Hari Internasional Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis atau dikenal dengan International Day to End Impunity for Crimes against Journalists diperingati pada tanggal 2 November setiap tahunnya. Peringatan itu dilakukan untuk menyerukan kepada semua negara agar mengambil langkah nyata dalam memerangi budaya impunitas. Faktanya, tantangan akan persoalan ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang cukup berat.
Secara historis, peringatan ini merupakan hasil Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan tanggal 2 November sebagai Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis berdasarkan Resolusi Sidang Umum A/RES 68/163. Seperti diketahui, bahwa hal tersebut merupakan tanggapan atas persoalan yang serius terhadap kerja-kerja yang dilakukan oleh para jurnalis atas potensi kekerasan yang mereka hadapi. Oleh karena itu,resolusi tersebut adalah desakan negara-negara anggota untuk mengambii langkah-langkah yang penting terhadap budaya impunitas tersebut (Komnasperempuan.go.id, 21/10/2021).
Di Indonesia, desakan dan dorongan akan hal tersebut bukanlah hal yang baru. Bahkan, komitmen regulasi yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan menjadi salah satu langkah konkrit bagaimana penyelesaian tersebut harus diselesaikan. Pasal 18 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers mengatur secara tegas mengenai ketentuan pidana dengan memberikan sanksi terhadap barang siapa yang dengan sengaja melawan hukum menghambat fungsi, tugas dan peran wartawan sesuai dengan hak dan kewajiban yang diatur oleh ketentuan perundangan. Hal ini menunjukkan bahwa secara normatif, perlndungan hukum atas jurnalis dalam menjalankan profesi sebagai bagian dari kemerdekaan pers adalah suatu keniscayaan.
Kemerdekaan pers, yang merupakan bagian dari titik balik atas lahirnya reformasi dan transformasi atas pengekangan pers, adalah sebuah lompatan sejarah bagi bangsa Indonesia. Hal ini tergambar dalam situasi pers pada saat itu yang penuh dengan ancaman pembredelan dan pencabutan surat izin usaha pers agar mau tunduk melalui aturan-aturan yang dibuat oleh rezim Orde Lama maupun Orde Baru yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan.
Tidak dapat dipungkiri, lahirnya gerakan reformasi dan kemerdekaan pers di dalamnya merupakan jaminan dan dukungan terhadap jurnalis dalam menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi dan hak untuk tahu dari masyarakat yang notabene adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Hal ini sekaligus menjelaskan bahwa, sebagaimana tercantum dalam UU 40 Tahun 1999, melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum (Komnasperempuan.go.id, 21/10/2021).
Faktanya, hal itu masih jauh panggang dari api. Hingga saat ini, ancaman kekerasan terhadap para jurnalis masih terus ada dan merusak kemerdekaan pers yang ada. Beberapa kasus yang muncul dan menjadi perhatian publik, seperti Muhammad Fuas Syarifuddin alias Udin yang menjadi korban kekerasan dan pembunuhan hingga detik ini masih belum menunjukkan kemajuan dalam kasusnya. Terbaru adalah yang menimpa seorang jurnalis Tempo, yaitu Nurhadi, yang mendapatkan kekerasan saat menjalankan tugas jurnalistik yang diemban olehnya. Hal ini masih menunjukkan bahwa ancaman kekerasan terhadap para jurnalis masih begitu kuat.
Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggambarkan, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tercatat selama periode 1 Januari-25 Desember 2021 mencapai 43 kasus. Secara umum, sebetulnya jumlah itu turun 48,8% dari tahun sebelumnya yang mencapai 88 kasus. Lebih jauh, jika dilihat dari jenis kekerasannya, yaitu berupa teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7 kasus), serta pelarangan liputan dan ancaman (7 kasus). Selain itu, ada juga serangan digital (5 kasus), penuntutan hukum (4 kasus), penghapusan hasil liputan (3 kasus), dan penahanan (1 kasus). Laporan ini juga menjelaskan, bahwa jiika dilihat dari sisi pelaku, aktor yang paling banyak melakukan kekerasan adalah polisi (12 kasus), kekerasan yang dilakukan oleh orang tidak dikenal (10 kasus), pelaku kekerasan dari kalangan aparat pemerintahan (8 kasus), pekerja profesional (4 kasus), dan dari warga (4 kasus). Sementara itu, pelaku dari kalangan perusahaan, birokrat, jaksa, TNI, dan ormas (masing-masing 1 kasus) (Katadata, 14/2/2022).
Dari data di atas, dapat dilihat bahwa persoalan terhadap impunitas kekerasan terhadap jurnalis masih ada dan harus ditangani secara serius dan mendasar. Pendekatan yang penting dilakukan adalah melalui aspek preventif melalui pembentukan sistem perlindungan terhadap profesi yang lebih kuat, mengingat begitu pentingnya kerja yang dilakukan oleh para jurnalis. Selain itu, penanganan terhadap persoalan kekerasan terhadap jurnalis memerlukan tindakan dan mekanisme yang lebih kuat juga perlu dilakukan mengingat beberapa fakta di lapangan tentang masih munculnya banyak kasus yang terkatung. Hal ini harus diwujudkan melalui mekanisme penegakan hukum yang khusus, yang dapat direlasikan dengan ekosistem pers secara lebih luas.
Peringatan Hari Internasional Mengakhiri Impunitas atas Kejahatan terhadap Jurnalis harus menjadi pijakan baru agar tantangan akan kekerasan terhadap jurnalis segera dapat dituntaskan. Hal ini mendesak untuk dilakukan dalam rangka memberikan kebebasan yang seharusnya menjadi hak setiap orang dalam kerangka demokrasi. Hal ini hanya bisa diwujudkan dengan memastikan penegakan kemerdekaan pers, yang didalamnya terdapat jaminan dan perlindungan atas kerja-kerja jurnalistik.
Referensi
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/14/ada-43-kasus-kekerasan-terhadap-jurnalis-pada-2021-ini-rinciannya. Diakses pada 8 November 2022, pukul 14.00 WIB.
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komisi-nasional-anti-kekerasan-terhadap-perempuan-hari-internasional-untuk-mengakhiri-impunitas-atas-kejahatan-terhadap-jurnalis-lindungi-jurnalis-perempuan-dari-tindak-kekerasan-akhiri-impunitas-jakarta-3-november-2021, Diakses pada 8 Noveember 2022, pukul 11.00 WIB.

Galang Taufani adalah Managing Editor di Suara Kebebasan. Galang adalah lulusan program Sarjana Hukum (2013) dan Magister Hukum (2016) di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Sebelum bergabung di Suara Kebebasan, Galang pernah bekerja sebagai wartawan, peneliti, dan dosen sejak tahun 2013. Galang menulis banyak karya berupa buku, jurnal, dan artikel ilmiah. Bidang yang digeluti olehnya, yaitu adalah bidang Hukum, Kebijakan Publik, Pajak, Filsafat, dan Sastra.