Meluruskan Kesalahpahaman Terhadap Istilah “Liberal”

    626

    Apa yang Anda pikirkan ketika kata “liberal” disebut? Beberapa orang yang pernah saya temui sering memiliki persepsi negatif ketika membahas terminologi ini. Beberapa orang menganggap bahwa liberal itu bebas tanpa aturan, semau-maunya, liar atau kumpulan anak muda yang bergaul dalam ikatan sosial yang bebas tanpa mengikuti kaidah dan norma.

    Pemahaman bahwa liberal sama dengan bebas aturan main ini, membuat kata liberal sinonim dengan kata “liar”, ”anarki”, dan “keos”. Atau secara sederhana, liberal disamakan dengan ketiadaan aturan dan hukum, sehingga setiap orang bisa bebas melakukan apa yang mereka kehendaki.

    Kata liberal di Indonesia sering disalahpahami, sama dengan istilah “feminis” yang sering disalahkaprahkan sebagai seorang perempuan yang tidak taat pada suami dan bebas melakukan hubungan seksual tanpa terikat pernikahan. Hal ini sebenarnya pengertian tersebut sangat sesat dan menyesatkan!

    Jika kita search di Google kata liberal tersebut, maka berlimpah ruah ratusan artikel yang mendiskripsikan kata liberal, baik berkonotasi negatif atau positif. Contohnya ketika kita membuka kolom berita belakangan ini di Republika.co.id, Cecep Darmawan selaku akademisi mengkritik Permendikbud No. 30 sebagai sebuah aturan liberal yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, berikut kutipan lengkapnya:

    “Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021, oleh berbagai kalangan dinilai lebih bernuansa pemikiran liberal dan hedonis yang tentunya bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,” katanya. Sedangkan di bagian lainnya, ia menulis. “Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 pun kontraproduktif dengan upaya pendidikan karakter. Alih-alih membangun profil Pelajar Pancasila, malah menyuburkan budaya permisif dan kebarat-baratan” sambungnya (Republika.co.id, 8/11/2021).

    Dari penjabaran di atas, si istilah liberal dikaitkan dengan hedonisme, kebarat-baratan, permisif, dan menyebutnya sebagai nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. Di sini, saya tak ingin membuat bantahan, tetapi mengajak untuk memahami dan mengkaji ulang apa itu liberal, liberalisme, dan kebebasan.

    *****

    Jika kita mengulas dari segi bahasa, kata liberal itu sendiri merupakan pandanan dari kata liber yang berarti bebas atau dari bahasa Prancis disebut liberte yang didengungkan ketika Revolusi Prancis bergejolak pada abad ke-17 (etymonline.com).

    Memang benar bahwa, liberalisme sangat menjunjung kebebasan. Kenapa? Kawabannya sederhana, karena kaum liberal meyakini bahwa setiap manusia memiliki fitrah berupa kebebasan. Dari fitrah manusia yang bebas ini setiap individu bisa melakukan apapun. Bisa memilih makanan yang enak, bebas menentukan tujuan dan cita-cita, bebas melangkah dan bekerja apapun juga.

    Karena kebebasan ini pula manusia bisa berkarya dan menghasilkan barang-barang yang menjadi hak miliknya. Dengan kebebasan itu pula, manusia bisa menggunakan akal sehatnya untuk memilih mana yang benar dan juga yang salah. Melalui kebebasann juga, manusia bisa menggunakan akal sehatnya untuk menentukan pilihan dan sikapnya.

    Tentu, kita bisa membayangkan jika hidup ini tanpa kebebasan. Misalnya, bayi yang baru lahir tidak memiliki kebebasan untuk menangis, apakah orang tua boleh menyumpalkan kain ke dalam mulut bayi? Atau, ketika kita ingin keluar rumah, apakah kita harus selalu melapor pada pihak yang berwajib menerangkan kemana tujuan kita, berapa langkah yang harus kita butuhkan, dan jam berapa kita akan pulang.

    Dunia tanpa kebebasan pasti akan menakutkan dan menyeramkan. Karena itulah, Tuhan menganugerahkan setiap orang kebebasan agar ia bisa melakukan sesuai kehendaknya. Setiap orang diberi pilihan untuk menentukan mana yang terbaik bagi dirinya, setiap orang diberikan keleluasaan untuk menata masa depannya.

    Jika manusia dilahirkan tanpa memiliki kebebasan dan kehendak bebas menentukan hidupnya, apakah yang demikian bisa disebut sebagai manusia? Apa bedanya dengan batu dan benda mati lainnya?

