Pemilihan Umum (Pemilu) sudah di depan mata. Siapa dari kita yang memiliki perasaan yang sama, bahwa tak terasa beberapa bulan lagi kita akan kembali menggelar resepsi pemilihan raya 2024. Tak seperti pada Pemilu 2019 lalu yang auranya sudah terasa dari tahun 2018 dan 2017,, beberapa orang bahkan tak sadar bahwa tahun depan kita akan kembali memilih presiden.
Saya berpendapat mengapa momentum Pemilu atau Pemilihan Presiden (Pilpres) khususnya kurang disadari oleh beberapa orang, mungkin karena fokus nasional saat ini adalah pemulihan ekonomi pasca Covid-19.
Masyarakat membutuhkan ketenangan dan stabilitas untuk menggerakkan kembali roda perekonomian seperti sedia kala. Namun, bukan mengenai Covid-19 atau pemulihan ekonomi yang akan saya bahas, tapi mengenai politik identitas di Pemilu mendatang.
Masih relevankah isu SARA di Pemilu mendatang? Pertanyaan ini penting dan menarik mengingat isu ini cukup efektif dipraktikkan di tahun 2014 dan 2019, ketika isu rasis seperti Cina vs Pribumi dan Islam vs kafir dikampanyekan secara nyata dan jelas di antara para pendukung.
Masih segar dalam ingatan saya bahwa isu identitas tersebut bukan hanya menjadi ajang caci maki di media sosial, bahkan di kehidupan nyata perpecahan konstituen sangat jelas terlihat.
***
Beberapa waktu lalu saya menulis status WhatsApp yang isinya menanyakan relevansi politik identitas di Pemilu mendatang. Apakah isu ini masih relevan dan masih menggaet perhatian publik atau bagaimana?
Beberapa sahabat saya membalas bahwa politik identitas adalah hal yang buruk tapi tidak memungkiri ke depannya politik identitas kembali ‘digoreng’ untuk meraup suara publik. Salah seorang sahabat saya lainnya bahkan mengaku ketakutan dan khawatir jika politik identitas kembali ke permukaan.
Memang pada dasarnya politik identitas dihembuskan secara sengaja oleh seorang politisi dengan beberapa tujuan, pertama untuk memecah belah konstituen dan mengetahui mana suara yang potensial untuk diraup.
Prinsipnya dalam demokrasi, mustahil atau sulit bagi seseorang untuk mendapatkan suara mutlak, karena itu ketimbang capek-capek meraih simpati semua orang, lebih baik seorang politisi menyesuaikan diri dengan beberapa kelompok yang satu garis atau sevisi dengannya.
Seorang politikus harus memetakan “pasar” yang sesuai agar dirinya bisa mendapatkan dukungan dari beberapa orang dan kampanye apa yang efektif untuk meraup dukungan mereka. Beberapa wilayah yang terkenal sebagai multi etnis atau terdapat tendensi sensitif terhadap SARA, sangat sesuai untuk dihembuskan isu identitas agar masyarakat terpecah dan si politikus mengambil segmentasi masyarakat yang diprediksi untuk memilih dirinya.
Dalam epos Ramayana, Raja Kera Sugriwa ingin mengetahui mana kelompok yang setia pada Sri Rama dan mana yang merupakan kelompok penyusup atau musuh. Ia memerintahkan setiap kelompok berteriak seperti kera dan melompat bagai kera. Cara ini cukup sukses, beberapa hewan berhasil diidentifikasi sebagai kelompok penyusup pendukung raksasa Rahwana dan dihukum oleh Sri Rama.
Politik identitas dilakukan si politisi dengan tujuan serupa. Siapa yang mendukung kampanyenya, maka itu pemilih potensial yang mendukungnya dan yang menolaknya diidentifikasi sebagai musuh.
Fungsi kedua, politik identitas juga berfungsi untuk mendemonisasi lawan. Tengku Jacob dalam esainya menulis bahwa demonisasi adalah hal yang kerap dilakukan oleh para politisi. Demonisasi dilakukan untuk menjatuhkan lawan sekaligus me-framing lawan sebagai setan atau orang jahat yang harus dihancurkan.
Dalam sejarah, demonisasi dilakukan oleh Hitler, Stalin, bahkan Presiden Amerika George Walker Bush Jr. ketika menghadapi Saddam Hussein. Praktik demonisasi itu juga pernah terjadi di Indonesia, yaitu pada tahun 2014 dan 2019 ketika Jokowi mendapat serangan dan kampanye hitam dari gerombolan ekstrimis yang menudingnya sebagai antek RRC dan komunis. Namun, kita bersyukur kampanye hitam itu tidak mempengaruhi mayoritas rakyat Indonesia,meskipun dalam tubuh Masyarakat terdapat pertikaian.
