
Ibrahim atau Abraham adalah sosok ikonik yang dihormati oleh Bangsa Semith dan agama-agama samawi seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Dalam keyakinan agama-agama tersebut, Ibrahim adalah sosok ideal seorang hamba yang taat kepada Tuhannya. Ibrahim juga dianggap sebagai bapak agama-agama, karena banyak nabi dan raja-raja lahir dari silsilah yang diturunkan olehnya.
Dalam buku sejarah, Ibrahim adalah salah satu warga bangsa Sumeria yang memberontak terhadap diktator Namrud yang kejam dan mengatur kehidupan rakyat sekehendak hatinya.
Dalam nomenklatur Islam, Ibrahim adalah sosok rasional. Dalam artian, ia adalah seorang filsuf yang tak pernah lelah untuk berpikir.
Sama seperti para filsuf Yunani di abad 2-3 Sebelum Masehi, Ibrahim juga berusaha mencari aktor atau sosok yang menciptakan dunia dan kehidupannya.
Kemuakannya pada sosok Namrud yang diktator dan merasa paling berkuasa di Babilonia, membuat Ibrahim berefleksi mencari sosok penguasa sejati dengan logika akalnya.
Hingga pada akhirnya, ia bisa menarik kesimpulan tentang keberadaan Tuhan yang maha kuasa. Keberhasilan itu membuat Ibrahim dilantik oleh Tuhan sebagai utusannya untuk menyelamatkan rakyat Babilonia dari kekejaman Namrud.
Dalam Islam, Tuhan Allah juga memberi gelar Ibrahim sebagai ‘khalilullah‘ atau kesayangan/sahabat Tuhan, sebab ia adalah orang yang paling disayang oleh Tuhan dan Tuhan berjanji akan memberikan anugerah pada Ibrahim dan keturunannya.
Dengan melihat catatan kitab suci, kita akan dapati betapa besar derajat dan kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepada Ibrahim. Tak heran jika banyak orang menjadikan Ibrahim sebagai sosok ideal yang ketaatannya sempurna pada Tuhan.
***
Namun, kesempurnaan dan kemasyhuran Ibrahim dalam sejarah tak lepas dari kritik yang dilayangkan oleh orang-orang yang hidup setelahnya kepada sosok besar ini.
Salah satu kisah terbesar yang membuat nama Ibrahim menjadi simbol atau ikonik manusia beriman adalah prosesi ‘penyembelihan’ yang dilakukan Ibrahim dengan dasar perintah Tuhan.
Peristiwa besar ini diabadikan dalam kitab suci baik Al-Qur’an atau Alkitab. Terlepas dari perdebatan siapa yang disembelih: Ismail atau Ishak, namun peristiwa ini menjadi sasaran kritik dari mereka yang menuduh Ibrahim sebagai sosok yang anti kemanusiaan.
Richard Dawkins, seorang ilmuwan kontemporer yang mempromosikan ateisme, menyebut dalam “The God Delusion,” bahwa tindakan Ibrahim untuk membunuh anaknya adalah tindakan sadis yang menjijikkan.
“Seorang moralis modern tidak bisa tidak akan bertanya bagaimana seorang anak dapat pulih dari trauma psikologis seperti itu. Dengan standar moralitas modern, kisah yang memalukan ini adalah contoh mengenai penganiayaan anak,” katanya (Dawkins, 2013).
Bagi Dawkins dan kritikus kitab suci lainnya, kisah Ibrahim yang mengorbankan anaknya untuk Tuhan adalah perbuatan paling biadab dan tak bermoral. Bayangkan, ayah mana yang tega membunuh anaknya sendiri hanya untuk menyenangkan Tuhan? Dan, Tuhan macam apa yang menghendaki ayah membunuh putranya sendiri?
Kritik serupa juga dilontarkan oleh Ahmad Fauzi, yang ia tulis dalam karangannya, “Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal,” ia mengatakan bahwa Nabi Ibrahim berusaha melakukan percobaan pembunuhan terhadap anaknya sendiri hanya disebabkan pengaruh mimpi. Ahmad Fauzi menilai bahwa kisah ini mengandung kekacauan psikologis, tapi oleh Ibrahim diangkat kualitasnya sebagai suatu perintah yang terang berasal dari ilham ilahiah (Fauzi, 2015).
