Keputusan pemerintah untuk memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM Darurat) bukan tanpa tantangan. Kebijakan pemerintah untuk menahan laju infeksi dengan pengetatan sosial justru membuat ekonomi masyarakat kian kembang kempis.
Lihat saja di Kota Semarang, di mana pihak Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menyiram dengan air warung-warung yang dianggap melanggar aturan PPKM Darurat. Juga di beberapa daerah pijak aparat tak segan menyita barang-barang dagangan para pedagang sehingga pedagang mengalami kerugian (Pedoman Tangerang, 6/7/2021).
Tindakan aparat dalam penegakan PPKM tak ayal dilakukan dengan kekerasan sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ada seorang ibu mendapatkan kekerasan fisik dari aparat karena si ibu tak mentaati peraturan yang berlaku.
Melihat kejadian ini, seolah kekhawatiran Giorgio Agamben, terbukti bahwa pembatasan sosial dan karantina dengan tindakan represif merupakan preseden buruk, dimana orang-orang dipaksa untuk menerima “keadaan darurat” agar pemerintah mendapat pembenaran untuk mengekang kebebasan dengan dasar untuk menyelamatkan negara(Autonomies.org, 7/4/2020).
Terlepas dari anggapan Agamben yang melihat pembatasan sosial sebagai sebuah tindakan represif. Pada kenyataannya, PPKM yang baru diterapkan kurang dari sebulan ini (dari tanggal 3 Juli hingga 25 Juli) telah mencekik perekonomian nasional.
Sering penulis jumpai para tukang bakso dan pemilik warung mengeluh bahwa pendapatan mereka berkurang karena pembatasan waktu dagang, kurangnya pembeli, dan mahalnya harga kebutuhan pokok. Maka, tidak heran jika selama pembatasan sosial diberlakukan, hampir 1.500 usaha kecil dan menengah gulung tikar karena pembatasan kerja dan keuntungan yang merosot drastis (Liputan6, 17/7/2021).
Dan yang membuat ketakutan masyarakat semakin menghebat, laju infeksi tak terkendali. Hampir segala usaha dilakukan baik tindakan persuasif maupun represif, namun angka penyebaran virus masih di atas 10.000 per hari. Tentu ini menjadi petimbangan, apakah PPKM masih mau dilanjutkan?
*****
Saat duduk dibangku kuliah dan merasakan kerasnya kehidupan sebagai mahasiswa, ada sebuah pepatah yang populer di kalangan mahasiswa: “mahasiswa tidak takut mati, tapi cuma takut lapar”. Sebuah banyolan yang berbungkus petuah tersebut tentu terdengar geli di telinga. Namun, jika dipahami secara mendalam, ternyata pepatah konyol tersebut ada benarnya juga jika melihat konteks saat ini.
Para pedagang, usahawan, karyawan, dan juga buruh harian tentu sadar bahwa dunia yang tengah mereka tempati tengah berada dalam situasi pageblug atau wabah penyakit. Mereka tentu sadar bahwa sewaktu-waktu kehidupan mereka bisa terancam jika virus ganas tersebut menginfeksi mereka.
Namun, para karyawan dan usahawan sadar, bahwa ketakutan mereka akan berbuah kelaparan dan kesengsaraan bila mereka hanya mengunci diri di rumah. Niat baik pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus melalui PPKM Darurat harus bertabrakan dengan realita robohnya perekonomian mikro.
Jika pada tahun 1998 perekonomian Indonesia bisa selamat berkat kreativitas pelaku UMKM, maka pada tahun 2021 ini justru UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional mengalami kelumpuhan. Di sisi lain, niat pemerintah untuk memutus rantai penyebaran lewat PPKM Darurat nampak jauh panggang dari api jika kita melihat realita yang ada pada saat ini.
PPKM Darurat saat ini nampaknya bukan menjadi solusi yang diinginkan warga. Sangat tepat jika pemerintah selaku pembuat kebijakan mempertimbangkan seribu kali jika peraturan ini hendak diperpanjang kembali.
Pandemi dan Kebebasan
Saat wabah virus mulai melanda dunia dan menyebar dengan cepat sehingga menimbulkan krisis global, para aktivis kebebasan sudah mewanti-wanti agar negara tidak bersembunyi dibalik ‘keadaan darurat’ untuk mengekang kebebasan individu. Andy Craig sudah memprediksi bahwa pembatasan sosial yang dilakukan secara represif hanya akan mendatangkan kemarahan publik dan pembangkangan massal(Cato, 25/3/2020).
Libertarianisme tidak mengingkari bahwa pembatasan sosial dan juga isolasi suatu daerah bisa dilakukan dalam keadaan darurat dan sangat terpaksa. Namun yang harus dipertimbangkan adalah, sejauh mana efektivitas lockdown dan PPKM dalam menghalangi penyebaran wabah?
Tentu saja peraturan bermasker, jaga jarak, dan juga anjuran hidup sehat tak bermasalah untuk dilakukan selama pemerintah menekankan pada kesadaran dan tanpa paksaan.Jika terjadi kerumunan dan juga pelanggaran, yang harusnya dilakukan adalah dengan menertibkan tanpa memberi ancaman atau melakukan kekerasan pada siapapun. Himbauan yang dilakukan oleh Wali Kota Lubuklinggau sudah tepat, yang harusnya ditertibkan adalah kerumunannya, bukan menertibkan dan menyita barang milik para pedagang(Pedomantangerang.com, 15/7/2021).
Pemerintah juga harus bekerja sama dengan berbagai pihak seperti restoran dan rumah makan. Ketimbang memberi surat edaran, akan lebih baik jika mereka diajak untuk berdiskusi bersama dengan ketua lingkungan dan organisasi rumah makan atau pedagang.
Dengan demikian aparat tidak perlu lagi menggunakan kekuatan tangannya, cukup teguran oleh kepala lingkungannya. Jika pemerintah melakukan penutupan paksa, maka dengan asas keadilan, pemerintah harus siap memberikan kompensasi pada pedagang tersebut bukan hanya sekedar memaksanya tutup dengan perut lapar.
Referensi
https://antinomie.it/index.php/2020/02/27/eccezione-virale/Diakses pada 23/7/2021 pukul 00.56 WIB.
https://www.cato.org/blog/libertarianism-coronavirus-pandemic Diakses pada 23/7/2021, pukul 00.57 WIB.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/4559347/500-ribu-umkm-gulung-tikar-gara-gara-pandemi-covid-19 Diaksespada 23/7/2021 pukul 00.51 WIB.
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/megapolitan/pr-072224663/wali-kota-lubuklinggau-yang-ditertibkan-itu-kerumunannya-bukan-pedagangnya Diakses pada 23/7/2021, pukul 00.53 WIB.
https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/megapolitan/pr-072175281/satpol-pp-semarang-semprot-rumah-makan-yang-langgar-ppkm-walkot-hendi-berang Diakses pada 22/7/2021 pukul 16.00 WIB

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com