Dengan menguatnya wacana ideologi keagamaan, banyak orang berpikir bahwa era ideologi mengalami kebangkitan. Ada yang menyebutnya sebagai politik aliran, namun ada juga yang menyebutnya sebagai politik agama.
Sebuah gagasan bisa menjadi wacana publik, tentunya memerlukan upaya-upaya sistematis dan konsisten. Bukan hanya karena Indonesia negara mayoritas Islam, lantas isu agama menjadi dominan dengan sendirinya. Tentu tidak masuk akal.
Ideologi itu satu hal, namun distribusi ideologi kepada publik merupakan hal lainnya yang harus dikerjakan. Ideologi pasti semuanya luhur bagi pendukungnya, namun mendistribusikannya banyak persoalan-persoalan kongkret yang harus diselesaikan.
Terkadang, kita abai bagaimana telatentennya Rizieq Shihab mendatangi mesjid demi mesjid untuk berdakwah. Dia tahu betul properti terbanyak di DKI Jakarta adalah mesjid dan mushala. Proses kerja tersebut dilewati oleh Rizieq dari hari ke hari. Jika FPI dia bisa mobilisir massa, tentu tidaklah mengejutkan. Proses panjang sudah pernah dilaluinya.
Jika kita terus-terusan berdebat mengenai keyakinan, mulai dari kebhinnekaan sampai kekhalifahan, tanpa memperhatikan strategi mengapitalisasinya menjadi kekuatan politik, sepertinya itu tidak lebih dari sekedar mastrubasi politik ideologis semata.
Secara leksikal, mastrubasi bermakna sexual fantasy by instrumental manipulation. Aktivitas tersebut merupakan manipulasi dari keadaan sebenarnya. Seolah-olah, kita melakukannya, tetapi sebenarnya kita membohongi pikiran sendiri saja. Kita bermain sendiri dengan kenyataan-kenyataan yang Kita buat.
Dalam proses politik, berdiskusi itu adalah hal yang penting, tetapi tidak segalanya. Bebas mengutarakan gagasan itu perlu, tetapi yang lebih penting bagaimana gagasan kebebasan dapat diutarakan secara maksimal, agar kita tidak terus dibohongi, layaknya aktivitas mastrubasi.
Mungkin, tidak ada kelompok liberal menyukai pandangan-pandangan Rizieq. Namun, tidak ada juga kerja liberalisme yang terstruktur mengimbangi apa yang berhasil dilakukan FPI terhadap kelompok miskin kota.
Permainan politik adalah pertarungan penguasaan medan perperangan. Kalau cuma cuap-cuap di media sosial, keponakan saya yang masih SD juga sudah sangat mahir. Kita tidak butuh seorang liberal.
Selain itu yang tidak kalah penting, kelompok liberal tidak punya juru bicara yang mumpuni di dunia politik. Lepas dari kadar liberalismenya, banyak negara sudah memiliki politisi berprestasi yang bisa merepresentasikan gagasan liberalisme.
Satu tahun yang lalu, saya sempat bertemu secara langsung dengan Walikota Medellin Kolombia, Federico Guiterez. Dia adalah seorang kepala daerah berprestasi, yang berhasil meraih Lee Kuan Yew City Prize 2016.
Secara ekonomi dan infrastruktur, Kolombia dan Indonesia tidak jauh beda. Namun, konsep-konsep mereka kerap kita contek di sini. Sebut saja TransJakarta, bus kebanggan warga hasil copy-paste dari konsep transportasi publik Bogota.
Ridwan Kamil, Walikota Bandung yang sangat populer di Indonesia, juga sangat terkagum-kagum dengan hasil kerja Walikota Medellin ini. Politisi kanan-tengah kolombia tersebut berhasil mengubah wajah kota sarang bandit narkoba menjadi surga di dunia. Medellin merupakan salah satu kota paling manusiawi di dunia.
Dalam forum prestisius World City Summit 2016 Singapura, Gueterez juga memukau seluruh kepala daerah dari seluruh dunia. Presentasinya mendapatkan standing ovation dari seisi forum. Bahkan, Perdana Menteri Lee Hsien Loong memberikan jamuan makan malam khusus untuknya.
Politik liberal hanya bisa hidup jika ada kerja lapangan yang kongkret dan tokoh representatif yang berprestasi. Sebuah proses panjang harus dilalui. Tidak bisa ujug-ujug muncul mem-back up seorang politisi dalam pemilu dengan alasan yang sangat parsial.
Di Pilkada DKI Jakarta 2017, rekan-rekan kelompok liberal sebagian besar merapat ke Basuki Tjahaja Purnama. Memang, upaya tersebut merupakan perjuangan seseorang dari kelompok minoritas untuk menjadi pemimpin politik.
Namun, apakah Ahok bisa menjalankan agenda liberalisme di Indonesia? Tentu masih pertanyaan melihat berbagai kebijakan yang dikeluarkannya selama ini. Cara Ahok membangun dengan banyak dana sektor swasta, tentu berpotensi mengganggu iklim kompetisi.
Selain itu, kita masih banyak mendengar anak-anak muda liberal berbicara masalah hak atas tubuh dan isu lokal kelompok liberal sendiri. Bukan bermaksud mengatakan diskusi tersebut tidak penting. Pertarungan politik yang real jauh lebih strategis dan menyita banyak tenaga. Mengelola pikiran dan konten diskusi menjadi sangat dibutuhkan.
Membangun kekuatan politik yang terukur dan terencana, kemudian dilanjutkan dengan mendorong seorang pembaharu yang berkomitmen terhadap liberalisme sudah sangat perlu direalisasikan.
Saya berharap muncul tokoh liberal Indonesia yang benar-benar representatif, sekaligus didukung oleh gerakan politik yang solid dalam pemilu, beberapa waktu ke depan. Kerja politik harus direncanakan dan dirumuskan. Agar, kita tidak terus-terusan merayakan kenikmatan membohongi diri sendiri, lewat pembenaran-pembenaran ideologis dan gagasan candu lainnya.

Arie Putra adalah alumni Departemen Sosiologi FISIP UI. Ia juga menjadi associate di Universitas Indonesia Liberal and Democracy Study Club (UILDSC). Bisa dihubungi via email: arie.putra89@yahoo.com dan twitter: @arieptr.