***
Beberapa waktu lalu Gibran Rakabuming Walikota Solo meluapkan amarah di Twitternya terhadap seseorang yang bernama Budi Santoso. Budi Santoso menyebut Gibran sebagai keturunan PKI dan mempropagandakan rezim Jokowi dan Gibran menganut ideologi Panca Cina. Cuitan yang bernarasi SARA tersebut langsung ditanggapi oleh Gibran yang menyebut bahwa narasi rasis seperti itu sudah tak laku lagi (CNN Indonesia, 01/05/2023).
“Bilang ke Korlap lu. Serangan-serangan seperti ini sudah kalian lakukan di 2014 dan 2019. Sudah terbukti 2 kali kalah dan masyarakat tidak simpatik. Masa mau lu ulangi lagi pola seperti ini di 2024?” cuit Gibran (CNN Indonesia, 01/05/2023).
Membaca cuitan Budi Santoso yang dibalas langsung oleh Gibran ini membuat saya tertawa. Benar kata Gibran, jika 2014 dan 2019 politik identitas gagal untuk meraup suara, adalah hal bodoh jika di 2024 isu serupa dihembuskan kembali. Sudah terbukti gagal kok dilakukan lagi, lucu kan?
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menganggap politik identitas sudah tidak lagi relevan digunakan dalam Pilpres 2024 nanti. Djayadi menilai dari data yang diperoleh LSI hingga bulan Mei 2023, grafik intoleransi di Indonesia semakin menurun (Kompas TV, 04/05/2023).
Ia juga mengeklaim kecil kemungkinan politik identitas dalam Pilpres 2023, karena tiga nama yang muncul memiliki agama yang sama. Tiga nama tersebut adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, hingga Anies Baswedan. Djayadi menilai ketiganya memiliki kans sangat kecil untuk menggunakan politik identitas dalam Pilpres 2024 mendatang (Kompas TV, 04/05/2023).
Anies Baswedan dianggap capres yang paling potensial memainkan isu identitas jika kita melihat Pilgub 2017 yang lalu. Namun, di pidatonya pada acara Oartai Nasdem bulan Maret lalu, Anies mengatakan bahwa isu identitas takkan terelakkan terjadi di 2024 (detik.com, 18 Maret 2023).
Berbeda dengan Anies, Ganjar Pranowo di GP Center meminta kepada seluruh relawannya untuk tidak saling mem-bully, menyebar hoaks dan politik identitas. Hal ini demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa (Rakyat Merdeka, 30/04/2023).
***
Berbeda dalam pilihan politik memang suatu hal yang lumrah dalam demokrasi. Saling adu gagasan dan memilih pasangan calon idaman merupakan dinamika kebebasan berpolitik. Namun, jika perbedaan itu dibenturkan menjadi sebuah perpecahan, ini yang gawat dan bahaya, karena perpecahan rasial yang disengaja untuk meraih kekuasaan justru merusak demokrasi dan tidak sehat bagi kelangsungan bangsa ini.
Kita ingat Yugoslavia atau Uni Soviet yang pecah karena isu rasial, agama, dan ideologi politik, kita di Indonesia tidak mau hal itu terjadi dan saya melihat masyarakat belakangan ini cenderung berpandangan serupa.
Saya sepakat dengan survei LSI bahwa Politik identitas dan isi SARA sudah basi dan ketinggalan zaman. Saat ini kita membutuhkan pemerintahan yang stabil untuk membangun ekonomi pasca pandemi dan krisis di kawasan. Kita juga tidak ingin terjadi perpecahan di masyarakat.
Politik identitas sangat destruktif dan merugikan bangsa. Sangat disayangkan jika pembangunan yang sudah kita capai hari ini dihancurkan oleh politisi yang menyebarkan isu SARA dan permusuhan di tengah masyarakat kita.
Referensi
https://rm.id/baca-berita/nasional/169997/anti-bully-relawan-gp-center-manut-perintah-ganjar. Diakses pada 23 Mei 2023, pukul 15.11 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20230501165754-192-943982/cuitan-gibran-isu-pki-solo-bilangin-korlap-lu-terbukti-2-kali-kalah/amp. Diakses pada 23 Mei 2023, pukul 14.31 WIB.
https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/jatim/berita/d-6625444/anies-baswedan-blak-blakan-politik-identitas-tak-bisa-dihindarkan/amp. Diakses pada 23 Mei 2023, pukul 15.03 WIB.
https://www.google.com/amp/s/www.kompas.tv/amp/article/403688/videos/direktur-lsi-politik-identitas-sudah-tak-relevan-dalam-pilpres-2024. Diakses pada 23 Mei 2023, pukul 14.43 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com