Membangun Tonggak Peradaban Lewat Buku

    638

    enyambut Hari Buku Nasional 17 Mei, seperti tercermin dari editorial suarakebebasan.org pada 11 Mei 2015, kita dihadapkan pada kenyataan serius (sobering fact). Kondisi minat baca masyarakat Indonesia sangat memperhatinkan.Berdasarkan hasil survei UNESCO (2011), minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Indeks baca masyarakat Indonesia baru mencapai 0,001 atau 1:1000. Itu artinya dalam seribu orang masyarakat Indonesia, hanya satu orang memiliki minat baca buku.

    Di samping UNESCO, Badan Pusat Statistik (BPS) juga memiliki data survey 2012 tentang minat baca masyarakat Indonesia yang meliputi: surat kabar sebanyak 15,06%, majalah/taboid sebanyak 6, 92%, buku cerita sebanyak 5,01%, buku pelajaran sebanyak 20,49%, buku pengetahuan sebanyak 14,08% dan lain-lain sebanyak 17,03%. Hasilnya pun tak jauh beda, bahwa minat baca masyarakat Indonesia rendah.

    Rendahnya Minat Baca

    Ada beberapa penyebab kenapa minat baca masyarakat Indonesia rendah. Pertama, pendidikan kita tidak melatih pelajar untuk terbiasa membaca. Jarang kita temui guru-guru yang memotivasi muridnya untuk membaca buku, paling hanya untuk keperluan mengerjakan tugas sesuai mata pelajarannya. Kedua, adanya animo di masyarakat Indonesia bahwa membaca hanya untuk kalangan yang bergelut dengan dunia pendidikan, seperti dosen, peneliti, mahasiswa, guru dan siswa. Ketiga, malas dan minimnya motivasi dari lingkungan sekitar. Keempat, rendahnya kemampuan masyarakat untuk membeli buku, karena masyarakat kita masih terpaut dengan kebutuhan-kebutuhan dasar. Kelima, ketersediaan bahan bacaan yang sedikit atau sulit untuk mengakses buku.

    Rendahnya minat baca masyarakat Indonesia berdampak sistemik dan masif pada berbagai lini dunia perbukuan yang meliputi: penulis, produksi dan kualitas buku, penerbit, dan perpustakaan (universitas, daerah, nasional dan umum).  Jumlah penulis dan buku yang diproduksikan juga sangat rendah. Dari sisi publiksasi, jumlah buku di Indonesia hanya 24.000 judul/tahun. Jika kaitkan dengan total populasi Indonesia sekitar 240 juta orang, maka setiap 1 buku untuk 10.000 orang. Angka ini sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.

    Apalagi kalau diukur dari sisi kualitas penulis, buku, dan penerbit—barangkali  angkanya jauh lebih kecil lagi. Buku, misalnya, di toko-toko buku, nasib buku-buku serius (filsafat, politik, sastra, ekonomi, humaniora dan lain-lain) mengalami sepi peminat dan jumlahnya juga tak terlalu banyak. Beda halnya dengan buku-buku yang berisikan kiat-kiat sukses, gosip, komik, novel, motivasi, buku agama popular  (buku kategori ringan) justru kebanjiran pembeli.
    Kondisi tersebut turut mempengaruhi penerbit dalam memproduksi buku. Karena berbasiskan bisnis—memprioritaskan profit—maka sangat wajar jika penerbit lebih banyak memproduksi buku-buku kategori ringan ketimbang buku-buku kategori serius. Meskipun ada penerbit yang mempertahankan idealismenya, memproduksi buku-buku yang bermutu, itupun hanya segelintir saja.

    Di samping itu, kebanyakan penerbit buku bertumpuk di tiga kota besar, yaitu Jakarta, Jogjakarta dan Bandung. Kadangkala buku-buku yang diproduksi tidak didistribusikan secara merata, hanya di kota-kota itu saja dan sulit kita jumpai di tempat-tempat lain, paling di toko buku besar, seperti Gramedia. Bahkan ada beberapa buku yang diterbitkan di Jogjakarta, jarang kita temui di Jakarta, apalagi di daerah-daerah. Mungkin, persoalan distribusi ini terkait dengan penerbit yang belum memiliki daya jelajah yang optimal.

