Penangkapan atas kasus penghinaan presiden kembali terjadi. Agaknya, pemerintah belum berhenti dari upaya memberhangus pihak yang kurang atau tidak setuju dengan kebijakannya. Pada 3 April 2020 lalu, Bareskrim Polri menangkap Alimudin Baharsyah, yang mengeluarkan pernyataan yang dianggap menghina pemerintah di media sosial.
Kasus tersebut merupakan sedikit dari beberapa kasus serupa yang telah terjadi. Yang menjadi persamaan dari kasus-kasus itu adalah ditangkap atas tuduhan penghinaan tersebut karena hal tersebut dilakukan di dunia maya (cyberspace) dan bukan di dunia nyata.
Saya katakan, pemerintah dalam hal ini benar-benar gagal bersikap. Di dalam dunia maya (cyberspace), kebebasan berekspresi, berpendapat, dan sebagainya, hidup dengan caranya masing-masing. Ia berkeliaran, bergerak, dengan kecepatannya masing-masing, dan berkembang biak dengan kemampuannya masing-masing. Semua hal itu tidak bisa terfilter, terkontrol, atau bahkan diarahkan. Itu ciri khas dari budaya cyberspace.
Ada buku menarik yang bisa menguatkan pernyataan itu. Buku “Ruang yang Hilang (Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan)” karya Mark Slouka dengan pengantar Yasraf Amir Piliang, terbitan Mizan (1999).
Istimewanya, buku tersebut dicetak tahun 1999, saat internet masih belum begitu dikenal, dan Indonesia masih sibuk memasuki era reformasi.
Mengapa saya katakan kita tertinggal? Sebab, jauh sebelum cyberspace mengambil alih ruang publik seperti sekarang ini, dosen sastra dan budaya di California itu telah menyajikan ulasan akademisnya. Berarti, ada jangkauan pikir yang gagal kita gapai sejauh ini. Padahal di dunia barat hal itu sudah menjadi perbincangan akademis, dan kita masih sibuk berkelahi dan menendang hasil suatu pikiran yang banal.
Alih-alih memberikan pemahaman perihal dunia baru itu, pemerintah malah melakukan blunder hebat dengan membuat UU ITE yang sekarang telah banyak memakan korban. Padahal, awal mula UU itu dibuat, hanya untuk mengatur kejahatan transaksi online. Sekarang, aturan itu meluber kemana-mana, dan telah menjelma menjadi senjata ampuh penguasa untuk memukul kebebesan berekspresi, berpendapat, dan berpikir di dunia maya (cyberspace).
Blunder tersebut menjadi bukti yang kuat bahwa pemerintah kita tidak mengetahui budaya cyberspace. Sampai sekarang, cyberspace telah berkembang jauh, dan Indonesia belum memiliki UU perihal itu, kecuali UU ITE yang menjadi alat pembungkam kebebasan oleh penguasa.
Mengapa selalu mempermasalahkan komenter netizen? Itu sangat konyol dan kekanak-kanakan sekali. Pemerintah tidak seharusnya menghabiskan waktu untuk mengurusnya. Berkomentar bebas itu memang sudah menjadi kegiatan sehari-hari manusia dewasa ini. Jadi, sudah bukan lagi kapasitas pemerintah mengatur kegiatan tersebut. Terlebih lagi, kita telah hidup dalam ranah demokrasi.
Pemerintah tidak bisa menghalangi pergerakan dunia, kecuali menambah tingkat intelektual masyarakat, melalui literasi yang mumpuni. Bukan malah dipentung dengan UU ITE. Itu jelas salah total.
Setiap wacana (pemikiran, bahasa, keberagaman) berkembang melalui jejak-jejak yang tidak pernah stabil dan tidak pernah berhenti bergerak ini. Jadi, semuanya tidak pernah berhenti pada titik, terus bergerak, dan cepat. Karena semuanya telah dikonstruksi ulang setiap waktunya. Pikiran dihadirkan lewat bahasa, kemudian bahasa menyuguhkannya secara konstruktif, begitulah kerja atau bahkan nyawa dari cyberspace.
Jadi, jelas bukan alasan yang tepat bila pemerintah menyimpulkan hal yang bersumber dari cyberspace sebagai kejahatan terhadap kekuasaan. Karena cyberspace sendiri tidak memungkinkan adanya kesimpulan dan titik. Pemerintah harus paham ini.
Seperti halnya Derrida, para cyberist (netizen) sangat terpesona oleh konsep ‘ketidakpastian’ dan ‘ketidakstabilan’ itu. Mereka lalu gandrung dalam ‘membongkar’ setiap kemapanan, setiap otoritas, setiap kekuasaan, setiap konvensi, serta kode sosial. Mereka (netizen) lalu memproduksi berbagai bentuk nihilisme. Begitulah dasar sikap netizen.
Mereka (netizen) pada dasarnya senang menghancurkan, tidak peduli terhadap efek penghancuran tersebut terhadap masa depan kehidupan manusia yang bermakna, baik secara moral, sosial, dan spiritual. Inilah letak permasalahan utamanya dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.
Seperti yang dikatakan Slouka (2000: 69), mereka akhirnya “…menjadi banci secara moral (ethical zero), begitu bersemangat melucuti kebenaran dan makna, tetapi kurang berminat membangunnya kembali.” Hal ini seperti setelah berpesta, mereka tak mau mencuci piring.
Kekacauan di cyberspace hanya bisa diselesaikan dengan peningkatan intelektualias, nalar, dan daya kritis yang kuat, serta bukan dengan cara represif seperti yang dilakukan selama ini. Di sini, pemerintah telah salah langkah dan gagal paham. Padahal, persoalannya adalah pada bagaimana membaca dan menyikapi sebuah pesan atau komentar yang dikatakan netizen.
Referensi
Slouka, Mark. 1999. Ruang yang Hilang (Pandangan Humanis Tentang Budaya Cyberspace yang Merisaukan). Bandung: Penerbit Mizan.
Rusbiantoro, Dadang. 2001. Bahasa Dekonstuksi ala Foucault dan Derrida. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Derrida, Jacques. 2002. Dekonsrtuksi Spriritual (Merayakan Ragam Wajah Spiritual). Yogyakarta: Jalasutra.
Alfian Bahri adalah seorang guru SMP di sebuah sekolah swasta. Selain menjadi guru, ia juga seorang kaligrafer dan fotografer