memiliki peran sebagai agen perubahan yang mampu melakukan advokasi dan menggunakan suaranya untuk memperjuangkan kebebasan berpendapat di Indonesia.
Referensi
Berlin, I, (2003, Februari 27), Stanford: Positive and Negative Liberty. Retrieved from plato.stanford.edu: https://plato.stanford.edu/entries/liberty-positive-negative/.
Kurniawan, L. (2021, Oktober 8), Suara Kebebasan: Mengapa Kita Harus Menjaga Kebebasan. Retrieved from suarakebebasan.id: https://suarakebebasan.id/mengapa-kita-harus-menjaga-kebebasan/.
L, Kabar. (2022, Januari 17). Komnas HAM: Pelanggaran Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Terjadi di Ruang Digital. Retrieved from komnasham.go.id: https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2022/1/17/2065/komnas-ham-pelanggaran-kebebasan-berekspresi-dan-berpendapat-terjadi-di-ruang-digital.html.
Manan, B, (2016). Pers, Hukum, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Dewan Pers. 39.
Syafriadi, (2018). Hukum Pers dalam Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: Suluh Media. 97.

Bentang Sasmita Giawa lahir di Bandung, 30 Agustus 2002. Ia adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.