    *****

    Dalam sebuah tayangan di ILC, Rocky Gerung pernah menjelaskan sebuah definisi kebebasan yang menarik. Ia membedakan antara freedom dan liberty. Dalam kamus Inggris-Indonesia, kata freedom dan liberty diartikan sebagai sebuah hal yang sama yaitu kebebasan tok.

    Padahal, dalam bahasa aslinya (Inggris), kata kebebasan freedom sangat berbeda dengan kebebasan liberty. Freedom menurut Rocky Gerung adalah kebebasan konseptual, yaitu gagasan bahwa manusia bebas dan kebebasan itu sebagai fitrah. Sedangkan, liberty adalah kebebasan dalam lanskap interaksi antar individu.

    Individu-individu yang memiliki kebebasan tentu akan bermasalah ketika ia bertemu dengan individu lain yang memiliki kebebasan pula. Karena itulah, untuk menghindari konflik, maka dibicarakan konsep kontrak sosial, di mana setiap orang tetap bebas dan saling menghargai kebebasan orang lain.

    Dari kontrak sosial itulah kemudian muncul sistem hukum dan norma. Dari sini saja orang sudah keliru jika menyatakan bahwa liberalisme adalah sebuah sistem anti hukum dan anti norma. Sebab, liberalisme itu hadir menawarkan konsep hukum dan sistem politik yang mana agar tiap orang bisa hidup dalam pergaulan yang harmonis tanpa merusak kebebasan orang lain.

    Hak untuk hidup, hak untuk berpikir, hak untuk memiliki properti adalah sebuah hak dasar yang dijunjung tinggi dalam liberalisme. Dan fondasi itu semua adalah penghargaan terhadap kebebasan yang dimiliki oleh tiap individu.

    Tentu, setiap orang pasti menyetujui gagasan mengenai hak asasi manusia, yaitu hak yang tak bisa direbut atau diambil alih oleh siapapun bahkan harus dihormati dan dilindungi oleh negara.

    Dengan demikian, tuduhan bahwa liberalisme sebagai anarki, liar dan tak beraturan adalah tuduhan orang yang sesat pemikiran. Liberalisme justru adalah sebuah pemikiran yang berusaha untuk merangkum sebuah norma dan hukum agar dihormati, ditaati, serta melindungi kebebasan dan hak setiap orang.

    Lalu, apakah liberal anti agama, hedon atau kebarat-baratan?

    Jawabannya adalah tidak. Liberalisme justru membebaskan tiap orang untuk memilih dan memeluk agama sesuai keyakinan hati nuraninya. Liberalisme mempersilahkan tiap keyakinan untuk beribadah tanpa boleh ada satupun yang menganggu dan menghalangi. Jika demikian, maka liberalisme justru sangat Pancasilais, karena liberalisme justru yang konsen membela nilai-nilai Pancasila, khususnya mengenai kebebasan beragama.

    Mengenai hedonisme, jelas liberalisme tidak mengajarkan hedonisme atau asketisme. Liberalisme mengakui bahwa tiap orang bebas menilai dan memilih jalannya apakah ingin menghabiskan hartanya untuk kesenangan atau mendermakannya untuk sesama.

    Dan pertanyaan terakhir, mengenai liberalisme dan kebarat-baratan, hal ini sudah pernah dibahas oleh Suara Kebebasan dalam artikel di buku Libertarianisme. Gagasan liberalisme menjunjung nilai-nilai universal; kebebasan, persaudaraan, kesetaraan, hak untuk hidup, hak untuk mendapat keadilan hukum, dan hak untuk memiliki properti (Suara Kebebasan, 2019).

    Jika nilai-nilai seperti ini adalah produk Barat (Amerika dan Eropa), apakah ideologi atau pemikiran lain di luar liberalisme menolak gagasan universal ini atau malah mendukung gagasan sebaliknya?

    Tentu tidak. Gagasan kebebasan tidak terletak di Timur atau Barat, tidak milik orang Asia atau Eropa. Namun, gagasan universal yang cocok untuk tumbuh dan hidup di berbagai bangsa dan dapat diterima oleh akal sehat tiap orang.

     

     

    Referensi

    Buku

    Suara Kebebasan. 2019. Libertarianisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan. Jakarta: Suara Kebebasan.

     

    Internet

    https://www.etymonline.com/word/liberty Diakses 22 November 2021, pukul 16.00 WIB.

    https://www.republika.co.id/berita/r28a1r282/aturan-mendikbudristek-no-30-pemikiran-liberal Diakses 22 November 2021, pukul 10.33 WIB.

    https://www.youtube.com/watch?v=vAYDjSZdxTY Diakses pada 22 November 2021, pukul 16.33 WIB.