Suatu hari dalam sebuah forum diskusi seorang teman yang mengaku diri sebagai anak kandung ideologi Karl Marx melayangkan argumentasinya dengan berapi-api, “Kapitalisme dan kebebasan adalah anak suci kebudayaan Barat dan hanya cocok untuk kehidupan di Barat. Kapitalisme adalah ibu kandung dari segala ketidakadilan: yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin tenggelam di dasar jurang kemiskinan.” Bagi saya klaim semacam itu bahkan jauh dari separuh kebenaran. Karena bagaimanapun juga argumentasi itu dibangun dalam upaya untuk mengkotak-kotakkan peradaban. Yang pada pangkal ujungnya tidak akan jauh dari persoalan etis, yakni persoalan usang: sindrom pascakolonial, agama, dan kesopan-santunan sebagai anak kandung Kebudayaan Timur.
Memang kita sinis terhadap kolonialisme yang menyebabkan terjadinya dehumanisasi bagi bangsa yang terjajah. Akan tetapi, tidak tepat rasanya jika kita memukul rata setiap masalah yang mengusik hati nurani di masa lampau dengan menghukumnya di masa globalisasi seperti sekarang ini. Tentu tetap penting bagi kita untuk memelihara ingatan kolektif bangsa bahwa kekejaman pernah terjadi yang mengoyak kehidupan sosial kita. Namun, tatanan dunia telah berubah sedemikian cepat, sosio-politik dan ekonomi menjadi jembatan baru untuk saling berangkulan dalam pelbagai bidang melalui kerjasama di antar negara yang kini kedudukannya setara sebagai komunitas global. Oleh karena itu, biarlah peristiwa di masa lampau menjadi catatan yang ditulis dalam lembaran sejarah. Tidak perlu rasanya mengkosongkan separuh hati untuk diisi dengan amarah dan kebencian dengan terus menerus mencurigai ide dari Barat.
Sementara dalam bukunya “Kapitalisme” (Modal, Kepemilikan, dan Pasar) Eamonn Butler begitu jernih meluruskan pandangan “apa-apa yang dinamakan kapitalisme” dari kerancuan dan miskonsepsi para intelektual dalam memahami kapitalisme, mulai dari yang fundamental hingga persoalan etis. Celakanya, kesalahapahaman dalam memahami kapitalisme sudah berlumut (satu kesalahan yang terus-menerus diucapkan dan diikuti generasi setelahnya sebagai satu kebenaran yang absolut) misalnya, “yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”.
Membela kapitalisme
Sejatinya buku “Kapitalisme” Eamonn Butler dimaksudkan bukan hanya untuk meluruskan kesalahan berpikir mereka yang anti kapitalisme semata, melainkan hendak meletakkan kapitalisme di tempatnya. Misalnya saja selama ini kita mendiagnosa bahwa jurang kemiskinan yang begitu lebar, ketidakadilan, dan kesenjangan sosial sebagai tragedi kemanusiaan diakibatkan karena sistem kapitalisme di suatu negara. Bagi Eamonn Butler tesis semacam ini sangat lemah. Sebab, dalam pembelaannya Eamonn Butler mengajukkan argumentasi yang cemerlang.
Setidaknya kapitalisme telah menciptakan sekaligus memberikan pilihan hidup yang lebih baik dari waktu ke waktu. Di sisi lain, kapitalisme telah menyebarkan nilai (value) dan kemakmuran sebagai bagian dari moral kapitalisme itu sendiri. Maka tidak berlebihan jika kita perlu atau sekurang-kurangnya memberikan penghargaan pada mereka yang menempuh jalan kapitalisme. Bayangkan saja dalam kurun waktu yang panjang sejarah umat manusia, rata-rata penghasilan pada tingkat kehidupan di antara angka $1-$3 sehari (dalam hitungan modern) akan tetapi, pada abad 18 peningkatan meningkat tajam dan jumlahnya terus mengalami peningkatan.
Masih menurut Eamonn Butler, di tahun 1990-an populasi umat manusia yang hidup kurang dari $1,90 sehari; hari ini kurang dari 10 persen. Artinya kemiskinan telah berkurang di 35 tahun terakhir di banding 3500 tahun yang lalu. Jadi, fakta-fakta yang diajukan Eamonn Butler sejalan dengan prinsip moral yang pernah diucapkan oleh filsuf ekonom dari Skotlandia, Adam Smith (1723-790), bahwa motivasi individu (kepentingan individu) dapat menghasilkan kemajuan yang saling menguntungkan. Artinya diagnosa yang menyatakan kapitalisme hanya akan melahirkan watak Koruptif, tidak bermoral, dan anti sosial hanyalah pikiran purbasangka.
