
Pada setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia selalu memperingati Hari Pahlawan. Anak-anak sekolah biasanya mengadakan studi tour ke museum atau taman makam pahlawan untuk doa bersama sekaligus memperingati perjuangan mereka.
Tradisi ini sudah dilakukan selama bertahun-tahun. Saya sendiri merasa bahwa tradisi ziarah makam para pahlawan adalah hal baik, sebab dengan berziarah, ada masa agar anak muda melakukan refleksi untuk mengenang mereka yang berjuang untuk negeri ini. Namun sayangnya, dalam mata pelajaran sejarah yang diajarkan kepada para siswa, terdapat beberapa distorsi pemahaman terhadap pahlawan kita. Banyak yang menganggap bahwa gelar pahlawan hanya pantas disematkan bagi mereka yang berjuang di medan peperangan.
Padahal seorang pahlawan tidak dikaitkan dengan tentara atau militer. Seorang pahlawan adalah sosok yang berjuang dengan dedikasi tinggi untuk orang lain, dan memiliki dampak yang besar bagi perubahan masyarakatnya.
***
Pada hakikatnya, pahlawan kemerdekaan jangan hanya diperlihatkan sebagai sosok ‘melawan’ Belanda atau pemerintah penjajah dengan kekuatan senjata, melainkan mereka yang turut menentang sistem penjajahan, kebebasan atau kemerdekaan, dan menjadi pelopor bagi kemajuan bangsanya.
Tercatat banyak sekali tokoh bersejarah yang diabaikan perannya karena tak ikut dalam peperangan merebut kemerdekaan. Padahal, esensi memperjuangkan kemerdekaan bukan hanya menyerang musuh dengan senjata, tetapi dengan gerakan massa, gerakan pendidikan, dan kampanye yang menghujam nurani masyarakat.
Berikut adalah tokoh-tokoh pahlawan kebebasan kita yang berjasa mengarahkan sejarah kita menuju kepada kemerdekaan nasional.
- Edward Douwes Dekker
Lahir di kota Amsterdam, Belanda pada 20 Maret 1821 dari keluarga pelaut. Karena bosan dengan pendidikan di Universitas, ayah Dekker mengirim anaknya ke Hindia-Belanda untuk bekerja sebagai administrator keuangan.
Setelah ke Batavia, ia dipindahkan ke Natal, Sumatera Utara. Setelah pulang kembali ke Belanda, Pemerintah Hindia-Belanda memberikan jabatan sebagai asisten residen bagi Douwes Dekker di Purworejo, lalu ke Manado, Bogor, dan Ambon.
Tak betah dengan sikap Gubernur Ambon yang terlampau mengekang kebebasan Dekker sebagai Ambtenaar, akhirnya Dekker meminta mengajukan pemindahan ke Lebak, Banten. (Historia.id, 03/03/2020). Di Lebak ini, ia merasakan “neraka” yang merupakan cerminan dari kolonialisme Belanda. Sistem tanam paksa yang menyengsarakan rakyat, monopoli usaha Belanda, kaum feodal yang memaksa rakyat bekerja dan pejabat di sana memeras pajak dari rakyat dengan angka yang tak rasional.
Sebagai asisten residen di Lebak, jiwa kemanusiaan Dekker memberontak. Bupati Lebak biasa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi dan pajak yang diwajibkan kepada penduduk. Hal ini tidak bisa diterima karena bupati terlalu banyak merampas properti warga dan memperpanjang jam kerja sosial masyarakat tanpa upah yang jelas. (Historia.id, 09/10/2015). Dengan emosi meledak-ledak, Dekker kemudian menulis surat kepada atasannya, Resident C.P. Brest van Kempen. Ia menjelaskan bagaimana sistem tanam paksa, upeti maksimum, dan kerja rodi telah menyengsarakan rakyat Lebak.
Dekker juga bercerita bahwa Bupati dan bangsawan lokal berkomplot untuk membunuh siapapun yang berusaha menjegal praktik tak manusiawi di Lebak. Laporan tersebut membuat Resident kaget bukan kepalang. Ia bersedia melakukan sidak dan audit tetapi tak berani memecat para bangsawan yang menjabat di Banten. Dekker marah dan mengirim surat kepada Gubernur Jenderal A.J. Duymaer van Twist. Duymaer dikenal sebagai tokoh politisi liberal di Belanda. Namun membaca surat Dekker, wajah Duymaer menjadi pucat dan diam 1000 bahasa.
Dekker yang putus asa meninggalkan Lebak dan kembali ke Belanda. Di sana, hidupnya hancur karena tak memiliki pekerjaan. Di sela-sela rasa frustasinya, ia masih meneruskan laporan soal Lebak. Namun, laporan itu dibingkai dalam bentuk sastra, sehingga lahirlah novel “Max Havelaar”.
Douwes Dekker sendiri menggunakan nama pena “Multatuli”, yang artinya “Aku sangat menderita”. Novel yang terbit pada tahun 1860 tersebut menggemparkan masyarakat Belanda. Karya tersebut dicetak ulang pada tahun 1875 dan menyebar di seluruh Eropa.
Douwes Dekker berhasil mengobarkan semangat anti kezaliman dan mendorong agar ideologi rasis bangsa Eropa yang diimplementasikan dalam sistem kolonialisme dihentikan. Hingga akhir abad ke-19, suara Douwes Dekker masih terasa dan mendorong pemerintah Kerajaan Belanda menerapkan “politik etis” di Hindia Belanda.
