Kebebasan berbicara merupakan salah satu hak paling fundamental yang harus dijunjung tinggi dalam masyarakat bebas. Tanpa adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan bertukar gagasan, hampir mustahil kemajuan dan masyarakat demokratis dapat berkembang. Bila kebebasan untuk berpikir dan memiliki pandangan berbeda dihilangkan, dapat dipastikan masyarakat hanya akan menjadi korban indoktrinasi oleh mereka yang berkuasa, yang tentunya akan menghambat kemajuan serta menaburkan benih-benih despotisme dan totalitarianisme.
Sejarah sudah membuktikan bahwasanya setiap kemajuan dalam masyarakat selalu diawali dengan tokoh-tokoh besar yang berupaya menentang asumsi, pandangan, keyakinan, serta norma-norma sosial yang berlaku pada zaman mereka, yang tak jarang berakhir dengan tragis. Tengoklah apa yang dialami oleh Galileo yang harus mengalami pemenjaraan oleh Gereja Katolik hanya karena menyatakan bahwa matahari merupakan pusat tata surya.
Dunia Barat, pada saat ini, dikenal sebagai tempat yang sangat menjunjung tinggi hak kebebasan berbicara. Kebebasan untuk mengutarakan pendapat serta saling bertukar ide dan gagasan dianggap sebagai salah satu nilai yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Maka dari itu, tak heran berbagai dokumen penting dalam perkembangan politik negara-negara Barat, terutama sejak era pencerahan pada abad ke-18, selalu memuat pentingnya hak kebebasan berbicara.
Konstitusi Amerika Serikat misalnya dalam amandemen pertamanya menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah tidak bisa membuat kebijakan apapun yang membatasi kebebasan berbicara. Begitu pula dalam dokumen Deklarasi Mengenai Hak Manusia dan Warga Negara Prancis (Declaration of the Rights of Man and of the Citizen), dalam artikel nomor 11 secara ekplisit tertulis bahwa kebebasan untuk menyatakan pikiran ataupun opini merupakan salah satu hak yang paling berharga yang dimiliki oleh setiap orang.
Namun, benarkan dunia Barat pada saat ini memang demikian adanya? Apakah hak kebebasan berbicara masih merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Eropa dan Amerika? Atau mungkinkan hak tersebut hanya merupakan nilai-nilai kuno abad pencerahan yang sudah tidak cocok lagi di era modern?
Dalam buku ‘Defending Free Speech’ yang diedit oleh Steve Simpson dibahas mengenai beberapa isu dan fenomena yang dapat mengancam kebebasan berbicara, khususnya di negara-negara Barat. Buku ini sendiri merupakan kumpulan artikel yang ditulis oleh tokoh-tokoh dengan berbagai latar belakang, yang meliputi wartawan, kolumnis, advokat, dan akademisi.
Dalam artikel awal di dalam buku kumpulan tulisan ini, dibahas kejadian yang menimpa novelis Inggris, Salman Rushdie, pada tahun 1989 yang ditulis oleh pendiri Ayn Rand Institute, Leonard Peikoff. Rushdie, yang menulis novel berjudul ‘The Satanic Verses’, dianggap oleh banyak umat muslim sebagai bentuk pelecehan terhadap agama Islam. Tidak tanggung-tanggung, bahkan pemimpin tertinggi Iran pada masa itu, Ayatollah Khomeini, sampai mengeluarkan fatwa mati untuk Rushdie.
Artikel Peikoff tersebut bertajuk ‘Religious Terrorism vs Free Speech’ aslinya merupakan tulisan Peikoff di koran New York Times pada tahun 1989 untuk membela Rushdie. Dalam artikelnya Peikoff menyatakan bahwaa tidak ada motif apapun, termasuk motif agama, yang dapat dijadikan pembenaran untuk melakukan pembunuhan. Peikoff memberikan pernyataan yang tegas dalam esainya bahwa ia tidak peduli lagi apakah buku Rushdie merupakan buku yang bagus atau buruk. Ketika ada seseorang yang mendapatkan ancaman pembunuhan karena tulisan atau karyanya, maka yang patut menjadi perhatian bukan lagi kualitas karya tersebut, namun bagaimana kita dapat membela hak penulis tersebut untuk mengutarakan pikirannya apapun kontennya.
Isu lain yang dibahas dalam kumpulan tulisan ini adalah mengenai fenomena karikatur Nabi Muhammad yang dipublikasikan oleh koran Denmark, Jyllands-Posten, pada tahun 2005, yang segera menyulut kemarahan jutaan umat muslim di Eropa dan juga di berbagai belahan dunia lain. Berbagai bentuk protes pun terjadi, seperti boikot produk-produk Denmark, hingga berbagai tindak kekerasan seperti pembakaran konsulat Denmark di Beirut, Lebanon dan penyerangan ke sejumlah gereja oleh kelompok muslim militan.
Salah satu tulisan dalam buku ini yang membahas mengenai hal tersebut adalah artikel yang ditulis oleh penulis asal Kanada bernama Onkar Ghate yang bertajuk “The Twilight of Freedom of Speech.” Dalam artikelnya, Ghate mengkritik keras respon berbagai pemerintah di negara-negara Barat dalam menyikapi kasus karikatur Nabi Muhammad tersebut. Ghate dalam hal ini memberi contoh respon yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, yang menyatakan “meskipun kebebasan berbicara itu penting, namun pada saat yang sama Departemen Luar Negeri AS juga turut bersimpati pada umat muslim yang merasa tersinggung dengan karikatur tersebut.”