    Lalu, bagaimana dengan penerbit lokal? Kondisi penerbit lokal memiliki banyak kendala jika dibandingkan dengan penerbit berskala nasional. Mulai dari kesulitaan mencari penulis, segmen pasar yang tak jelas, produksi buku yang sedikit, distribusi terbatas dan lain-lain. Karenanya, penerbit-penerbit lokal banyak diisi oleh akademisi daerah setempat.

    Membangun Tradisi Baca-Tulis

    Menumbuh-kembangkan budaya baca-tulis di masyarakat bukanlah persoalan yang mudah. Itu membutuhkan waktu. Setidaknya ada beberapa catatan yang sekiranya dapat membangun budaya baca-tulis. Pertama, melalui lembaga pendidikan. Misalnya, guru membimbing siswanya dalam membaca. Kedua, keluarga. Orang tua memberikan contoh, bercerita pada anak dapat kegemaran membaca, menghadiahkan buku pada anak atau anggota keluarga, dan membangun perpustakaan keluarga. Ketiga, jalur pribadi, membangun kesadaran membaca dan menulis, memulai dengan bacaan yang disenangi, lalu dari ringat ke berat, memilih waktu dan tempat yang tepat. Keempat, pemerintah  memfasilitasi perpustakaan publik yang layak atau tempat baca yang layak.

    Saat budaya atau kesadaran baca seseorang semakin kuat, dari sanalah seseorang itu akan menyadari betapa pentingnya sebuah buku dalam kehidupan. Pertama, buku berperan dalam menyalurkan dan menyebarluaskan pemikiran seseorang pada khalayak. Pemikiran yang disebarluaskan itu bisa bermacam-macam, misalnya dalam bentuk konsep-konsep atau sistem-sistem ideal bagi progresivitas kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan an sich, penguraian benang-kusut sosial, bahkan mengawal lajunya sejarah manusia. Tulisan itu juga mempermudah lalu lintas ide antar bangsa, budaya bahkan generasi.

    Dengan demikan, tulisan tersebut akan selalu hidup, bermigrasi dari suatu tempat ke tempat yang lain (migration of ideas or knowledges), tak jarang jejaknya turut menopang kemajuan suatu masyarakat hingga mencapai puncaknya, yaitu peradaban. Pemikiran-pemikiran yang dicecahkan melalui tulisan itu secara tidak langsung telah mengabadikan seseorang dalam sejarah manusia. Sebagaimana dikatakan Pramudya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, Ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

    Kedua, sebagai mekanisme merawat ingatan. Barangkali tidak ada manusia yang mampu mengingat apa yang semua dia pikirkan dan lakukan. Karena itulah, melalui tulisan, gagasan atau ilmu pengetahuan akan selalu terjaga. “Ikatlah ilmu dengan menulisnya”, demikian wasiat Imam Ali. Kita dapat membayangkan, tanpa tulisan atau buku, kita tidak akan dapat bertamasya ke puing-puing warisan terbaik masa lampau. Indonesia misalnya, memiliki tradisi menulis yang sangat maju. Hal ini dapat kita buktikan dengan banyaknya aksara-aksara kuno khas daerah-daerah Nusantara; di Sumatera ada 4 daerah yang memiliki aksara yaitu Batak, Kerinci, Rejang dan Lampung; di Jawa juga terdapat aksara Jawa kuno; dan masih banyak aksara lainnya.

    Tanpa buku, barangkali semua ilmu bakal lenyap dengan mudah.Karena kekuatannya itu, buku memegang peranan yang penting dalam perjalanan peradaban manusia. Buku seakan menjadi tongkat estafet dalam laju peradaban.

    Hartoonian, seorang politikus AS, ditanya wartawan perihal apa yang dilakukan bangsa Amerika untuk mempertahankan supremasinya. Ia menjawab, “If we want to be a super power we must have individuals with much higher levels of literacy.”