Menurut Ahmad Fauzi, tindakan Ibrahim memiliki implikasi yang dalam terhadap dasar dasar agama. Mimpi Ibrahim yang penuh konflik bisa menjadi wahyu yang melegitimasi tindak pembunuhan yang diatasnamakan iman dan ketuhanan. Agama, kata Fauzi, kemudian dicurigai menjadi institusi yang membenarkan tindak pengrusakan atas kemanusiaan berdasarkan perintah Tuhan dan untuk menyenangkan hati Tuhan.
Dalam tulisannya yang lain, Ahmad Fauzi kemudian menarik benang merah mengenai aktivitas terorisme dan radikalisme yang kerap terjadi di Indonesia merupakan buah dari keyakinan ‘menyenangkan hati Tuhan’.
***
Jika kita melihat berbagai kritik yang disampaikan oleh dua orang di atas, jelaslah bahwa tindakan Ibrahim yang terekam oleh sejarah dan tercatat dalam kitab suci memberi inspirasi bagi beberapa orang, yang meyakini bahwa kemanusiaan dan hak asasi bisa diterabas dengan dasar membela iman.
Mungkin tragedi pemenggalan seorang tukang jahit di India baru-baru ini yang dituduh membela penista agama, menjadi contoh bahwa beberapa orang meyakini bahwa mengesampingkan kemanusiaan adalah keharusan untuk membela iman.
Tapi tentu saja, pandangan ini banyak ditentang oleh agamawan bahkan oleh para intelektual. Meyakini bahwa Ibrahim menjadi inspirator bagi radikalisme merupakan penyimpulan yang tidak tepat dan keliru.
Kita tahu bahwa banyak orang di luar sana melakukan aksi kriminal bahkan pembunuhan dengan motif ekonomi, keluarga bahkan ras. Hitler dan para rasis contohnya, mereka tak segan melakukan intimidasi bahkan membunuh untuk mempertahankan superioritas ras dan identitasnya.
Meninjau Kisah Ibrahim Secara Bijak
Tragedi terorisme dan radikalisme berkembang lebih kompleks ketimbang menjadikan agama sebagai faktor utama.Tak perlu jauh-jauh, banyak rekan dan kerabat dekat kita berubah menjadi ‘radikal’ pasca Pemilu 2014-2019 kemarin karena pilihan politik. Ini menjelaskan bahwa ideologi kekerasan berkembang bukan hanya disebabkan narasi atau kisah agama yang secara sekilas tampak keras. Namun, lebih rumit dari pada itu.
Di sini, penulis mengajak agar para pembaca melihat perspektif berbeda dalam memandang peristiwa pengorbanan yang dilakukan oleh Ibrahim. Memang benar secara sekilas, peristiwa pengorbanan itu tampak sadis dan bertentangan dengan moralitas modern. Bagaimana mungkin Tuhan mengilhamkan mimpi kepada Ibrahim untuk menyembelih anak kandungnya sendiri?
Tapi jika dipikirkan secara mendalam dengan pandangan yang lebih positif, Anda temukan “tangan Tuhan” pada Ibrahim dan Ismail, sebagai bukti bahwa Tuhan bukanlah sosok yang kejam. Sebaliknya, kasih Tuhan Allah pada manusia sangat besar di mana lewat peristiwa ini. Tuhan mengajarkan kita untuk menghargai nyawa setiap manusia.
Teolog kontemporer Lippman Bodoff mengomentari, bahwa Tuhan tidak pernah berniat bahkan terlintas dalam pikirannya untuk mengambil nyawa Ismail (atau Ishak dalam tradisi Kristen dan Yahudi) sebagai korban persembahan untuknya (Rabbi, Ari Kahn, outorah.org).
Dalam melihat firman Tuhan, maka pemahaman eksoteris atau pengetahuan ayat kalimat metafora dalam kitab suci mutlak harus dikuasai.
“Pergilah dapatkan Isaac, putra tunggalmu, yang sangat kamu cintai! Bawa dia ke tanah Moria, dan aku akan menunjukkan kepadamu sebuah gunung di mana kamu harus mengorbankan dia kepadaku di atas api sebuah mezbah” (Kejadian 22:2).