Sedangkan menurut pemikir Johan Norberg dalam bukunya “Membela Kapitalisme Global” mengajukan argumentasi yang tak kalah cemerlangnya dengan Eamonn Butler. Norberg berpendapat bahwa kapitalisme adalah kebebasan bagi individu-individu yang normal untuk membuat keputusan dan menentukan pilihan mereka sendiri. Dalam 100 tahun terakhir [umat] manusia telah menciptakan yang lebih besar dan tingkat harapan hidup lebih tinggi daripada yang pernah tercapai dalam 100.000 tahun yang lalu.
Ringkasnya, kapitalisme bukanlah sistem yang menghisap dan mengeksploitasi buruh. Jelas tertulis dalam definisi-definisi moral kapitalisme tidak ada paksaan, sebab yang ada ialah kesukarelaan individu memilih pilihannya. Karena sebenarnya kebebasan (non intervensi) adalah jiwa kapitalisme yang disalahpahami oleh para suara penentangnya. Dulu ada seruan “laissez–faire” ketika itu Louis XV bertanya kepada sekelompok pedangang, “Bagaimana saya bisa membantu Anda?” para pedagang menjawab, “Laissez–noun faire, laissez–noun passer. Le monde va de lui–meme.” Atau dalam bahasa kita sekurang-kurangnya berarti “Biarkan kami lakukan, biarkan kami sendiri. Dunia ini berjalan dengan sendirinya.”
Selain kesalahpahaman dalam memahami kapitalisme, persoalan lain yang juga menjadi isu tajam ialah moral kapitalisme. Karena selama ini ketidakadilan dan penindasan selalu dibakuhantamkan pada cara kerja kapitalisme. Ujungnya sikap resistensi terhadap “ide Barat” sangat kuat terjadi. Penolakan kapitalisme, individualisme, dan kebebasan disebabkan pandangan itu berasal dari “Barat”. Oleh karena itu, dalam esai ini, perlu rasanya saya untuk melebarkan wacana “kapitalisme dan kebebasan” dari dan untuk peradaban dunia. Barangkali wacana inilah yang tidak direnungkan oleh Eamonn Butler dalam bukunya “Kapitalisme” (Modal, Kepemilikan, dan Pasar).
Kerangkeng Peradaban
Memang benar dalam khasanah pengetahuan dunia kapitalisme datang dari ide Barat. Pengalaman yang panjang khususnya Eropa dan Amerika selama sekian abad membidani jalan kapitalisme tidak terelakan. Namun, melabeli kapitalisme hanya milik dan untuk Barat adalah sebuah kedunguan rasional. Mengatakan kapitalisme adalah khas Barat, itu sama persis mendefinisikan bahwa India adalah Hindu dan Arab adalah Islam atau Indonesia adalah Jawa. Label semacam itu mengingatkan kita dengan tesisnya Samuel P. Huntington tentang “benturan antarperadaban” (Clash of Civilization). Padahal, jika kita urai lebih tajam tentu peradaban di belahan dunia memiliki corak kapitalismenya sendiri, memiliki warna demokrasinya sendiri, dan memiliki ruang kebebasannya sendiri sebagai sesuatu yang khas dan bernilai.
Sebab, jika kita atau sebagian di antara kita syak wasangka akan kapitalisme adalah sesuatu yang original dari Barat, yang merentang jauh ke belakang dalam sejarah, maka yang terjadi ialah “benturan antarperadaban”. Karena kita akan mengkotak-kotakkan peradaban bahwa non-Barat tidak mungkin menerapkan produk Barat, bahwa ide Barat tidak mungkin dimanifestasikan di dalam kebudayaan non-Barat. Misalnya, dalam hal kebebasan dan hak asasi yang berseberangan dengan semangat “nilai-nilai Asia”, yang pernah terpancar dalam diri Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapura (tokoh arsitektur kebangkitan Asia Timur), bahwa Asia akan menjadi lebih baik dengan ketaatan, keteraturan serta perilaku yang disiplin.
