Mayoritas, Minoritas, dan Toleransi di Indonesia

    1074

    Istilah mayoritas dan minoritas mungkin tak asing lagi terdengar di telinga kita. Di setiap aktivitas sosial, ekonomi, agama, serta politik, selalu menjadi catur utama dalam pengambilan keputusan. Berbagai macam perspektif timbul setelah mendengar istilah ini. Mayoritas dan Minoritas seakan jadi neraca yang dipandang eksplisit dapat menciptakan suatu keadilan.

    Mayoritas sering dimaknai sebagai suatu golongan besar yang mendominasi dan berkuasa. Sedangkan, minoritas adalah suatu golongan kecil yang selalu rentan dikuasai, ditekan dan dilema untuk bersuara.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata mayoritas adalah “jumlah orang terbanyak yang memperlihatkan ciri tertentu menurut suatu patokan dibandingkan dengan jumlah yang lain yang tidak memperlihatkan ciri itu”. Sedangkan, kata minoritas adalah “golongan sosial yang jumlah warganya jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu masyarakat” (KBBI, 2016).

    Dalam KBBI tersebut, nampak jelas siapa yang dapat dikatakan sebagai “korban” dalam penamaan golongan ini, yaitu golongan minoritas. Yang menjadi pertanyaan, apakah benar golongan minoritas adalah korban dari mayoritas?

    Pada umumnya, golongan yang merasa masuk dalam kategori mayoritas akan selalu leluasa dalam bertindak maupun bersuara. Mayoritas tak akan sungkan–sungkan melakukan hal–hal yang diskriminatif terhadap minoritas karena jelas berbeda dari karakteristik golongannya. Sementara, minoritas pada umumnya akan bertindak menerima saja, karena bagaimana pun tindakan yang diambil tetap tidak ada gunanya.

    Singkatnya, golongan mayoritas seolah-olah mempunyai hak khusus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Stigma tersebut dibuat sedemikian rupa hingga akhirnya minoritas terkesan dituntut untuk “tunduk” kepada mayoritas. Minoritas harus menghormati mayoritas. Tentu, jika kita sedikit menelisik, hal ini merupakan suatu ketidakwajaran. Dalam hal ini, minoritas dapat dikatakan benar sebagai “korban”.

    Dewasa ini, golongan mayoritas seakan mendapat legalisasi untuk mendiskriminasi hingga mengkriminalisasi golongan minoritas. Berbagai macam cara dilakukan untuk mempertahankan “kekuasaannya” baik dalam bentuk isu SARA maupun yang lainnya.

    Pada Mei 1998, terjadi kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia. Pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta dan juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Banyak sasaran perusakan adalah milik etnis Tionghoa. Lebih jauh, juga ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Tionghoa (Liputan6.com, 12/1/2019).

    Pada saat ini, isu SARA dari mayoritas dan minoritas dapat ditemukan dengan mudah karena sangat banyak beredar di berbagai media sosial. Misalnya, dugaan penyebaran ujaran kebencian dan penghinaan agama atas ceramah Rizieq di Pondok Kelapa, Jakarta Timur pada 25 Desember 2016. Kasus tersebut dilaporkan Forum Mahasiswa Pemuda Lintas Agama pada 30 Desember 2016 (Kompas.com, 11/11/2020).

    Kasus-kasus ini tentu akan menimbulkan kebencian yang akan menjerumuskan pada perepecahan antar ras dan agama. Penanganan akan hal ini harus dilakukan secara intensif guna meningkatkan moral dan menciptakan kesatuan bangsa.

    Penulis tegaskan bahwasanya mayoritas dan minoritas sesungguhnya mempunyai hak yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baik itu mayoritas maupun minoritas haruslah saling menghormati, bukan terbeban hanya kepada minoritas saja.

    Hal yang paling tidak mengenakkan adalah penggolongan mayoritas dan minoritas ini dikaitkan dengan agama dan etnik. Menurut saya, ini merupakan suatu ketidakwajaran karena agama berbicara tentang keyakinan dan etnik merupakan suatu yang sifatnya sudah mendarah daging. Agama mayoritas seakan langsung merasa berbeda dan langsung mempunyai stigma buruk saat berhadapan dengan agama minoritas. Begitupun etnik mayoritas seakan merasa kuat saat berhadapan dengan etnik minoritas.

    Apabila hal ini terus berlanjut pintu gerbang menuju perpecahan akan semakin terbuka lebar. Akibatnya persatuan hanya akan tinggal sebatas narasi tanpa aktualisasi. Kebebasan bersuara dan bertindak akan jadi milik golongan mayoritas saja.

    Di negara yang sangat kita cintai ini, perlakuan terhadap mayoritas sangat berbeda dengan perlakuan terhadap minoritas. Yang dilegitimasi menjadi golongan mayoritas seakan jadi anak kandung dan minoritas seakan jadi anak tiri. Mayoritas mempunyai tempat teristimewa dalam negara ini.