“…ketika mereka sampai di tempat yang telah diberitahukan Tuhan kepadanya, Abraham membangun sebuah mezbah dan meletakkan kayu di atasnya. Selanjutnya, dia mengikat putranya dan meletakkannya di atas kayu. Dia kemudian mengambil pisau dan bersiap untuk membunuh putranya. Tetapi malaikat Tuhan berteriak dari surga, “Abraham! Ibrahim!”, “Saya di sini!” Dia menjawab,”Jangan membunuh anak itu atau menyakitinya dengan cara apapun!” kata malaikat itu. “Sekarang saya tahu bahwa Anda benar-benar menaati Tuhan, karena Anda bersedia mempersembahkan putra tunggal Anda kepada-Nya.” Abraham mendongak dan melihat seekor domba jantan yang tanduknya tersangkut di semak-semak. Jadi dia mengambil domba jantan itu dan mengorbankannya sebagai ganti putranya (Kejadian 22:11-13).
Jika kita melihat kutipan ayat Alkitab di atas, maka sebuah gambaran akan kita dapatkan bahwa penyembelihan itu sendiri tidak pernah terjadi. Malaikat Tuhan mencegah penyembelihan tersebut dan memberikan Ibrahim seekor domba jantan sebagai pengorbanan.
Kesimpulannya, Tuhan Allah sendiri yang mencegah proses penyembelihan Ismail (atau Ishak) oleh Ibrahim. Penyelamatan Ismail oleh Allah sendiri dengan yang menggantikan sosok Ismail dengan domba dari surga menunjukkan bahwa Allah tidak pernah merestui korban manusia.
Hal ini dapat pembaca lihat dari ayat di atas: “…Jangan membunuh anak itu atau menyakitinya dengan cara apapun!”
Ucapan Malaikat Tuhan tersebut mengindikasikan bahwa segala bentuk pembunuhan dan kekerasan terhadap seorang anak yang tak bersalah sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Mengapa Prosesi Penyembelihan itu Terjadi?
Yang menjadi pertanyaan adalah jika Tuhan tak berniat membunuh Ismail, lalu mengapa Tuhan menyuruh Ibrahim menyembelih Ismail?
Pertanyaan ini sangat penting, sebab jika Tuhan tanpa alasan menitahkan perintah tersebut kepada Ibrahim, tentu orang-orang akan menganggap bahwa Tuhan adalah sosok yang sewenang-wenang dan tidak berlaku adil.
Jawaban atas pertanyaan ini terdapat dalam sebuah hadits (sumber Islam) yang menjelaskan bahwa Ibrahim sendiri yang bersumpah pada Tuhan untuk mengorbankan anaknya.
Dikisahkan dalam kitab ‘Durratun Nashihin’ karya Syaikh Syakir al-Khaubawi, bahwa Nabi Ibrahim telah berkurban 1000 kambing, 300 unta, dan 100 sapi untuk pengorbanan kepada Tuhan.
Melihat hal ini, orang-orang dan para malaikat kagum melihat itu, lalu timbul rasa kebanggaan dan kesombongan Ibrahim, sehingga ia berkata kepada orang banyak:
“Semua yang telah saya korbankan, bukanlah apa-apa bagiku. Demi Allah, sekiranya aku mempunyai seorang anak, niscaya pasti aku sembelih dan aku korbankan kepada Allah” (Durratun Nashihin’, Syakir al-Khaubawi).
Ucapan Ibrahim ini disaksikan oleh khalayak ramai yang merupakan pengikut setianya. Ucapan Ibrahim ini membuat orang makin kagum karena mereka menganggap Ibrahim adalah orang suci yang mengorbankan apapun untuk kepentingan Tuhan dan orang lain.
Setelah sekian lama, Tuhan akhirnya mengaruniakan anak kepada Ibrahim, yaitu Ismail. Ibrahim tenggelam dalam suka cita dan lupa pada sumpahnya. Inilah sebab mengapa Tuhan memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih Ismail. Bukan karena kemauan Tuhan, tetapi karena ucapan Ibrahim sendiri. Ini memberi pelajaran bagi kita untuk menjaga ucapan dari sumpah dan janji, serta menjauhkan hati dari rasa sombong dan bangga diri.
