
Setelah DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu memutuskan pelaksanaan pemilu serentak pada 14 Februari 2024 dan pilkada pada 27 November 2024, bukan gegap gempita yang menyambut pesta demokrasi tersebut. Sebaliknya, kekhawatiran demokrasi mundur satu langkah justru membayangi bangsa Indonesia. Hal ini seiring dengan beberapa elit partai politik memunculkan wacana penundaan pemilu. Tentu, hal ini memantik pro dan kontra di tengah masyarakat.
Usulan supaya penundaan Pemilu 2024 awalnya disampaikan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar. Usulan itu lalu diikuti oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Namun, beberapa parpol seperti PKS, Demokrat, PPP, PDIP, NasDem, dan Gerindra menolaknya.
Selain itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim big data yang berisi percakapan 110 juta orang di media sosial mendukung penundaan Pemilu 2024. Namun, klaim ini lantas diberondong oleh beberapa lembaga survei yang menunjukkan bahwa mayoritas responden yang puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo menolak wacana penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024. Silang debat dan klaim hasil survei ini pun lantas mendorong wacana publik. Khususnya, terkait dengan syarat muatan politik serta kepentingan para elit politisi dibalik isu ini.
Beberapa alasan, internal maupun eksternal, disampaikan terkait dengan wacana ini. Isu terkait dengan Pandemi COVID-19 menjadi isu yang diangkat. Padahal, saat ini penanganan COVID-19 sudah semakin baik bahkan pelonggaran peraturan telah dilakukan di sejumlah sektor. Meskipun demikian, hal ini patut untuk dipertanyakan.
Selain itu, tingginya beban biaya pemilu dibandingkan pemilu sebelumnya juga menjadi salah satu persoalan yang diangkat. Meskipun tampak rasional, namun hal ini perlu ditimbang labih jauh dampaknya.
Seperti diketahui, berdasarkan data dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), terdapat beberapa negara yang menunda pemilu/pilkada dalam kurun waktu terakhir. Sebagai contoh Selandia Baru, Hong Kong, dan Bolivia merupakan negara yang menunda pelaksanaan pemilu di tengah tingginya peningkatan kasus COVID-19, ditambah belum ada penelitian yang memadai terkait dampak pandemi COVID-19 terhadap ketahanan kesehatan masyarakat pada waktu itu. Dengan demikian, langkah penundaan pemilu diambil sebagai upaya untuk melindungi nyawa manusia, bagian pokok dari hak asasi manusia.
Dampak apa yang akan muncul dalam hal ini jelas akan mempengaruhi kondisi ini tentu membuat masalah baru terkait dengan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Selain itu, yang patut menjadi pertanyaan juga adalah bahwa Indonesia melaksanakan pemilu serentak. Maka, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana nasib pemilu yang tidak hanya memiliih presiden dan wakil presiden saja, namun juga untuk memilih anggota legislatif (MPR,DPR, dan DPD)? Hal ini tentu akan berdampak besar terhadap bagaimana pelaksanaan pemilu yang berguna untuk mengisi posisi representasi rakyat baik eksekutif maupun legislatif. Apakah konsekuensi yang dihasilkan justru tidak lebih baik daripada tetap melaksanakan pemilu? Alih-alih menyelesaikan masalah justru hal ini akan berdampak negatif dalam konteks yang lebih luas.
Indonesia adalah negara hukum di mana hal ini dijelaskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Hal ini jelas merupakan salah indikator bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi kedaulatan hukum. Sebagai negara yang menganut prinsip-prinsip negara hukum (rechtsaat), maka kekuasaan tidak boleh berlagak seenaknya sendiri yang justru mencerminkan negara kekuasaan (machstaat).
Selanjutnya jika menilik Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 bahwa melaksanakan pemilu untuk memilih presiden, wakil presiden, beserta anggota parlemen telah diatur secara tegas di mana pelaksanaan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dengan demikian, wacana penundaan pemilu ini jelas sama sekali tidak memiliki dasar hukum.
Perkembangan terakhir yang mencoba mewacanakan untuk melakukan amandemen UUD 1945 agar penundaan dapat dilakukan dan konstitusional, maka hal ini sungguh menjadi tamparan bagi publik. Bagaimana mungkin, hal yang terang benderang mendapatkan penolakan secara publik justru dideterminasi oleh rasio politik yang menunjukkan egoisme kepentingan elit dibandingkan kepentingan bangsa dan negara.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.