Mampukah Setya Blak-Blakan?

444
Foto: Antara

17 Desember 2015 sebuah editorial berjudul Ketua DPR Mundur, Hukum Belum Tegak kami narasikan. Kini lebih dua tahun, situasi terkini mantan Ketua DPR SN menjadi terdakwa membuka babak baru dalam penuntasan kasus korupsi KTP Elektronik. Kita sama-sama mafhum dua tahun lalu Setya Novanto (SN) memilih mundur dari kursi DPR 1 dan menepi dari sorotan publik. Ia cukup puas menjadi Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) dan Ketua Fraksi Golkar di parlemen. Seraya menunggu suasana ‘kondusif’ untuk kembali ke panggung kekuasaan.

Namun “lawan” yang dihadapi SN bukan sembarang musuh, tetapi institusi penegak hukum hukum yang kredibel Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ya, KPK telah menjadi lembaga yang berulang kali berhasil memidanakan mulai dari pejabat negara setingkat Menteri, pejabat daerah selevel Gubernur, Bupati, dan Walikota, tidak terkecuali anggota Parlemen di Pusat maupun Daerah telah merasakan digdayanya lembaga ini.

Dengan keberhasilan seratus persen membuktikan semua tuduhan kepada terdakwa korupsi, lembaga ini berulang kali coba dilemahkan secara politik, soliditas internal, maupun kolektivitas pimpinannya.

Kita juga sudah menyaksikan dan mengetahui bahwa terdakwa SN sangat licin dan lihai untuk berkelit sambil menghindari pengadilan, melakukan strategi mengulur waktu sidang kasus utama Korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) di mana pada 17 Juli tahun ini SN resmi menjadi tersangka. Menang pra Peradilan pertama, dan baru pada 20 Desember, Ia resmi menjadi terdakwa saat gugatan Pra Peradilan II tidak dapat dilanjutkan karena sidang penuntutannya sudah dimulai

Pria kelahiran Bandung tahun 1955 ini menjadi anggota parlemen sejak terpilih mulai tahun 1999. Dan sudah empat kali, Ia terpilih menjadi wakil rakyat serta berhasil memegang tampuk kekuasaan politik di Partai nomor dua terbesar zaman now. Sementara pada zaman baheula, kita mafhumGolongan Karya selalu menjadi pemenang melalui pemilihan umum yang sudah diatur rezim dengan beragam cara.

Pertanyaan di benak kami sekurangnya bermuara pada beberapa aras: pertama, apakah terdakwa SN mau dan mampu terbuka di pengadilan? Kedua, apakah kasus KTP-el kembali membawa serombongan anggota Parlemen ke meja hijau? Ditengarai sebagai salah satu kasus megakorupsi, sangatlah logis bila tindak pidana yang terjadi melibatkan banyak pihak, pengambil keputusan di Kementerian, Komisi DPR yang mengesahkan anggaran juga mengevaluasi penggunaan anggaran, sampai pihak swasta penyedia jasa (service provider).

Dalam dakwaan terdapat nama mantan Menteri era sebelumnya, mantan Sekjen Kementerian, beberapa anggota DPR dari berbagai Partai misalnya Miryam Haryani (Hanura), Markus Nari, Ade Komarudin (Golkar), M. Jafar Hafsah (Demokrat), serta beberapa anggota DPR periode 2009-2014.  Kerugian keuangan negara akibat Korupsi KTP-el mencapai Rp 2,3 trilyun. SN didakwa menerima dana USD 7,3 juta atau sekitar Rp. 99 milyar (dengan kurs Rupiah saat ini) berasal dari pihak swasta pemenang tender maupun penyedia jasa.

Nilai suap kepada SN lebih banyak dua kali lipat dari sangkaan suap kepada mantan Direktur Utama Garuda Indonesia –perusahaan penerbangan milik negara yang kerap merugi- sebesar Rp. 46 milyar dari pabrikan mesin pesawat Roll-Royce Plc asal Inggris.

Selain itu, biaya sosial korupsi ini amatlah gambling, warga banyak yang belum memiliki KTP-el sehingga hak-hak kependudukannya terancam hilang. Belum lagi drama yang melibatkan SN sebelum ditetapkan kembali sebagai tersangka..

Perjalanan pengadilan megakorupsi juga menyudutkan SN, pengadilan telah memutus terdakwa Andi Agustinus alias Andi Narogong telah divonis bersalah. Terlebih lagi, pengadilan telah menyetujui Ia menjadi kolaborator keadilan (justice collaborator) yang diharapkan dapat membantu KPK mengungkap peran masing-masing aktor dan rekonstruksi kasus ini. Dalam keputusan hakim Andi memperkaya Asmin Aulia, adik mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraeni, Ketua Panitia pengadaan KTP-el Drajat Wisnu Setiawan beserta dua orang anak buahnya, termasuk nama Miryam Haryani dan Ade Komarudin dalam amar putusan hakinm

Maka pertanyaan mendasar kepada terdakwa mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya adalah mampukah Ia bicara jujur, blak-blakan tentang Korupsi KTP Elektronik. Dari gelagat yang kita tangkap sebelum pengadilan SN. Harapan itu sepertinya jauh panggang dari api.

Kita perlu mengapresiasi keberanian serta kegigihan KPK dalam membawa kasus ini ke pengadilan. Karena sudah banyak energy maupun biaya yang ditimbulkan, seperti penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan amat terkait dengan korupsi politik ini.

Walaupun begitu, kita perlu terus mengingatkan penegak hukum agar selalu mengedepankan persamaan di depan hukum (equality before the law). Ujian berat selanjutnya adalah keberanian sekaligus kemauan KPK untuk menyelidiki dan menyidik anggota Parlemen yang diduga menerima aliran uang pelicin, tidak terkecuali kepada pejabat negara dan pejabat publik dari partai penguasa, seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambe.

Terakhir tidak dapat dinafikan bahwa kasus KTP-el serta banyak korupsi lain akibat dominasi negara dalam penyediaan barang publik melalui Anggaran Belanja Negara diperburuk lagi dengan kolusi antara pengambil kebijakan dan sektor privat. Kita perlu jujur mengakui belum ada solusi mujarab mengatasi problematika ini.

Lebih banyak regulasi dan penerapannya belum tentu mengurangi korupsi dan potensi korupsi. “The greater number of laws and enactments, the more thieves and robbers will be” pesan filosof Libertarian China Lau-Tzu