2. Mochtar Lubis
Namanya kurang dikenal oleh sebagian orang, namun sejarah mencatatnya sebagai sang pemberani dan kesatria demokrasi yang konsisten berjuang tanpa rasa takut. Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, meski begitu ia adalah seorang Batak dengan memiliki marga Lubis di belakang namanya.
Sejak era Kemerdekaan, ia merupakan tokoh pers yang memiliki pena tajam, baik kepada kolonial Belanda maupun pemerintah Indonesia. Apa yang keluar dari penanya, menghujam tajam dan tanpa ampun menyerang siapapun yang dianggap oleh Mochtar bersalah. Mochtar adalah wartawan yang jujur, anti korupsi, dan anti pada kediktatoran. Ia mengkritik feodalisme yang mengkotak-kotakkan dan mendiskriminasi masyarakat. Ia juga menolak sistem otoriter yang mengikat kebebasan rakyat dan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap warga sipil. Karena itulah koran yang diasuhnya, “Indonesia Raya” selalu membuat gerah banyak orang dan ditakuti oleh para politisi dan militer. Akibat suara kritisnya dalam membongkar kesewenang-wenangan dan korupsi, Mochtar Lubis ditangkap dan dipenjara hampir 9 tahun lamanya (Ensiklopedia Kemendikbud).
Pada tahun 1966, Mochtar Lubis dibebaskan dan ia mendirikan kembali Koran “Indonesia Raya: pada tahun 1968. Tak kapok ditangkap, Mochtar tetap kritis terhadap pemerintah, bahkan ia mengkritik sikap masyarakat Indonesia yang hipokrit dalam menghadapi kejahatan. Banyak orang menyebut bahwa koran “Indonesia Raya” adalah koran “anarki”, namun tuduhan itu tidak berdasar. Mochtar hanya berusaha menjunjung tinggi kebenaran dan kebebasan pers (Tirto id, 02/07/2019). Ia tak mau menjadi sosok yang bermanis-manis muka di depan tapi menghina di belakang. Ia ingin menjadi tokoh yang apa adanya.
3. Munir Said Thalib
Ia bukan sosok yang ikut bertempur di medan perang. Munir juga bukan tokoh yang membantu mengetik naskah proklamasi. Ia adalah sosok yang vokal menyuarakan hak asasi manusia dan keadilan untuk kaum lemah. Munir Said Thalib lahir di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965. Ia menempuh pendidikan di jurusan Hukum di Universitas Brawijaya (Republika.co.id, 23/01/2018).
Selepas kuliah, ia aktif menjadi advokat dan bekerja di Lembaga Bantuan Hukum yang melayani berbagai keluhan masyarakat. Ia kemudian menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Ia giat mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Ia tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh oknum ABRI.
Pada tahun 1998, Munir ikut mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Organisasi ini berdiri untuk melayani dan melindungi masyarakat yang kerap pendapat perlakuan biadab oleh aparat, baik berupa kekerasan atau penghilangan paksa (KontraS, 2006).
Tanpa kenal takut, Munir mengadvokasi kasus-kasus besar, seperti pelanggaran HAM di Aceh, korban Tragedi Semanggi, dan berbagai kasus lainnya yang ditutupi pemerintah sejak era Orde Baru. Suara nyaring Munir yang tak gentar membela keadilan dan HAM membuat musuh-musuhnya ketakutan. Akhirnya, dibuat sebuah plot untuk membunuh Munir ketika pahlawan HAM itu ingin melanjutkan studi ke Belanda. Munir akhirnya tewas karena konspirasi jahat, setelah dirinya diketahui menyantap hidangan yang telah ditambah racun.
Banyak tokoh nasional dan militer Indonesia yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir ini. Meski sampai sekarang pelakunya masih belum diketahui, namun nama Munir tetap membakar jiwa generasi penerus untuk menjadi pejuang dan penegak keadilan.
Itulah tiga pahlawan kita yang kerap tak terdengar oleh hingar bingar pemberitaan. Ketiganya bahkan dianggap sebagai tokoh sisipan dalam buku sejarah kita. Padahal, jika kita mau menelaah perjuangan mereka secara objektif, apa yang ketiganya perjuangkan, justru telah membuka pintu bagi kemerdekaan, demokrasi dan juga reformasi hukum yang masih terus berlangsung di negeri ini.
Referensi
Buku
Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, 2006, Bunuh Munir!: Sebuah Buku Putih. Jakarta: KontraS.
Internet
https://amp.tirto.id/mochtar-lubis-pembangkang-dua-rezim-yang-tak-gentar-berpolemik-edqg Diakses pada 10 November 2022, pukul 12:25 WIB.
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Mochtar_Lubis Diakses pada 10 November 2022, pukul 11:55 WIB.
https://historia.id/amp/politik/articles/200-tahun-multatuli-penyadar-rakyat-indonesia-DrL5Y Diakses pada 10 November 2022, pukul 10.38 WIB.
https://historia.id/amp/politik/articles/multatuli-pembongkar-kejahatan-atau-seorang-yang-nyinyir-PKN9Z Diakses pada 10 November 2022, pukul 10.56 WIB.
https://republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/18/01/23/p306rp335-ub-sematkan-nama-munir-dalam-penghargaan-ham diakses pada 10 November 2022, pukul 13:55 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com