Ghate dalam hal ini mempertanyakan sikap dari pemerintah Amerika Serikat yang dianggapnya justru secara implisit melegitimasi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim terhadap para jurnalis yang dianggap mereka telah menghina Nabi Muhammad. Respon seperti inilah yang merupakan bentuk sikap pengecut yang mana pemerintah Amerika melalui Departemen Luar Negerinya berusaha menunjukkan sikap yang terlalu berkompromi dan bukannya justru menyatakan dengan jelas bahwa kebebasan berbicara merupakan hak yang mutlak dimiliki oleh setiap orang dan tindak kekerasan yang berdasarkan rasa tersinggung atau sakit hati karena pendapat atau hasil karya orang lain tidaklah dapat diterima sama sekali.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Steve Simpson dalam artikelnya di buku ini yang berjudul “Condoning Violence: Destroying Free Speech” yang membahas mengenai kasus penembakan yang menimpa jurnalis tabloid Perancis, Charlie Hebdo, di Paris oleh simpatisan ISIS pada bulan Januari tahun 2015 lalu dikarenakan kasus serupa yang menimpa koran harian Denmark Jyllands-Posten 10 tahun lalu, yakni mempublikasikan gambari karikatur Nabi Muhammad. Simpson dalam artikelnya mengkritik keras berbagai tokoh-tokoh besar yang dianggapnya cenderung menyalahkan korban tindak kekerasan dan pembunuhan, dalam hal ini adalah para jurnalis Charlie Hebdo tersebut dan juga menulis bahwa ancaman terbesar bagi kebebasan berbicara bukanlah dari tindakan terorisme, namun dari keengganan kita semua, khususnya masyarakat Barat, untuk bersuara membela hak tersebut.
Tokoh yang dimaksudkan diantaranya adalah pemimpin tertinggi Gereja Katholik, Pope Francis, yang memberikan respon bahwapara jurnalis yang membuat dan mempublikasikan karikatur tersebut, dan menyebut mereka sebagai “provokator.” Pope Francis bahkan juga menambahkan bahwa ia menyatakan tidak ada seorang pun yang memiliki hak untuk melecehkan atau menertawakan keyakinan orang lain.
Beberapa jurnalis di Amerika Serikat pun juga memiliki pandangan yang tampak serupa dengan Pope Francis. Sebuah artikel dalam koran USA Today misalnya, menyebutkan bahwa tindakan menggambar Nabi Muhammad yang dilakukan oleh jurnalis tabloid Perancis tersebut merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima dan berada di luar kebebasan berbicara.
Selain itu, kritik lain juga datang dari para kartunis di Amerika Serikat dan juga negara-negara Eropa lainnya, salah satunya dari kartunis asal Amerika Serikat, Garry Trudeau. Trudeau dalam hal ini justru mengecam keras tindakan jurnalis Charlie Hebdo yang dianggapnya menyerang kelompok minoritas, dan bukannya justru mengutuk tindakan terorisme oleh simpatisan ISIS. Ia juga menyerang kelompok-kelompok yang ia juluki sebagai “Free Speech Absolutionist” (Pendukung Kebebasan Berbicara Secara Absolut) yang ia anggap sama sekali tidak peka terhadap perasaan marah dan terluka kelompok lain akibat dari karya yang dibuat oleh seseorang.
Simpson dalam hal ini menyatakan secara jelas bahwa setiap orang berhak untuk meluapkan respon kemarahan atas pandangan atau karya orang lain yang dianggap telah menyinggungnya. Namun, respon tersebut harus diutarakan dalam bentuk sanggahan dan counter argument yang dapat memicu perdebatan, bukan berarti lantas melakukan kekerasan fisik, ancaman, hingga pembunuhan.
Mengutip Ayn Rand, Simpson menulis bahwa “senjata bukanlah bentuk dari argumen, namun merupakan cara pemaksaan untuk menghentikan percakapan.” Bayangkan bila ada dua orang yang sedang berdebat dengan sengit, namun lantas ada salah satu dari mereka yang mengeluarkan senjata untuk mengancam lawan diskusinya hanya karena lawannya tersebut dianggap mengeluarkan pandangan yang menyinggung.
Sebagai penutup, bila dilihat dari sisi historis, selama berabad-abad sejak era pencerahan, kebebasan berbicara merupakan salah satu prinsip yang dijunjung tinggi dalam masyarakat di negara-negara Barat. Namun tidak bisa dielakkan, bahwa kebebasan berbicara memang sedang mengalami banyak tantangan di Amerika Serikat dan Eropa dalam beberapa dekade terakhir.
Imigrasi, multikulturalisme, banyaknya pendatang dari Timur Tengah yang memang memiliki latar belakang budaya yang sangat berbeda, hingga globalisasi dan cepatnya arus informasi merupakan beberapa tantangan besar bagi kebebasan berbicara yang harus dihadapi oleh negara-negara Barat. Jangan sampai, dikarenakan hal-hal tersebut, kebebasan berbicara yang sudah dijunjung tinggi oleh bangsa Eropa dan Amerika Serikat selama ratusan tahun lantas menjadi sirna dan hilang di kemudian hari.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.