Kelas pekerja adalah kelas sosial yang sering diidentifikasi sebagai kelompok masyarakat yang tidak berpunya. Dengan kata lain, untuk memenuhi kebutuhannya, kelas pekerja harus menawarkan tenaga mereka kepada kelas sosial lain, yakni borjuis sebagai pemodal dalam aktivitas produksi.
Dengan berangkat dari kerangka pembagian kelas sosial, penindasan, peghisapan dan ketidakadilan akan terus ada karena masing-masing kelas terus mempertahankan eksistensinya. Antara kelas tersebut saling melawan, bernegasi dan berkontradiksi satu dengan yang lainnya dan akan mecapai tingkat yang lebih tinggi lagi.
Dalam kutipan Manifesto Komunis yang ditulis oleh Marx, ia menulis bahwa, “Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas”. Borjuis-proletar dalam sistem kapitalisme lahir dari reruntuhan feodalisme, dan seterusnya sampai pada bentuk masyarakat primitif.
Sebelum membahas lebih jauh, penting sebelumnya kita mengajukan pertanyaan kritis terkait tesis Marx tersebut, bahwa masyarakat yang terbagi dalam struktrur kelas sosial. Apakah benar terjadinya penindasan satu kelas oleh kelas lain? Dan apakah syarat untuk terbebas dari penindasan sebagai bentuk emansipasi manusia?
Pekerjaan adalah aktivitas primer semua makhluk hidup di dunia sebagai cara dan upaya untuk terus dapat bertahan hidup di alam. Namun, pekerjaan menjadi sangat khas pada manusia sebagi laku utama peradaban. Untuk melihat kekhasan kerja pada manusia, saya akan mencoba membicarakan dengan paradigma filosofis dialektika Hegel.
Dialektika Hegel
Hegel adalah seorang filsuf idealisme yang sangat berpengaruh pada zamannya dan mengembangkan suatu metode filsafat dialektika. Yang dimaksud dialektika adalah suatu proses berpikir totalitas yang di dalamnya terdiri dari unsur-unsur yang saling bernegasi, berkontradiksi dan berlawanan (Bertens, 1997).
Jika metode dialektis tersebut diterapkan pada realitas yang bekerja, maka dapat digambarkan bahwa aku (manusia) dalam proses eksistensinya akan dipertentangkan atau saling bernegasi dengan non-aku (alam) sebagai sesuatu di luar dirinya (the other). Aku merasa bahwa dalam pertentangan itu tidak bisa meniadakan non-aku, karena tanpa non-aku, maka aku tidak bisa mengklaim eksistensi atau kediriannya.
Sampai disini kita dapat melihat bahwa kerja sebagai laku utama manusia dalam menyatakan dirinya yang berbeda dengan alam sekaligus saling membutuhkan.
Namun, menurut Marx, bahwa manusia telah terasing dengan dirinya karena dalam kapitalisme. Kerja merupakan aktivitas yang dipaksakan oleh kapitalis terhadap para pekerja, sehingga dalam pekerjaan bukan sebagai proses untuk menjadi dirinya. Seorang pekerja menjadi dirinya saat selesai bekerja, lalu pulang ke rumah dan berhubungan secara sosial dengan keluarga.
Revolusi Proletariat
Jika pekerjaan sebagai upaya manusia dalam mencapai eksistensi diri, namun nyatanya manusia terasing dengan dirinya karena proses pekerjaan telah dikuasai oleh satu kelas sosial yang mendominasi atas para pekerja. Di zaman kapitalisme, pekerjaan dipandang sebagai produksi yang mencari keuntungan sebesar-besarnya (nilai-lebih), Marx mamandang bahwa nilai-lebih didapatkan dari cara penghisapan jam kerja.
Misalnya, seorang pekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari, katakanlah Rp100.000, maka ia menawarkan tenaganya untuk bekerja. Seorang kapitalis memberikan upah sebesar Rp100.000 sehari, dengan jam kerja perhari sepanjang 8 jam kerja. Namun, saat bekerja selama 6 jam buruh tersebut telah menghasilkan pekerjaan dengan nilai Rp100.000, 2 jam kerja sisanya diberikan secara paksa kepada kapitalis. Dengan 2 jam kerja secara cuma-cuma itu sebagai nilai-lebih yang dirampok, maka kerja telah menjadi bentuk keterasingan manusia (Brewer, 2016).