Persoalan semacam itu menjadi gerak lambat bagi jalan kapitalisme menjadi denyut nadi perekonomian umat manusia. Padahal, jika kita sederhanakan “apa-apa yang dinamakan kapitalisme”, dan berpegang teguh dengan semangat kebebasan, kesukarelaan pada tiap-tiap individu, maka setiap orang di belahan bumi manapun ialah seorang kapitalis, tanpa kita sadari. Misalnya, penghasilan yang kita peroleh atau miliki kemudian diolah untuk dijadikan modal, baik dilakukan oleh diri sendiri atau dibantu banyak orang tanpa paksaan dan dilaksanakan dengan sebuah perjanjian yang menguntungkan kedua belah pihak, maka sebenarnya kita telah menjadi makhluk kapitalis.
Kini di era globalisasi dunia telah sampai pada sebuah renungan bahwa kapitalisme adalah sebuah keniscayaan menuju “kemakmuran besar”. Suka atau tidak pada faktanya jutaan orang yang terendap di kubangan kemiskinan yang berkarat bertahun-tahun lamanya telah terentas dari tahun ke tahun pula. Dengan demikian, kapitalisme bukanlah ide utopis. Kapitalisme adalah jaminan dalam kehidupan yang hakiki. Namun, ancaman bagi kapitalisme yang sebenarnya ialah datang dari ketidaksadaran dalam pikiran. Di Indonesia, jelas yang menolak kapitalisme dan kebebasan (liberalisme) datang dari golongan fundamentalisme agama. Nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan Timur yang melekat dalam kehidupan sehari-hari dan tiba-tiba tersengat saat dunia begitu terbuka yang memungkinkan segala aspek masuk ke dalam kemudian berbaur dalam kebudayaan lokal, tidak terkecuali kapitalisme. Akan tetapi, kita tidak siap dengan perubahan di depan kening. Mereka berpandangan hanya peradabannya sendiri yang suci tak tersentuh.
Inilah yang sebenarnya menjadi renungan kita bersama demi “kemakmuran besar” dan kebebasan yang kita mimpikan, maka perlunya kesadaran untuk mengucapkan bahwa identitas yang terus menerus dibanggakan hanya akan melahirkan polemik. Oleh karena itu, dunia telah tiba pada kodratnya yang hakiki akan nilai universal bukan partikular; kapitalisme milik dan untuk peradaban dunia.
Dalam kerumitan persoalan identitas (kerangkeng peradaban) semacam ini, saya ingin meminjam renungan Sen, seorang filsuf ekonom dari India. Jika kita mengaku diri sebagai identitas yang lebih spesifikasi, maka di antara kita atau bahkan saya sendiri adalah seorang bersuku Jawa, penikmat karya sastra, penyuka musik rock, seorang liberalis, pendukung feminisme, pengagum humanis radikal, seorang perantau yang tinggal di Kota Jakarta dan seorang WNI. spesifikasi semacam itu membawa kita pada garis identitas yang lain dan saling terpaut dengan identitas yang lainnya sebelum dipersatukan oleh benang bernama kewarganegaraan Indonesia. Lalu apa perlunya membeda-bedakan satu identitas dengan identitas yang lain di tengah arus gelombang post-truth.
Hal yang sama jika kita telah mengaku diri sebagai warga negara Indonesia, maka kita adalah warga dunia dan bergaul dengan pikiran global: politik, ekonomi, ideologi, agama dan hak asasi. Lalu kenapa kita mesti sangsi atau bahkan mencurigai ide Barat (kapitalisme) yang juga bagian dari peradaban dunia. Saya kapitalis-liberalis, terimalah itu sebagai hasil peradaban global, bukan memaksa merangkeng peradaban yang tunggal.
Ade Mulyono (tapi lebih suka memperkenalkan diri dengan nama pena “Arian Pangestu”). Seorang liberal dan feminis laki-laki. Aktif menulis artikel di media cetak dan digital. Novel perdananya “Lautan Cinta Tak Bertepi” (2018). Dapat dihubungi di pangestuarian1@gmail.com

Ade Mulyono (tapi lebih suka memperkenalkan diri dengan nama pena “Arian Pangestu”). Seorang liberal dan feminis laki-laki. Aktif menulis artikel di media cetak dan digital. Novel perdananya “Lautan Cinta Tak Bertepi” (2018). Dapat dihubungi di pangestuarian1@gmail.com