
Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, Sabtu, (31/12). Hal ini dilakukan karena pemerintah mengklaim Perppu tersebut menggantikan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun demikian, sebagian kalangan menyayangkan lahirnya Perppu tersebut bermasalah mengingat didalamnya berpotensi adanya permasalahan pada aspek hukum.
Pemerintah membentuk Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan menjawab kritik soal penerbitan Perppu dengan alasan ada kegentingan yang memaksa di mana hal ini harus dikeluarkan lantaran kondisi dunia yang diliputi berbagai ancaman (DPR.go.id, 2/1/2023). Namun, pada akhirnya alasan genting dan mendesak seperti yang disampaikan pemerintah juga menimbulkan pertanyaan lebih jauh. Meskipun, di sisi lain, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga menyebut Perppu ini memiliki alasan kegentingan memaksa sebagai dasar penerbitan Perppu sudah terpenuhi sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009 (Detik.com, 31/12/2022)
Seperti diketahui, persoalan pro dan kontra terkait dengan terbitnya Perppu 2/2022 menuai banyak kritik dan penolakan lantaran menyalahi dan inkonsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam 2 tahun (Tempo.co, 4/1/2023).
Lantas, bagaimana dengan lahirnya Perppu 2/2022 tersebut? Sudahkah memenuhi kaidah hukum secara tepat? Bagaimana dampaknya terhadap penegakan demokrasi di Indonesia?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nampaknya pada awal diskursus perlu diajukan sebuah kritik yang penting yang harus dikaji dalam proses lahirnya perppu ini apakah sudah berbanding lurus dengan putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja dan merupakan perwujudan dari mekanisme konstutisional yang tepat? Nampaknya, hal itu masih terlalu jauh dari jawaban ideal. Lantaran memang ada catatan secara khusus yang harus dituntaskan dalam putusan MK agar dalam proses pembentukannya dapat melahirkan proses partisipasi publik yang bermakna.
Selanjutnya, persoalan yang muncul dalam proses legislasi dalam hal ini adalah seharusnya bisa didorong melalui pembentukan undang-undang, bukan Perppu. Mengingat seharusnya peran legislasi pembentukan aturan perundang-undangan selevel undang-undang dalam kondisi ini dilakukan dengan keterlibatan DPR bersama-sama dengan Pemerintah. Termasuk proses memperbaiki UU Cipta Kerja dengan tidak menegasikan partisipasipasi secara luas. Sebaliknya, jika ada pemaksaan pembuatan Perppu tentu akan membuat celah kepada Presiden untuk dapat bertindak absolut dibalik lahirnya. Oleh karena itu, perlu didorong mekanisme di luar Perppu sehingga dapat menghasilkan mekanisme legislasi dengan proses-proses hukum formil yang memiliki legitimasi. Hal ini juga menggambarkan kondisi checks and balances yang lebih dominan, salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa penggunaan Perppu dengan begitu saja tanpa dasar yang kuat akan berpotensi menunjukkan gambaran absolute power dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Mengingat, sampai detik ini dalih penggunaannya masih menimbulkan pro dan kontra berkaitan dengan ketidakjelasan ihwal kedaruratan dan kekosongan hukum yang harus dijadikan dasar pembentukannya. Akhirnya, proses pembuatan Perppu yang tidak memiliki dasar legitimasi yang kuat sejatinya menjadi jalan pintas lahirnya persoalan-persoalan yang justru menggerogoti konsep negara hukum, di mana didalamnya ada penghormatan terhadap rule of law, checks and balances, dan demokrasi.
Referensi
https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/42628/t/Kurniasih+Nilai+Perppu+Cipta+Kerja+Inkonsisten+Dengan+Putusan+MK. Diakses pada 4 Januari 2022, pukul 13. 00 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/1675584/perpu-cipta-kerja-terbit-eks-ketua-mk-dicari-alasan-pembenaran-oleh-sarjana-tukang-stempel Diakses pada 4 Januari 2022, pukul 22. 30 WIB.
https://news.detik.com/berita/d-6491176/kritik-perppu-ciptaker-pshk-dokumennya-saja-belum-bisa-diakses. Diakses pada 4 Januari 2022, pukul 22. 00 WIB.
.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.