Melihat Arab Yang Semakin Liberal

    835
    Foto: thenational.ae

    Kalau jadi Hindu, jangan jadi orang India. Kalau jadi Islam, jangan jadi orang Arab. Kalau jadi Kristen, jangan jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi orang Indonesia dengan adat budaya Nusantara yang kaya raya ini.”

    Ucapan Bung Karno hingga saat ini masih relevan untuk direnungkan dan diresapi oleh masyarakat Indonesia saat ini, bahwa inti dari agama adalah ajaran moral, bukan budaya dan pola tradisi yang terikat dengan bangsa atau ras tertentu. Yang terpenting dari agama adalah mengambil esensinya, bukan mengambil kulit luarnya.

    Jagad media sosial belakangan ini dikejutkan oleh berita bahwa camat di Ciputat, Tangerang Selatan, mensosialisaikan  baju gamis  setiap hari Jumat kepada stafnya dan juga PNS. Dilansir dari Tempo, Camat Ciputat kabarnya telah membuat surat perintah untuk seluruh pegawai negeri sipil (PNS) di daerahnya untuk menggunakan pakaian gamis hitam setiap hari Jumat.

    Surat dengan kop Pemerintah Kota Tangerang Selatan Kecamatan Ciputat itu kemudian menjadi viral dan menjadi perbincangan hangat di media sosial. Surat tersebut dikeluarkan oleh Camat Ciputat, Andi D. Patabai. Hal ini membuat Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri turun tangan dan mengkonfirmasi bawahannya untuk diteliti lebih lanjut (Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1258981/viral-surat-camat-ciputat-wajibkan-pns-wanita-pakai-gamis-hitam).

    Aturan yang cenderung memaksa para pegawai PNS untuk mengenakan baju gamis warna hitam terkesan dipaksakan. Belum lagi maksud dan tujuan penggunaan busana khas Arab itu tidak diketahui untu apa tujuan dan maksudnya. Jika tujuan penggunaan baju gamis tersebut agar PNS semakin Islami dan bertaqwa, tentu saja ini kebijakan yang salah sasaran, sebab ketaqwaan tidak diukur dari baju gamis datau atribut pakaian Arab.

    Belakangan ini isu Arabisasi mulai menyeruak di Indonesia. Munculnya gerakan wahabisme tidak hanya membawa ajaran agama, tetapi kebudayaan Arab yang vis a vis bertolak belakang dari kebudayaan lokal masyarakat Nusantara. Begitu juga dengan tren Hijrah yang makin mencitrakan bahwa segala yang Islami itu adalah segala atribut dan pakaian “seperti” orang Arab, seperti pakaian, atau malah bahasa yang menggunakan lafal ana-antum menggantikan saya-kamu.

    Munculnya wisata halal dan juga beberapa ormas yang anti pada pertunjukan wayang kulit serta upacara bulan Suro, menandakan munculnya fenomena Arabisasi Indonesia. Fenomena Arabisasi yang dimaksud adalah kecenderungan masyarakat untuk beragama seagaimana beragama orang Arab, yaitu wahabisme yang literal dan kaku dalam menafsirkan agama,

    Fenomena Arabisasi yang dibawa oleh paham wahabisme-salafisme kini menjadi populer di Indonesia. Masyarakat Muslim Indonesia menjadikan dunia Timur-Tengah (khususnya Arab) sebagai patokan ideal mereka dalam berbusana dan gaya hidup, sehingga mereka menggunakan pakaian ala Arab dan berbicara dengan logat ala orang Arab karena dianggap sebagai bagian dari praktik agama.

    Namun, yang terjadi di dunia Arab  malah berkebalikan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Dunia Arab kini sedang mengalami perubahan dalam politik dan  pola keberagamaan. Contohnya  Arab Saudi. Di bawah kepemimpinan Raja Salman bin Abdul Aziz dan Pangeran Muhammad bin Salman, mereka  melakukan beberapa terobosan yang liberal untuk memajukan ekonomi  dan mendukung pencegahan kelompok ekstrim radikal yang berkembang di negaranya.

    Ketika gerakan salafisme berkembang di seluruh dunia Islam,  Arab Saudi sebagai negara basis salafisme malah  melakukan reformasi besar-besaran dengan melakukan liberalisasi dalam bidang ekonomi dan juga sosial. Reformasi dan kebijakan-kebijakan liberal yang digagas oleh Pangeran Muhammad bin Salman tentu membuat para penganut salafi-Wahabi bingung sekaligus kecewa.

     

    Liberalisasi Arab

    Pada tahun 2015, resesi dan krisis ekonomi mulai menghantui Arab Saudi, dimana harga minyak dunia yang turun, harga barang konsumsi naik, dan pengangguran tinggi. 70 persen ekonomi Arab Saudi bergantung pada minyak bumi, dan ketika sumber ekonomi tersebut terjun bebas, otomatis Arab Saudi mengalami kesulitan besar.

    IMF sendiri pada tahun 2015 mewanti-wanti Arab Saudi, anjloknya harga minyak dunia akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Arab. Tahun 2015 pertumbuhan ekonomi Arab Saudi hanya tumbuh kisaran 2,8 persen, sedangkan tahun 2016 berada pada kisaran 2,4 persen. Penjualan minyak bumi hanya menolong ekonomi dalam negeri hanya sebesar 24,2 persen, turun drastis dari tahun 2014 dimana penjualan minyak memberi kontribusi sebanyak 32,6 persen.

