
Bagi generasi 1990-an, peristiwa Brexit adalah sesuatu yang terasa ganjil. Inggris telah menjadi bagian dari Uni Eropa (EU) sejak kita lahir, layaknya Indonesia adalah bagian dari ASEAN. Lantas, mengapa Inggris tiba-tiba ingin mengundurkan diri?
Untuk memahami ini, kita harus mundur ke tahun 1985, saat Inggris dipimpin oleh Margaret Thatcher. Kala itu, drama tentang identitas Inggris dan posisinya di Eropa mencuat dipicu keinginan Jerman dan Prancis untuk menstabilkan nilai tukar mata uang antar negara anggota EU (dulu EC) melalui European Exchange Rate Mechanism (ERM). Jerman, Prancis, dan anggota EU yang lain berpendapat bahwa nilai tukar yang stabil akan menstimulasi perdagangan antara negara-negara Eropa.
Di Inggris sendiri, kabinet dan parlemen terbelah antara para Europhile dan Eurosceptic. Europhile percaya bahwa Inggris akan diuntungkan dari integrasi multidimensi dengan Eropa. Salah satunya dalam bidang keuangan dan perdagangan melalui ERM. Sebaliknya, Eurosceptic secara umum tidak begitu antusias melihat prospek intervensi EU terhadap kebijakan Inggris. Hak untuk menentukan nasib diri sendiri (self-determination) dianggap mutlak lebih penting daripada keuntungan ekonomi apapun yang bisa didapat Inggris seandainya mereka mau lebih berkompromi dengan EU.
Perselisihan antara dua kubu ini tercermin langsung pada tiga figur paling penting di pemerintahan Inggris. Thatcher, sang perdana menteri condong kepada Euroscepticism. Geoffrey Howe, menteri luar negeri, seorang Europhile. Menteri keuangan, Nigel Laswson, cenderung netral. Tetapi ia menginginkan ERM untuk mendongkrak ekonomi Inggris. Howe dan Lawson selalu kesulitan untuk membujuk Thatcher agar terbuka terhadap gagasan Eropa yang lebih padu.
Argumen Howe dan Lawson bersifat teknis dan teoritis. Keyakinan Thatcher akan hak untuk menentukan nasib sendir bersifat fundamental. Sebagai perdana menteri, keputusan Thatcher bersifat final. Tetapi, Howe dan Lawson kerap mengancam untuk mengundurkan diri apabila Thatcher terlalu keras kepala.
Kecenderungan euroscepticism Thatcher semakin menjadi-jadi ketika seorang sosialis dari Perancis, Jacques Delors, terpilih sebagai Presiden EU. Delors dalam banyak hal adalah kebalikan dari Thatcher. Delors percaya pada welfare state dan serikat pekerja, sementara Thatcher percaya pada kapitalisme dan pasar bebas. Delors memimpikan Eropa sebagai sebuah superstate yang dijalankan dari Brussel, sementara Thatcher lebih senang mati daripada menyerahkan hak orang Inggris untuk menentukan nasibnya sendiri.
Sebelum harus berhadapan dengan Delors, Thatcher tercatat membebaskan ekonomi Inggris dengan mengalahkan serikat buruh, memprivatisasi perusahaan milik negara, dan menutup tambang batu bara yang merugikan negara. Demi melakukan hal tersebut, ia harus memecat ribuan pekerja tambang.
Antagonisme antara Thatcher dan Delors memuncak pada pidato Thatcher di Brussel pada bulan September 1988. Di hadapan delegasi dari negara-negara anggota EU, Thatcher menyuarakan perlawanannya atas kolektivisme, sosialisme, suprastruktur, dan nyaris segala hal yang diinginkan Delors.
“Untuk maju, Eropa seharusnya fokus pada peningkatan daya saing melalui deregulasi dan pasar bebas (free enterprise),” kata Thatcher, menyindir kebiasaan orang Eropa untuk membuat regulasi bertumpuk-tumpuk, bahkan, hingga hal yang tidak terlalu penting seperti volume suara mesin pemotong rumput.
Tanpa menyebut nama, Thatcher menyerang Delors dengan penuh energi. “Sungguh ironis ketika Uni Soviet mulai belajar bahwa kesuksesan bergantung pada desentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan, justru ada orang-orang di komunitas ini yang menginginkan Eropa bergerak ke arah sebaliknya!”
Argumen Thatcher yang bertolak belakang dari konsesi umum negara-negara EU ini membuat gempar seluruh Eropa. Di Eropa, Thatcher dianggap sebagai musuh. Tapi di Inggris, Thatcher dipuja-puja. “Melihat reaksi mereka (EU), sepertinya aku dianggap memulai kembali Perang Seratus Tahun (perang yang terjadi antara Inggris dengan Perancis tahun 1337 – 1453),” kata Thatcher di sebuah konvensi partai pendukungnya. “Dan melihat reaksi orang-orang Inggris, rasanya bagaikan aku sendiri yang memenangkan perang tersebut!” lanjut Thatcher disambut gemuruh sorak sorai.
Bagaimanapun, euforia Thatcher tidak berumur panjang. Thatcher terus berselisih dengan Howe dan Lawson. Perselisihan internal ini bahkan meledak menjadi isu yang mengakhiri karir politik ketiga orang tersebut. Howe dan Lawson mengundurkan diri, sementara Thatcher gagal mempertahankan posisi perdana menteri. Meski begitu, momen emas Thatcher di Brussel pada bulan September 1988 akan tetap dikenang sejarah sebagai salah satu pernyataan terbaik tentang sikap Inggris terhadap Eropa. Sikap Thatcher yang keras kepala, dan keinginan Inggris untuk menjaga hak atas nasib sendiri akan senantiasa dirayakan oleh orang-orang bebas di seluruh dunia.

Pekerja swasta di bidang komunikasi strategis. Komunikasi UGM angkatan 2009.