MEMBEDAH LIBERALISME KLASIK: Resensi Buku Liberalisme Klasik Eamon Butler

1561
Judul: Liberalisme Klasik: Perkenalan Singkat

Penulis: Eamonn Butler

Penerjemah: Juan Mahaganti

Jumlah Halaman: 150

Tahun Terbit: Maret 2019

Penerbit: FNF Indonesia
Kebebasan membuat orang-orang bisa mengekspresikan kepribadian dan kemajemukan mereka. Bahwa hal ini menguntungkan bagi masyarakat secara keseluruhan, membuka terciptanya spesialisasi (pembagian kerja) dan kesempatan. Tetapi yang lebih penting adalah dimensi moral.

Liberalisme adalah salah satu filsafat politik dan sosial yang paling penting dalam sejarah, begitu menurut Stephen Davies. Walaupun liberalisme merupakan suatu sistem yang penting untuk dipelajari, tidak banyak orang yang mengerti tentang apa itu liberalisme (apalagi liberalisme klasik). Banyak orang kurang memahami, bahkan sering salah paham terhadap liberalisme.

Kata “liberal” di Indonesia sering  dikaitkan dengan prilaku liar, yaitu kebebasan tanpa aturan.  Tidak hanya di Indonesia, ide-ide kebebasan masih kerap dicurigai dan dianggap berbahaya dibeberapa negara seperti China, Korea Utara, Venezuela, Arab Saudi, dan Iran, bahkan beberapa negara di Afrika yang masih mempertahankan kekuasaan politik dengan kokangan senjata dan pembungkaman mulut rakyat.

Pasca runtuhnya sistem komunisme internasional yang diawali dengan bubarnya Uni Soviet, ide liberalisme masih saja tidak secara utuh dipahami dan dimengerti. Walaupun Francis Fukuyama, memprediksi bahwa demokrasi dan liberalisme tengah mencapai puncak kedigdayaannya setelah menang melawan tirani dan otoritarianisme kaum komunis, namun faktanya ide-ide sosialisme justru masih digemari oleh beberapa kalangan.

Di abad 21 ini, masyarakat benar-benar telah menikmati budaya hidup modern. kesejahteraan yang meningkat dan taraf hidup yang  tumbuh tinggi membuat orang-orang tertarik untuk mencari makna hidupnya lewat agama, ideologi, dan filsafat. Kesempatan ini merupakan waktu yang tepat untuk memasyarakatkan kembali ide liberalisme dan menjelaskan peran nyata liberalisme dalam membangun masyarakat modern.

Eamonn Butler berusaha untuk mengambil kesempatan emas itu. Lewat karyanya yang berjudul Classical Liberalism: A Primer, Butler berusaha “membumikan” kembali ide-ide liberalisme dan berusaha menyadarkan orang-orang tentang pentingnya kebebasan dalam hidup kita.

Berbeda dengan paham sosialisme dan ideologi lainnya, liberalisme adalah paham yang sangat menekankan pentingnya kebebasan individu. Bukankah ini berarti individualisme yang mengarah pada egosentris? Jawabnya tidak. Jika saya berjanji akan menjaga hak anda dan menghargai kebebasan anda, pun sebaliknya, apakah ini perilaku egois?

Perilaku Egois adalah sifat hiper rakus yang mengabaikan hak dan kebebasan orang lain hanya demi kesenangannya. Sedangkan dalam liberalisme, anda tidak dibenarkan jika menyakiti atau merusak milik orang lain hanya demi kesenangan pribadi. Selain berpegang teguh pada prinsip kebebasan, liberalisme menekankan pada pengurangan otoritas pemerintah dalam mengurusi soal-soal yang bersifat privasi, dimana tugas pemerintah yang utama hanyalah menjamin secara hukum bahwa masyarakat tetap bebas melakukan kehendak nuraninya tanpa takut ancaman dan agresi dari pihak luar atau individu lainnya.

Saat ini, partai-partai dan para birokrat selalu menganggap dirinya adalah representasi kedaulatan rakyat, sehingga kadang mereka membuat kebijakan dan peraturan yang kontroversial, seperti membatasi kebebasan berpendapat, mengontrol media sosial, menangkap oposisi, bahkan mengacuhkan aspirasi rakyat.

Otoritarian pemerintah dan politisi yang sok tau inilah yang menjadi musuh utama liberalisme. John Locke seorang filsuf Inggris menegaskan, bahwa setiap manusia memiliki fitrah yang telah ada sebelum pemerintah ada dan tidak bisa dikorbankan demi kepentingan seorang raja (pemerintah). Fitrah yang dimaksud oleh John Locke ini adalah kebebasan.

Bagi John Locke, setiap orang memiliki hak atas dirinya sendiri, atas hidupnya, atas tubuhnya dan juga atas hasil kerjanya. Setiap orang berhak atas barang yang ia ciptakan dan diusahakan, sehingga tidak pantas jika ada orang lain yang merasa berkuasa atau merasa “tangan mayoritas” untuk merampas apa yang dimilikinya.

