Dalam sejarahnya, perdagangan telah mengangkat banyak orang keluar dari kemiskinan, memperluas pilihan konsumen, serta mendorong kerja sama internasional di mana cakupan implikasinya sangat luas, termasuk dalam rangka pemberdayaan. Perdagangan telah mendorong baik laki-laki maupun perempuan dari berbagai latar belakang yang berbeda untuk memilih dari sejumlah pilihan yang sesuai untuk perkembangan diri.
Sayangnya, netralitas dari perdagangan tersebut belakangan banyak mengalami pergeseran arah yang dipengaruhi oleh wokeism (The Open Magazine, 2020). Sebagaimana Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menyatakan bahwa perdagangan harus bias gender dalam Deklarasi Buenos Aires tentang Perdagangan dan Pemberdayaan Ekonomi Perempuan pada bulan Desember 2017 (Tralac.org, 2019), menunjukkan komitmen yang jelas untuk mengubah misi perdagangan kedepannya.
Relasi antara isu ketimpangan dalam perdagangan ditarik dari ide keadilan sosial, di mana terdapat asumsi bahwa mekanisme perdagangan dalam pasar bebas selama ini justru menguntungkan golongan gender dan ras tertentu secara tidak proporsional. Misalnya, Amerika Serikat pada era Jim Crow, di mana penduduk Afrika-Amerika di wilayah Selatan mengalami diskriminasi parah hingga golongan kulit putih yang menetukan harga serta barang dan jasa apa saja yang akan dibeli atau digunakan oleh warga Afrika-Amerika. Pertimbangan lain termasuk masalah umum ketidaksetaraan gender seperti kurangnya representasi, kesenjangan upah antar gender, dan banyak bias berbasis gender lainnya. Selama terus peka terhadap sentimen demikian, apakah riwayat tersebut akan dijadikan dasar sebagai versi baru dari kebijakan pasar yang proteksionis?
Selayaknya ide Milton Friedman dalam bukunya Capitalism and Freedom, jika suatu korporasi mempraktikkan diskriminasi dagang terhadap kelompok tertentu, maka pengusaha lain yang mau mengabaikan prasangka mereka terhadap kelompok itu akan memanfaatkan peluang pasar tersebut. Contohnya perusahaan retail Sears yang meminimalisir rasisme di Amerika Serikat dengan membuka pasar swalayan bersistem order via surat atau telfon untuk menghindari perlakuan rasis terhadap orang Afrika-Amerika di toko-toko lokal (The Washington Post, 2018).
Begitu pula dengan kesenjangan upah, di mana upah perempuan dianggap jauh lebih rendah dari pada laki-laki. Apabila prinsip dalam berdagang ialah menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin dengan biaya produksi minimal, yang mana juga di mencakup biaya pekerja, maka seharusnya perempuan mendominasi semua sektor dan level ekonomi agar lebih efisien dari segi biaya tenaga kerja. Oleh karena itu, dalam mekanisme pasar bebas yang secara organik bersifat inovatif hingga memunculkan kompetisi dan semakin mendekati titik keseimbangan maka tidak memungkinkan terjadinya diskriminasi gender atau ras.
Walaupun begitu, dibentuknya WTO pada tahun 1955, sebagai kelanjutan dari liberalisasi GATT (General Agreement on Tariff and Trade), yang mana tujuan utamanya ialah menjamin aturan non-diskriminasi perlakuan tarif antara barang impor dan barang lokal, maupun barang impor dari suatu negara dengan negara lain, kini organisasi tersebut berkembang dengan mengintervensi area yang lebih luas dengan harapan mencapai keselarasan penuh termasuk nilai-nilai sosial seperti sentimen gender. Menyalurkan masalah yang secara intrinsik tidak terkait perdagangan ke dalam perdagangan berpotensi mempermudah “pihak ketiga” untuk berpegang pada proteksionisme.
Hal ini dirasa tidak realistis apabila mengharapkan distribusi tersebut merata di semua sub-kelompok populasi. Dalam mewujudkan misi itu, seringkali pembuat kebijakan memisahkan (baik dalam bentuk mengistimewakan atau mengesampingkan) suatu kelompok berdasarkan latar belakang tertentu dengan asumsi bahwa suatu kelompok mendapat manfaat lebih dari yang lain.
Mungkin Dunia Utara akan mendapatkan keuntungan lebih dari Dunia Selatan atau generasi Milenial akan mendapatkan keuntungan lebih dari kalangan Boomers. Mungkin juga daerah perkotaan akan mendapatkan keuntungan lebih dari pedesaan. Haruskah kita juga memasukkan perlakuan khusus dalam setiap kesepakatan perdagangan untuk menjadikannya “Pro-Selatan”, “Pro-Boomer”, atau “Pro-Pedesaan”?
Dengan terobsesi dengan perbedaan dalam alokasi keuntungan jangka pendek dan biaya jangka pendek, kita berisiko kehilangan pandangan tentang gambaran yang lebih besar. Perdagangan tidak harus “dibuat” ramah perempuan. Pasar yang terbuka dan kompetitif dapat menantang prasangka, termasuk tentang gender.
Sebagai konsumen, baik laki-laki maupun perempuan, didorong oleh preferensi pribadi dan batasan anggaran. Keduanya diberdayakan ketika mereka dapat memilih apa yang paling mereka sukai. Lebih banyak pilihan berarti lebih banyak kendali pribadi atas hidup seseorang. Perempuan, terhitung sejak satu dekade lalu telah menjadi kelompok konsumen utama yang menggerakkan 70–80% dari semua konsumsi di tingkat global (Silverstein & Sayre, 2009). Mungkin dalam arti itulah penerima manfaat utama dari kebebasan yang datang dari pasar bebas yang mana keuntungannya dinamis.
Memasukkan misi kesetaraan gender ke dalam perjanjian perdagangan tidak akan membuat semua perempuan ingin berkarir menjadi wirausahawan. Tetapi dengan menghapus hambatan perdagangan tentu saja memberi mereka kendali lebih atas hidup mereka. Hari ini memilih satu dari lima produk impor untuk dibeli, besok tentang karier apa yang harus dipilih. Perdagangan adalah alat pemberdayaan individu yang netral gender dan sebisa mungkin terus dilihat seperti itu.
Referensi
Jurnal
Silverstein, Michael J. Kate Sayre. 2009. “The Female Economy”. Harvard Business Review.
Internet
https://openthemagazine.com/cover-story/a-brief-history-of-wokeism/ Diakses pada 15 Januari 2021, pukul 07.29 WIB.
https://www.tralac.org/news/article/13948-trade-and-gender-training-new-research-and-eif-initiative-announced-on-women-s-day-at-wto.html. Diakses pada 14 Januari 2021, pukul 22.26 WIB.
https://www.washingtonpost.com/news/morning-mix/wp/2018/10/16/searss-radical-past-how-mail-order-catalogues-subverted-the-racial-hierarchy-of-jim-crow/ Diakses pada 15 Januari 2021, pukul 07.05 WIB.

Nanik Indahwati Purwato adalah mahasiswi Universitas Airlangga, Surabaya.