    Mungkin kita pernah mendengar kalimat “hukum tajam ke minoritas tumpul ke mayoritas”. Kalimat ini singkat akan tetapi begitulah nyatanya. Kita dapat melihat dengan jelas adanya perlakuan yang berbeda antara mayoritas dan minoritas yang tergambar di kalimat tersebut.

    Kasus yang pernah heboh adalah kasus mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok  masuk dalam perangkap masalah penistaan agama yang terjadi pada periode 2016-2017, yang mengakibatkan dirinya harus mendekam di penjara. Sebelumnya, Ahok dituduh menistakan agama mayoritas di Indonesia. Ahok pun di “gebrak” dengan demo besar yang berjilid-jilid. Ahok diperlakukan seperti penjahat kelas kakap. Usut punya usut, demo-demo tersebut bersinggungan dengan pesta politik yang akan digelar saat itu (Okezone.com, 9/5/2020).

    Pada tahun ini, publik dihebohkan atas video yang beredar tentang pembubaran ibadah di rumah keluarga kristen oleh seorang dari agama mayoritas. Peristiwa ini terjadi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat (Indozone.id, 19/4/2020).

    Sangat disesalkan perlakuan seperti ini terlebih dalam situasi pandemi yag menyebabkan segala sesuatu harus dilakukan dari rumah salah satunya ibadah.  Tak disangka kasus yang intoleran tersebut berakhir di atas video klarifikasi permintaan maaf dan tanda tangan di atas materai. Berdalih kesalahpahaman penegakan PSBB kasus itu pun selesai (Tribunjakarta.com, 20/4/2020).

    Lantas, apakah benar minoritas haruslah tunduk dan mengalah kepada mayoritas? Harusnya tidak. Kita harus secepatnya membunuh stigma ini. Kita hidup dalam langit yang sama, tanah yang sama, tentunya negara yang sama yaitu Indonesia. Negara yang kaya dan berlandaskan Pancasila yang cinta mati terhadap perbedaan.

    Perbedaan adalah kekayaan yang harus dilestarikan, terlepas dari golongan mana yang memiliki jumlah pengikut atau penganut lebih banyak dan lebih sedikit. Semuanya haruslah sama di mata pemerintah dan masyarakat. Pancasila sudah menjamin hak atas perbedaan tersebut dan merangkulnya dalam sebuah persatuan guna terwujudnya negara Indonesia yang aman, damai, dan tentram. Tinggal bagaimana kita sebagai warga negara dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari–hari.

    Mayoritas dan minoritas harus dimaknai sebagai dua hal yang saling mewarnai dan melengkapi, bukan sebagai ajang kompetisi yang secara jelas kemenangannya ada di tangan mayoritas. Begitu pun minoritas, pikiran–pikiran yang merasa ditindas harus segera dihilangkan. Walaupun memang benar demikian, minoritas harus bangkit dan menunjukkan bahwa pada hakikatnya semua memiliki hak yang sama. Baik hak berpendapat, perolehan perlindungan, maupun keamanan.

    Menurut hemat penulis ada beberapa cara yang bisa dilakukan golongan minoritas untuk menghapuskan dan menghilangkan pikiran-pikiran yang merasa ditindas. Yakni, positive thinking, menjalin relasi damai dengan golongan mayoritas, meneguhkan pikiran bahwasanya hak yang diterima minoritas dan mayoritas adalah sama, menghilangkan prasangka terancam, serta berorientasi pada kecerahan masa depan. Dengan demikian, diharapkan hubungan antara mayoritas dan minoritas di negara kita akan terus membaik, dan kita semua dapat hidup dalam kedamaian dan toleransi di bawah payung kebhinnekaan.

     

    Referensi

    Kamus

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

     

    Internet

    https://megapolitan.kompas.com/read/2020/11/11/12104361/deretan-kasus-yang-menyeret-rizieq-shihab-penodaan-agama-hingga-chat?page=all Diakses pada 7 Desember 2020, pukul 04.57 WIB.

    https://www.liputan6.com/citizen6/read/3869107/sara-adalah-isu-sensitif-berikut-arti-dan-penjelasannya Diakses pada 7 Desember 2020, pukul 05.05 WIB.

    https://www.indozone.id/news/BysQbB/viral-dugaan-pembubaran-paksa-ibadah-di-cikarang-ridwan-kamil-bereaksi/read-all Diakses pada 7 November, pukul 05.26 WIB.

    https://www.sergap.id/nasdem-hukum-tajam-ke-minoritas-tumpul-ke-mayoritas/ Diakses pada 7 Desember 2020, pukul 05.28 WIB.

    https://jakarta.tribunnews.com/2020/04/20/dugaan-pembubaran-paksa-kegiatan-ibadah-di-cikarang-yang-viral-akhirnya-damaibegini-kronologinya?page=all Diakses pada 7 Desember 2020, pukul 05.42 WIB.

    https://nasional.okezone.com/read/2020/05/09/337/2211382/peristiwa-9-mei-ahok-divonis-2-tahun-penjara-atas-penodaan-agama?page=2 Diakses Pada 7 Desember 2020, Pukul 06.52 WIB.