Pada tanggal 2-4 November 2019, Editor Suara Kebebasan dan Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Adinda Tenriangke Muchtar, berkesempatan untuk mengikuti program training Atlas Network, yang bernama “Global Influencer Summit” (GIS). Ini adalah kali kedua Adinda mengikut acara serupa. Sebelumnya, Adinda mengikuti program Think Tank MBA dan Liberty Forum di Miami pada tahun 2016. Program GIS yang berlangsung selama tiga hari (2-4 November) di Philadelphia ini, merupakan salah satu program terbaru Atlas Network untuk perwakilan senior di jaringan think tank Atlas Network. Program perdana ini diikuti oleh 32 peserta dari beragam penjuru dunia.
Program ini diawali dengan paparan Sarah Gibson (Accent Learning & Consulting) mengenai manajemen kepemimpinan, khususnya dalam menghadapi tim yang mewakili beragam generasi. Sesi ini menarik karena membuat para peserta untuk berpikir bagaimana memahami perbedaan generasi dalam timnya, pentingnya pemimpin untuk mencoba memahami beragam latar belakang dari generasi yang ada, serta menjembatani kesenjangan antar generasi dengan melakukan self-assessment dan melihat hal yang ada dengan berbeda.
Sesi ini juga menggarisbawahi pentingnya melakukan refleksi dalam evaluasi untuk memperbaiki manajemen kepemimpinan dan organisasi, selain mengidentifikasi apa yang telah dilakukan dengan baik, serta menjalankan kebijakan dan kepemimpinan dengan inklusif dengan memikirkan cara untuk melibatkan setiap orang dalam diskusi.
Di sesi ini, para peserta di tiap meja bundar, juga mendiskusikan apa saja keterampilan yang dibutuhkan di lembaganya. Beberapa jawaban yang muncul adalah: kemampuan beradaptasi, berkomunikasi, mengelola waktu, bekerja sama dalam tim, membuat keputusan dan menyelesaikan masalah, menentukan prioritas, serta kemampuan untuk belajar dan berpikir kreatif. Yang juga menarik di sesi ini adalah tentang William Bridge’s Change Model, yang pada intinya menunjukkan pentingnya para pemimpin untuk mampu melintas antar waktu untuk memahami timnya dan komposisi anggota tim dengan beragam latar generasi, serta siap menjalani pengalaman yang dinamis.
Untuk itu, penting bagi pemimpin untuk tidak menggeneralisir anggota timnya, mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dan jelas, serta memiliki empati. Hal lain yang juga kerap muncul terkait kesenjangan antar generasi adalah pentingnya menjembatani lewat program mentorship dan mendorong suasana dan hubungan kerja yang saling menghormati dengan memahami beragam persepsi, memahami konteks, melihat keberagaman usia sebagai hal yang memperkaya kerja organisasi dan aset, serta siap menyambut dan menghadapi perubahan.
Lewat program ini, para peserta berkesempatan untuk memusatkan perhatian pada ‘gambaran besar’ strategi oganisasi dan mendengarkan pengalaman dari para pihak yang bekerja di luar sektor think tank, baik dari aktor bisnis maupun non-profit lainnya. Di beberapa sesi di program ini, beberapa peserta juga diminta untuk memimpin sesi sesuai topik utama program ini, khususnya terkait kepemimpinan dan strategi organisasi.
Beberapa topik yang dibahas dalam beberapa sesi pilihan terpisah adalah terkait tantangan dan contoh-contoh terbaik perihal memperbaiki kinerja staf, membangun kekompakan tim, serta memberdayakan kewirausahaan dan kepemimpinan di seluruh tingkatan organisasi. Misalnya, manajemen dan review kinerja; memberikan masukan dengan efektif; merekrut dan mempertahankan staf; mengatasi kesenjangan usia dalam staf/tim; mengembangkan staf muda ke dalam peran manajerial dan membangun mindset kewirausahaan; menciptakan kesejalanan internal, serta membantu transisi manajer baru.