Nabi yang Humanis
Jika membuka tarikh atau sejarah kehidupan Ibrahim, maka kita akan temukan dalam diri Ibrahim seorang yang humanis dan mendambakan pembebasan. Ia melawan kekuasaan Namrud tanpa kekerasan. Ia membebaskan rakyat Babilonia dari penindasan Namrud, serta membawa rakyat Babilonia ke tanah yang lebih menjanjikan. Kita tentu pernah mendengar kabar mengenai Bangsa Sodom dan Gomorah, sebuah bangsa yang dihancurkan Tuhan.
Dalam catatan kitab suci, Bangsa Sodom dan Gomorah adalah bangsa keras dan suka mengekspansi negara lain. Bangsa ini juga tak ramah pada suku dan orang di luar bangsanya.
Nabi Luth datang berdakwah di sana atas saran Ibrahim. Luth berusaha mengajar nilai-nilai kemanusiaan dan moral agama kepada Kaum Sodom. Namun, Bangsa Sodom merendahkan dan menghina Luth, sehingga Tuhan ingin menghukum Bangsa Sodom dan Gomorah. Ketika Tuhan memberi tahu Ibrahim soal hal ini, Ibrahim memohon pada Tuhan agar tidak menghancurkan Bangsa Sodom dan Gomorah.
Tuhan mengabulkan permintaan Ibrahim asalkan terdapat orang baik di kota itu
“Bagaimana jika ada 50 orang baik di sana?” Kata Ibrahim, “Aku tidak akan memusnahkan untuk 50 orang itu,” kata Tuhan.
“Bagaimana jika ada 40 orang baik di kota itu?” Kata Ibrahim. Tuhan berfirman, “Aku tidak akan memusnahkan kota itu untuk 40 orang baik.”
Lalu dengan Ibrahim berkata lagi,”Bagaimana jika ada 10 orang baik di kota itu?” Tuhan berfirman, “Aku takkan memusnahkan kota itu untuk 10 orang baik”.
Percakapan di atas menunjukkan bahwa Ibrahim bukanlah seorang kriminal seperti yang dituduhkan oleh mereka yang tak mempercayai agama.
Sebaliknya, Ibrahim dalam kisah ini tampak memiliki sifat humanis karena tak ingin ada manusia yang tersakiti atau musnah.
***
Kisah kehidupan Ibrahim mengandung banyak hikmah. Dalam kisah ini, kita tahu bahwa Tuhan Allah sangat menyayangi umat manusia dan melindungi nyawa setiap hambanya.
Pembunuhan dengan alasan apapun tidak dibenarkan oleh Tuhan meskipun pembunuhan itu dilakukan murni untuk Tuhan. Tuhan Allah telah mencegah Ibrahim untuk mengorbankan putra tercintanya Ismail, karena hal itu tidak dikehendaki oleh Allah. Ujian Tuhan pada Ibrahim dan terselamatkannya Ismail memberi pelajaran berharga bagi kita, bahwa Tuhan tak merestui pengorbanan darah manusia.
Jika ada sekelompok orang yang melakukan pembunuhan terhadap orang lemah dan tak bersalah dengan dalih dirinya “disuruh Tuhan”, maka abaikan dan jauhi orang tersebut. Sebab Allah tidak menerima pengorbanan nyawa manusia, bagaimana mungkin Allah menghendaki pembunuhan atas manusia, sedangkan Allah menginginkan kita hidup berbahagia di dunia dan di akhirat?
Referensi
Al-Khaubawi,1994, Durratun Nashihin, Semarang: Asy-Syifa.
Alkitab, 2015, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.
Dawkins, Richard, 2013, The God Delusion, Jakarta: Banana.
Fauzi Achmad, 2015, Tragedi Incest Adam dan Hawa & Nabi Kriminal, Yogyakarta: Gubug Saloka.
Kahn, Rabbi Ari, It Never Crossed My Mind. Diakses dari https://outorah.org/p/21996/, pada 10 Juli 2022, pukul 11.00 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com