Kebebasan sipil kita senantiasa terancam oleh tindakan sepihak kaum anti toleransi. Sumber anti kebhinekaan berasal dari organisasi massa berbasis agama tertentu memang nyata terjadi. Dalam beberapa pekan terakhir, beberapa kejadian di dua kota menjadi cerminan betapa rentannya kebebasan beragama dan hak untuk berserikat dan berkumpul.
Pertama, warga Bangka yang notebene memiliki keyakinan cc menjadi korban dari pemerintah daerah Kabupaten Bangka yang tidak memberi perlindungan serta jaminan keselamatan atas keberadaan mereka. Padahal, pemerintah pusat telah mengimbau agar dapat menyelesaikan kehadiran Jemaat Ahmadiyah Indonesia dengan menggunakan pendekatan persuasif (dialog). Sayangnya, imbauan sudah tidak didengar dan berpengaruh bagi pemda Kabupaten Bangka.
Alih-alih menyetujui saran dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Bupati Bangka Tarmizi Saat malah mencari jalan pintas penyelesaian masalah. Bupati yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera ini menyangkal mengambil inisiatif mengusir warga Ahmadiyah dari wilayahnya. Bahkan, Ia mengklaim “permintaan pindah” Jemaat Ahmadiyah Indonesia cabang Bangka guna memberikan win-win solution. Bukannya menjadi pelindung bagi semua warga, ia justru gagal melindungi warga yang tinggal di Kabupaten Bangka.
Kedua, kehadiran Walikota Bogor Bima Arya Sugiarto dalam peresmian kantor Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) awal bulan ini. Alasan Wali kota Bima Arya terkesan ingin mengayomi dan menjaga hubungan baik dengan semua elemen masyarakat. Namun kita mengetahui reaksi dari khalayak justru sebaiknya, netizen mengkritik kehadirannya. Seperti artikel sindikasi Lutfi Assyaukanie pada laman ini menegaskan bahwa HTI dengan jelas menyerukan sebuah khilafah Islamiyah dan mencela konstitusi Indonesia. Kelompok ini telah berkampanye melawan negara serta juga bangunan politiknya.
Lebih dari 15 tahun terakhir, HTI telah aktif merekrut anggota-anggota, khususnya para mahasiswa berbagai universitas, dan melakukan indoktrinasi untuk tidak mematuhi perintah republik. Adapun Walikota Bogor lalu berdalih organisasi HTI memiliki cara pandang berbeda terhadap agama dan negara, namun terdapat kesamaan dalam melihat permasalahan, seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, HIV/AIDS, dan masalah kriminalitas.
Kami tidak yakin Walikota Bogor alpa bahwa kedatangannya pada forum resmi organisasi ini, dapat diartikan dukungan bagi organisasi yang nyata-nyata menolak Pancasila sebagai ideologi negara dan dasar negara Indonesia. Di satu sisi, Walikota ingin mengayomi seluruh elemen warga Bogor. Di sisi lain, penyelesaian permasalahan laten Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin – Bogor justru ia tempuh dengan merelokasi dan merusak hubungan internal GKI. Ia tidak menjalankan keputusan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan GKI Yasmin terkait izin mendirikan bangunan (IMB).
Berkaca dari dua peristiwa lokal itu yang diperbincangkan secara luas oleh media sosial maupun media massa. Kebebasan sipil warga sedang terancam oleh perilaku pejabat publik. Yang kami maksudkan dengan kebebasan sipil melingkupi kebebasan agama sebagai pilar terpenting dalam civil liberties. Selain itu, kebebasan sipil adalah manifestasi dari kemerdekaan individu.
Bahwa negara menjamin warganya untuk berkumpul atau berserikat, berbicara, beragama atau berkeyakinan memang termaktub dalam konstitusi kita, UUD 1945. Namun idealitas konstitusi masih memerlukan realisasi dan pelaksanaanya. Kehadiran pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Nawa Cita, dokumen visi-misi Capres dan Cawapres menyebutkan bahwa intoleransi dan krisis kepribadian sebagai satu dari tiga masalah pokok kita. “Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sectarian dan berbagai bentuk intoleransi. Negara terkesan abai dalam menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter Indonesia sebagai bangsa yang majemuk.”
Kami tidak ingin mengulang episode kampanye Presiden lebih kurang dua tahun lalu. Kami justru berwacana bagaimana Nawa Cita, secara khusus ikhtiar memperteguh Ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia, dapat direalisasikan secara bertahap dan keyakinan bahwa kehadiran negara menuju masyarakat yang maju dan demokrasi berlandaskan negara hukum.
Karena telah lebih dari satu tahun visi politik guna menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, belum dapat dirasakan eksistensinya. Tentu saja, persoalan ekonomi dan problematika politik yang mengganjal pertumbuhan nasional serta stabilitas politik memang memerlukan perhatian tersendiri. Namun, melindungi kebebasan sipil warga negara juga bukan agenda yang dapat ditunda.
Pemerintah tidak dapat hanya menghimbau dan mengajak elemen warga agar dapat menghargai dan melindungi kebebasan sipil. Lebih dari itu, kedua peristiwa di atas perlu ditangkap sebagai ilustrasi nyata, bagaimana pemerintah daerah nyatanya bekerja dan berpikir sangat berbeda dari apa yang telah menjadi visi politik pemerintahan ini.
Untuk itu, hal mendesak bagi perlindungan kebebasan sipil tidak lain memperkuat potensi masyarakat sipil yang mendukung civil liberties, seraya mengontrol perilaku elit lokal melalui beragam instrumen kebijakan yang dimiliki, misalnya yang powerful namun belum dimaksimalkan mekanisme anggaran pusat-daerah.

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Iksan, juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelum bergabung dengan Paramadina sejak 2012, Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.