Sesi peer group tersebut dan juga sesi umum, selalu diikuti dengan penyampaian pandangan para peserta tentang apa saja yang telah diperoleh dari sesi-sesi yang diikuti. Hal ini penting dan bermanfaat tidak saja sebagai bahan refleksi, namun juga memberi ruang untuk memikirkan langkah nyata selanjutnya. Yang menyenangkan juga karena program ini dikelola sedemikian rupa, sehingga para peserta bisa lebih terbuka dalam berbagi pengalaman di lembaganya masing-masing, serta belajar dari pengalaman para peserta lain terkait topik yang dibahas, baik selama di dalam kelas maupun saat istirahat.
Menarik bahwa selama program tersebut, para peserta juga menyadari bahwa terlepas dari perbedaan latar belakang organisasi dan konteks yang ada, mereka juga menemukan ada banyak garis merah yang sama yang dialami dalam hal memimpin lembaga dan mengelola tim, serta menjalankan kegiatan lembaga. Dengan demikian, program ini menjadi ajang yang penting dan relevan, terutama bagi para senior think tank dalam mengevaluasi kepemimpinan dan organisasi, serta kerja timnya. Hal ini pula yang diangkat secara khusus di hari kedua dengan tema “The Culture of Leadership”, yang dibawakan secara tandem oleh Matt Warner dan Lyall Swim dari Atlas Network. Di sesi ini, para peserta mendiskusikan tentang perilaku, sikap, keterampilan, dan atribusi bagi pemimpin, serta apa yang mendefinisikan “Kepemimpinan Libertarian”.
Bagian terakhir ini menjadi sangat penting sebagai bagian dari visi dan misi jaringan pendukung gagasan kebebasan. Dalam hal ini, pemimpin libertarian adalah pemimpin yang mampu menjadi master untuk gagasan kebebasan, konsisten dalam berperilaku sebagai seorang libertarian, menghargai satu sama lain, serta mendorong perkembangan setiap individu dan mempertimbangkan beragam persepsi. Di sesi ini, para peserta juga belajar bahwa untuk mencapai tujuan lebih baik lagi, pemimpin juga perlu menjadi rentan dan rendah diri, serta transparan. Dalam prosesnya, pemimpin juga perlu siap untuk mengakui adanya tantangan dan menyempatkan waktu untuk menyesuaikan diri untuk memahaminya, baik dengan mempertimbangkan posisinya selaku pemimpin dan perannya dalam proses, serta memahami konsern para pihak lainnya.
Singkatnya, kepemimpinan libertarian diharapkan mampu mengartikulasikan gagasan libertarian dengan baik dan mencapai konsensus, serta untuk menciptakan sinergi lewat proses yang inklusif dan kreatif, serta mendorong pemahaman bersama mengenai visi misi organisasi. Untuk itu, penting untuk menelaah progress pathways, dengan mengidentifikasi bagaimana visi bersama dipahami oleh setiap anggota tim. Di sesi ini, masing-masing peserta juga diberikan waktu untuk berefleksi tentang kepemimpinannya baik dari penilaian personel tim, pertimbangan tentang atribusi pemimpin yang ideal, serta rencana aksi yang akan dilakukan untuk memimpin dengan cara berbeda dan lebih baik.
Selain sesi tersebut, di bagian terakhir hari kedua dan hari terakhir, para peserta dibagi dalam dua kelompok. Ini merupakan kegiatan pengembangan praktik kepemimpinan. Kelompok pertama, membantu pembuatan rencana bisnis untuk para peserta Leader Lab (program Atlas lain yang berlangsung bersamaan). Kelompok ini juga membantu peserta Leader Lab untuk membuat rencana bisnis untuk kegiatan advokasi maupun pembentukan think tank baru. Kelompok kedua, menjadi juri kompetisi “elevator pitch”, yang pada intinya menilai bagaimana pesan terkait kegiatan lembaga yang menarik donor dapat disampaikan oleh setiap peserta dalam waktu 60 detik saja. Adinda ikut sebagai juri elevator pitch dan memilih peserta Leader Lab untuk masuk di babak final di Liberty Forum nantinya.