Bagaimana cara mengemansipasi manusia dari ketertindasan dan keterasingan itu? Marx menjawab itu dapat dilaksanakan lewat revolusi, di mana ketertindasan menjadi prasyarat dalam pelaksanaan revolusi.
Revolusi proletariat akan mengambil semua hak milik dan memberikannya pada semua kalangan masyarakat melalui kekuasaan politik proletariat (diktator proletar) yang sebelumnya dibentuk. Kekuasaan itu dimaksud hanya sementara sebagai kekhawatiran jika masih ada sisa-sisa kapitalisme.
Kaum pekerja harus mempunyai kesadaran kelas dan bersatu sebagai kelas yang tertindas demi menciptakan dunia tanpa kelas sosial. Marx mengatakan bahwa, “Filsafat menemukan kekutan material pada proletar, sedangkan proletar menemukan kekuatan spiritual pada filsafat.”
Catatan Kritis Pada Teori Kerja Marx dan Revolusi Proletariat
Kita harus mengajukan suatu pertanyaan kritis pada konsep kerja Marx, apakah pekerjaan sebagai bentuk emansipasi manusia? Andaikan seperti itu, bukankah pekerjaan hanya menjadi proses kekuasaan satu dengan yang lainnya? Sehingga, jika kita melihat pekerjaan sebagai satu-satunya bentuk emansipasi manusia, maka pekerjaan hanya akan menjadi hubungan manusia dengan alat produksi, bukan menjadi hubungan manusia dengan manusia. Kerja manusia yang bersifat otonom kini direduksi semata-mata menjadi instrumental.
Karena itulah, revolusi proletariat sebagai praxis perlu diuji kembali. Apakah dengan diadakannya revolusi maka bisa membebaskan manusia dari keterasingan diri? Jika dengan sistem kapitalisme penindasan manusia dengan manusia yang lain terjadi, bukankah kita telah melihat bahwa kelas pekerja telah terintegrasi dalam sistem tersebut. Bahwa kedua kelas yang dimaksud Marx sebetulnya telah sama-sama bekerja untuk memajukan kesejahteraan seluruh manusia.
Revolusi hanya akan melegitimasi kekuasaan baru bahkan lebih kejam dari sebelumnya, contohnya kediktatoran Uni Soviet yang puncaknya pada Stalin. Bersamaan dengan itu, maka proletar sudah tidak bisa lagi menjadi subjek revolusi karena telah terintegrasi dalam sistem yang sama.
Yang perlu kita lihat bahwa Marx mengajukan gagasan-gagasan di atas karena itu sesuai konteks zaman Marx hidup. Namun nyatanya, zaman telah berubah dan yang seharusnya kita pertanyakan adalah, jangan-jangan semua bentuk keterasingan manusia dengan dirinya tidak hanya terjadi pada kelas pekerja saja, namun pada semua kelas sosial.
Karena pada sebuah sistem yang perlu kita tinjau adalah dibalik sistem tersebut, terdapat suatu ideologi yang menjadi momok keterasingan manusia. Alih-alih ideologi tersebut menawarkan suatu kesejahteraan, namun malah menjadi pandangan tebalik dari realitas.
Ideologi itu dianalogikan sebagai sebuah camera obscura, yang memperlihatkan gambar terbalik dari objek yang diperlihatkan, atas menjadi bawah, kiri menjadi kanan dan seterusnya (Sindhunata, 2019). Yang seharusnya kita kritisi adalah sebuah ideologi yang bersembunyi dalam sistem yang secara tidak sadar kita anggap sebagai hal yang biasa dan telah menjungkirbalikkan realitas.
Referensi
Brewer, Anthony. 2016. Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx. Yogyakarta: Narasi dan Pustaka Promethea.
Bertens, K. 1997. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: PT Kanisius.
Sindhunata, 2019. Dilema Usaha Manusia Rasional Teori Kritis Sekolah Frankfurt Max Hokheimer & Theodor W. Adorno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Yudha adalah anggota aktif Mises Club Indonesia di Manado dan penggiat Amagi Indonesia, suatu organisasi non pemerintah yang didasarkan pada prinsip Libertarianisme.