Dalam segi politik, liberalisme sangat skeptis dengan pemerintah dan para aristokrat, sebab dari kacamata filosofis, setiap orang adalah setara dan egaliter. Semua memiliki kekurangan dan kelebihan, tidak ada yang sempurna, bahkan seorang raja atau agamawan sekalipun. Karena itulah dalam sejarah, Immanuel Kant, Filsuf Jerman, pada abad ke-18 menelurkan gagasan Rechsstaat atau negara berkeadilan, yang kemudian menjadi dasar pedoman bagi Amerika dan konstitusi Prancis.

Dalam Rechsstaat semua manusia sama dan setara di mata hukum. Baik raja, tuan tanah, petani, aristokrat atau bangsawan memiliki nilai kedudukan yang sama dalam hukum. Tidak ada lagi seorang raja memutuskan kebijakan negara sesuai dengan kemauannya, tetapi ia harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan taat pada undang-undang yang disepakati oleh setiap orang.

Selain aspek politik, liberalisme juga menekankan kebebasan berekonomi. kebebasan berekonomi yang dimaksud secara prinsipil berarti kebebasan dalam memilih profesi, kebebasan dalam berniaga atau bekerja, serta kebebasan untuk mensejahterakan hidupnya. Dalam praktiknya, kebebasan berekonomi ini menjelma jadi tata perdagangan pasar bebas, dimana pengerak kemakmuran yang utama adalah pasar bukan pemerintah.

Pasar adalah kegiatan transaksi manusia dimana setiap orang saling menukar hasil kerja atau keterampilannya untuk mendapatkan kebutuhannya. Melalui transaksi sukarela lewat mekanisme pasar inilah kemakmuran dicapai. Di negara-negara totaliter, pemerintah atau sang tiran selalu menganggap dirinya sebagai dewa yang bisa menyelamatkan perekonomian rakyat, sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan inefisien yang justru menghancurkan ekonomi mereka.

Venezuela dan Uni Soviet adalah contoh yang tepat dimana negara mengontrol arus barang dan produksi dengan mengabaikan kebutuhan dan kebebasan manusia dalam memilih dan berniaga, akhirnya pertumbuhan ekonomi Soviet diakhir dekade 70an mengalami stagnasi dan berujung bubar pada tahun 1991. Venezuela-pun kini mengalami hal yang serupa, dimana pemerintah yang over protektif dan memanjakan masyarakat lewat berbagai subsidi, harus menelan pil pahit (krisis ekonomi yang hingga saat ini tak berakhir).

Dalam buku ini, jika disebut kata liberalisme, maka yang dimaksud oleh Eamonn Butler adalah liberalisme klasik. Ini sangat penting dibahas karena belakangan ini muncul orang-orang yang menyatakan dirinya liberal atau dari partai liberal, namun justru menikam prinsip-prinsip dasar daripada liberalisme.

Di Amerika nama liberal klasik disebut dengan libertarian, karena di Amerika, sistem liberal telah berubah dimana pemeintah memiliki kekuasaan veto yang berhak mengintervensi masalah privat individu dan mengontrol (protektif) dalam soal ekonomi. Bahkan belakangan ini, sisi demoratis Amerika tercederai oleh kelompok-kelompok yang mengaku liberal, namun bersifat  rasis dan intoleran terhadap agama dan suku tertentu.

Liberalisme klasik yang dituangkan dalam buku Eamonn Butler bertujuan untuk “membersihkan” dan “memurnikan” liberalisme. Menurut Eamonn, liberalisme harus meyakini 10 prinsip, yaitu: mendukung kebebasan, keutamaan individu, meminimalisir pemaksaan, toleransi, pembatasan terhadap otoritas pemerintah, supremasi hukum, percaya pada keteraturan spontan, melindungi kepemilikan privat dan kebebasan berekonomi, bertumpu pada masyarakat sipil, dan kesetaraan seluruh umat manusia

Buku Classical Liberalism karya Eamonn Butler kini telah hadir di Indonesia dan diterjemahkan oleh FNF Indonesia dengan judul Liberalisme Klasik: Perkenalan Singkat (2019). Di Indonesia, bisa dikatakan buku buku mengenai ide kebebasan dan liberalisme masih sangat jarang dan sukar ditemui. Stigma masyarakat Indonesia sudah terlanjur buruk pada kata liberalisme akibat propaganda keliru dari kelompok fundamentalis agama.

Kehadiran buku Eamonn Butler ini setidaknya turut menyumbangkan literatur tentang ide-ide kebebasan di Indonesia. Saat ini, kita masih menikmati kebebasan dan iklim demokrasi. Namun, kewaspadaan terhadap lahirnya diktator dan juga kelompok fundamentalis yang berusaha merongrong kebebasan di Indonesia harus tetap di waspadai.

Menyiarkan ide-ide kebebasan dan membumikannya ke masyarakat (sebagaimana tujuan buku ini) adalah salah satu langkah yang tepat untuk mencegah munculnya diktator baru di masa depan, atau kelompok ekstrimis yang berusaha merubah wajah Indonesia yang demokratis, menjadi negara totaliter yang dikuasai oleh kelompoknya sendiri.