Setelah program ini berakhir, para peserta berkesempatan untuk mengikuti ajang tahunan para pendukung gagasan kebebasan, Liberty Forum dan Freedom Dinner pada tanggal 6 dan 7 November 2019 di New York City, New York. Yang selalu menyenangkan dari forum ini adalah format acara yang kreatif dengan konten yang menarik dan menginspirasi dari beragam pembicara dari berbagai penjuru dunia. Misalnya, cornerstone talks, yang menghadirkan para pembicara yang membahas ide-ide besar dan penting dalam waktu kurang lebih 8 menit tentang pengalaman mereka dalam mempromosikan gagasan kebebasan.
Salah satu pembicara yang membuka talks ini adalah Gloria Alvarez dari Libertopolis Media, Guatemala. Gloria menyampaikan tentang cara mengajak generasi muda untuk melawan sosialisme dengan analogi gunung es, untuk menggambarkan persepsi publik terkait sosialisme dan kapitalisme, apa yang dilihat dan dipahami, serta sebaliknya. Gloria juga menunjukkan beberapa literatur menarik soal isu perempuan dari perspektif dan pemikir libertarian.
Masuknya isu perempuan sebagai isu hak asasi manusia pulalah, yang menurut Adinda sangat menarik, karena juga menunjukkan bahwa isu perempuan juga menjadi konsern libertarian. Topik ini juga dibahas khusus dalam salah satu sesi dalam Liberty Forum, dimana salah satu pembicaranya, Anuki Premachandra (Advocata Institute) berbagi pengalaman Advocata, think tank di Sri Lanka dalam mengadvokasi kebijakan penurunan pajak yang terlalu tinggi atas produk pembalut perempuan. Anuki juga menjadi pemenang pertama kompetisi elevator pitch dengan menggunakan studi kasus dari pengalaman Advocata tersebut.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya, Liberty Forum juga membahas beberapa pengalaman jaringannya dalam menyebarkan gagasan kebebasan di berbagai belahan dunia, baik dari tantangan, contoh-contoh baik, maupun hal teknis, seperti membuat pesan yang menarik dalam mempromosikan kebebasan, termasuk lewat penggunaan sosial media dan format video. Forum ini juga menampilkan beberapa buah video singkat dari jaringan Atlas Network di Nepal, India, dan Costa Rica. Video-video tersebut mengangkat topik tentang kebebasan ekonomi dan kebebasan individu, serta human stories and values, yang menjadi perjuangan bersama para pendukung gagasan kebebasan lewat kerangka “Doing Development Differently”.
Bagian lain yang tidak kalah menarik dari Liberty Forum adalah kompetisi dan perayaan. Di Forum ini, beberapa penghargaan dan hadiah diberikan kepada para pemenang kompetisi dari Great Communicators Tournament; Elevator Pitch, 2019 Templeton Freedom Award, hingga 2019 Sir Antony Fisher Achievement Award. Hal ini juga sejalan dengan strategi Atlas Network, yaitu: coach, compete, celebrate! Akhirnya, puncak acara pun ditutup dengan makan malam istimewa di Intrepid Sea, Air & Space Museum di Manhattan. Momen ini juga digunakan untuk berterima kasih kepada para donor yang memungkinkan terselenggaranya acara ini dan dukungan mereka untuk gerakan kebebasan di berbagai belahan dunia.
Selain itu, momen makan malam special tersebut juga digunakan untuk mengenang jasa para donor liberal movement, termasuk yang baru saja berpulang, Donald Smith dari the Smith Family Foundation. Hal ini juga menyadarkan bahwa perjuangan untuk kebebasan masih panjang dan bahwa kebebasan harus terus dirawat. Sungguh menyenangkan dan terinspirasi dapat mengikuti maraton freedom events ini! Dan kami sangat bangga menjadi bagian dari perjuangan bersama para pendukung gagasan kebebasan di seluruh penjuru dunia. Salam Kebebasan!

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org