Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, para bapak bangsa yang telah memperjuangkan kemerdekaan telah bersepakat bahwa sistem bernegara yang tepat dan adil bagi Republik Indonesia adalah demokrasi, bukanlah monarki keluarga, bukan pula diktator proletarian atau aristokrasi, tetapi demokrasi. Ya, jauh sebelum negara kita lahir, ide mengenai demokrasi telah menjadi impian bagi rakyat dan para pejuang kemerdekaan kita.
Dalam Majalah Daulat Rakyat, Bung Hatta pernah berkata: “kedemokrasian adalah keyakinan keadilan segenap bangsa Indonesia, bukan keyakinan cap Volkssouvereiniteit atau lain, melainkan keyakinan Indonesia sejati”. Kesimpulannya, sifat demokrasi yang menjunjung keadilan dan kesetaraan inilah yang membuatnya menjadi pilihan para pendiri republik, selain karena tidak ada lagi deskriminasi dan juga tuan dan budak, jiwa demokrasi juga telah tertanam dalam nilai-nilai rakyat kita, yaitu musyawarah
Mengapa para pendiri bangsa kita memilih demokrasi? Jawabannya sangat simpel, Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat dan diperuntukkan untuk kepentingan rakyat, bukan cuma khusus kaum ningrat atau jenderal. Selain itu, demokrasi dipilih oleh para pendiri bangsa karena hanya dalam sistem demokrasi lah rakyat mendapatkan jaminan kebebasan, kesetaraan, kebahagiaan, dan keamanan dari setiap penindasan.
Secara sederhana, sifat kerakyatan dan kebebasan dalam demokrasi itulah yang membuat sistem ini tampak ideal dan diperjuangkan diseluruh dunia oleh setiap bangsa. Bahkan di negara-negara komunis seperti Republik Rakyat China, mengklaim bahwa negara mereka berlandaskan sistem demokrasi rakyat (suatu sistem ala sosialisme yang digagas Mao) ini menandakan bahwa demokrasi menjadi sistem ideal yang layak diperjuangkan.
Memang banyak orang yang menganggap demokrasi bukanlah sistem terbaik, tetapi sekali lagi apakah diktatorisme adalah suatu yang baik? Banyak rakyat kita menganggap bahwa saat ini mereka butuh pemimpin yang tegas, gagah, dan juga punya wibawa. Jawaban kita kepada mereka yang memilih tirani daripada demokrasi, kita katakan saja kepada mereka, apakah mereka ingin mempunyai Mein Fuhrer di Indonesia?
Sejarah telah mengajari kita bahwa dahulu rakyat Jerman juga pernah muak dengan demokrasi. Mereka lebih memilih menurut pada diktator dan Fuhrer yang ditaati. Namun, setelah diktator itu memimpin mereka, misalnya dalam contoh ini Adolf Hitler, justru rakyat Jerman bagai diseret ke dalam neraka. Jerman kalah dalam peperangan, negara mereka terbagi menjadi dua, dan ekonomi Jerman hancur total. Apakah yang rakyat Jerman dapatkan? Tentu saja kemiskinan, kehilangan tempat tinggal dan kelaparan!
Membela Demokrasi
Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar dari sejarah dan mengambil pelajaran dari sejarah. Tentu saja dahulu kita pernah mengalami keadaan dimana rakyat Indonesia hanya bisa bebas dalam mimpi-mimpi mereka, keadilan bagi mereka adalah khayalan, dan penindasan terhadap mereka yang lemah adalah kodrat yang musti diterima.
Ratusan tahun kita dijajah oleh Bangsa Eropa dan ditindas oleh kaum feodal bangsa sendiri, apakah kita ingin mundur kembali ke zaman itu? Zaman dimana kebebasan adalah ilusi dan kesetaraan hanya sebuah imajinasi? Saya yakin jawabannya adalah tidak.
Dewasa ini perkembangan demokrasi dan kebebasan kita sedang mengalami suatu perkembangan yang unik. Demokrasi sedang dilawan oleh suatu golongan yang anti terhadap demokrasi dan menganggap demokrasi sebagai sistem iblis kafir. Mereka menamakan diri mereka Hitzbut Tahrir ( Barisan Pembebasan) alias HTI. Namun lucunya, ketika pemerintah dan aparat menekan dan berusaha ‘menghabisi” mereka, justru kelompok HTI itu malah bersembunyi dibalik demokrasi dan hak asasi. Sekali lagi ini menjadi bukti bahwa demokrasi adalah sistem terbaik yang mengayomi rakyat dan setiap golongan.
Rakyat Indonesia saat ini harus mendapat pencerahan dan edukasi bahwa demokrasi adalah sistem terbaik untuk kehidupan dan masa depan negara mereka. Sayangnya banyak orang yang tidak faham mengenai demokrasi bahkan menyangsikan demokrasi dan ideologi kebebasan.
Di media sosial saya berdialog dengan seorang yang cukup unik, sebab dia menolak ide-ide kebebasan dan demokrasi liberal, serta memuja-muji sistim diktator sebagai sistem terbaik. Lucunya dia adalah seorang yang mendukung gerakan ganti presiden dan membenci presiden yang terpilih di Pemilu 2014 lalu.
Ketika saya bertanya apakah dia setuju UU ITE? “Tidak,” jawabnya singkat. Lalu saya bertanya lagi apakah dia setuju bahwa kebijakan yang melarang mengkritisi Presiden dan DPR? Jawabannya tetap “Tidak”. Ketika saya katakan bahwa hanya sistem demokrasilah yang menjamin kebebasan dan kritiknya terhadap pemerintah, lalu dia menolak sambil menjawab, “Dia (presiden) itu diktator yang buruk, kalo si anu terpilih, pasti jadi diktator yang baik!”
Mendengar uraiannya yang saya anggap lucu saya berkata, “Semoga diktator pilihanmu di tahun depan memberikanmu surat izin kebebasan.”
Memang saat ini demokrasi di negara kita tengah diuji, para pemimpin saat ini banyak membuat peraturan yang represif, dilarang mengkritik pemerintah di media sosial, dilarang mengkritik presiden, dilarang mengkritik wakil rakyat dan mengelabui rakyat seolah-olah demokrasi kita kebablasan.
Efeknya, banyak orang yang meragukan demokrasi bahkan membenci demokrasi. Padahal tanpa mereka sadar, mereka telah menikmatinya sehari-hari. Contohnya mereka bebas berpikir, mereka bebas memilih pemimpin, mereka bisa bebas menentukan nasibnya sendiri, mereka bisa mempertahankan hak milik, dan mereka bisa beristirahat dengan enak sebagai sebuah hak yang tidak bisa digugat oleh orang lain.
Bagi saya pribadi, maju mundurnya demokrasi saat ini harus dipahami sebagai dialektikanya sejarah demokrasi. Sikap apatisme rakyat terhadap demokrasi dan sikap represif dari pemerintah terhadap segala bentuk kebebasan berpendapat, berekspresi dan beragama harus dilihat sebagai salah satu alur historis, yang menjadi cobaan bagi bangsa kita yang tengah menapaki alam demokrasi sejati (setelah kita mengalami 2 rezim yang telah mereduksi makna demokrasi).
Untuk menutup tulisan ini, saya mengutip dan mengamini petuah Bung Hatta dalam buku Demokrasi Kita: “Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan.”

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com