    Perlambatan ekonomi  Arab Saudi yang terus mengkhawatirkan membuat Arab Saudi melakukan reformasi besar-besaran terhadap kebijakan ekonomi dan politiknya. Mula-mula yang melakukan pemecatan terhadap menteri-menteri yang dianggap kurang memiliki kemampuan di beberapa sektor ekonomi. Kemudian dilakukan pula terobosan politik, seperti menangkap dan memecat pangeran-pangeran korup yang dianggap menghamburkan uang negara.

    Melambatnya perekonomian Arab Saudi, disadari oleh pemerintah dikarenakan Arab terlalu bergantung pada sektor minyak. Hal inilah yang menurut Raja Salman dan anaknya, Pangeran Muhammad bin Salman, harus dirubah secara total yaitu melakukan program liberalisasi.

    ******

     

    Ortodoksi dan fundamentalisme beragama adalah cara pandang manusia yang terlampau keras dan sederhana dalam memahami teks. Pola beragama yang ortodoks dan ekslusif ini kemudian menyuburkan faham ekstrimisme, kelompok yang anti keragaman, anti modernitas, dan juga sangat kaku memahami agama.

    Arab Saudi mengalami masalah ini, madzhab Wahabi di Arab Saudi cenderung pada sikap ortodoksi (walau tidak mengarah pada ekstrimisme). Namun, pola beragama yang kolot, eksklusif, dan juga menolak dinamika perubahan zaman dianggap sebagai parasit yang menjadi penghambat dalam liberalisasi yang dijalankan oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi.

    Pemerintah Saudi melakukan peraturan tegas, yaitu merubah kurikulum pelajaran agama menjadi lebih moderat.  Memecat ribuan imam-imam yang terpapar radikalisme, dan juga memberi kelonggaran bagi kelompok-kelompok Islam non Sunni seperti syiah,sufisme, dan aliran lainnya yang selama ini mendapat deskriminasi.

    Pemerintah Arab Saudi tidak ingin negaranya hanya dipandang sebagai pusat ziarah dan agama, namun lebih dari itu, pemerintah Arab Saudi (yang dimotori Pangeran Muhammad bin Salman) ingin agar Saudi menjadi pusat bisnis dan juga pariwisata internasional. Dan upaya itu dilakukan dengan cara memberi visa untuk turis asing (selain para peziarah haji), membuka kafe, restoran, hotel mewah dan klub malam, membangun infrastruktur untuk menopang pariwisata, dan melakukan privatisasi sejumlah perusahaan negara.

    Liberalisasi ini memberi dampak besar dalam perubahan ekonomi, politik, budaya dan agama. Arab Saudi yang sebelumnya melarang bioskop kembali membuka bioskop, teater, dan museum, mengizinkan perempuan untuk menonton sepak bola, menyetir, serta memberi kelonggaran pada mereka dalam mengenakan hijab.

    Untuk melakukan pembenaran terhadap kebijakannya tentu pemerintah Arab membutuhkan ulama-ulama yang berpikiran liberal dan moderat. Oleh sebab itu, banyak ulama yang berpikiran kolot dan radikal ditangkap oleh pemerintah Arab Saudi karena dianggap membahayakan negara.

    *****

     

    Arab Saudi bisa menjadi contoh yang sempurna mengenai pentingnya keterbukaan dan liberalisasi di bidang ekonomi dan agama. fatwa-fatwa yang terlampau keras dan kolot justru menjadi sumber masalah baru bagi Arab Saudi yang ingin berkembang menjadi negara modern.

    Bukan berarti kita menganggap bahwa para ulama Saudi menghambat jalannya pembangunan ekonomi. Namun, yang menjadi masalah adalah paradigma para ulama Saudi yang bersifat konservatif dan ortodoks, terlalu skeptis dan anti terhadap modernisasi, terobosan dan pembaruan. Karena itu, Arab Saudi kini mendukung ulama-ulama yang berpikiran liberal dan terbuka, agar dapat mendorong Saudi menjadi negara modern dan maju.

    Di Indonesia, fenomena yang terjadi malah sebaliknya. Saat ini, kita malah dihantui oleh Arabisasi, dalam artian pemahaman keagamaan kita menjadi kaku dan kolot. Dari pemahaman yang kolot itu munculah tren label-label syariah dan fatwa yang aneh-aneh. Misalnya, wisata halal, hotel syariah, juga muncul sikap anti untuk bekerja dan menabung di bank. Muncul pula fatwa pengharaman penjualan via online karena ada unsur riba dan melarang perempuan untuk bekerja.

    Arab Saudi melakukan liberalisasi dalam hal ekonomi dan agama untuk melepaskan pola pemikiran kolot yang selama ini menjadi pemicu stagnasi ekonomi. Namun sebaliknya, di Indonesia pola pemikiran yang kolot dan dogma yang sempit justru malah ingin diterapkan dengan dalih melaksakan  agama secara “kaffah/menyeluruh”.

    Jelas hal ini akan membawa masalah bagi Indonesia kedepannya. Pola keagamaan yang eksklusif dan kaku cenderung akan merusak kemajemukan Indonesia. Tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan budaya Nusantara yang inklusif. Selain itu, dari sisi ekonomi, fatwa-fatwa yang cenderung menolak modernisasi dan kemajuan akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepannya.

    Dari sini, yang mana yang akan menjadi pilihan kita? Apakah melakukan liberalisasi sebagaimana yang dilakukan Arab Saudi saat ini? Atau melakukan Arabisasi yang bersinonim dengan pola pemikiran ortodoks dan eksklusif yang bahkan telah ditinggalkan oleh bangsa Arab sendiri.