“Space: the final frontier. These are the voyages of the starship Enterprise. Its five-year mission: to explore strange new worlds. To seek out new life and new civilizations. To boldly go where no man has gone before!”
Bagi Anda yang gemar menonton serial televisi Star Trek, kata-kata diatas tentu merupakan sesuatu yang sangat akrab di telinga. Ucapan kapten James T. Kirk tersebut selalu muncul dalam setiap awal episode serial sains fiksi karya Gene Roddenberry tersebut. Star Trek sendiri merupakan kisah sains fiksi tentang penjelajahan semesta. Cerita berpusat pada petualangan pesawat luar angkasa USS Enterprise di abad ke-23, yang berada dibawah organisasi Starfleet, yang salah satu tugasnya diantaranya adalah memimpin eksplorasi alam semesta.
Luar angkasa memang selalu menjadi tempat misteri sepanjang sejarah manusia. Berbagai budaya dari masa ke masa selalu berupaya untuk menjelaskan misteri tersebut melalui berbagai cerita yang beragam. Bangsa Romawi misalnya, percaya bahwa luar angkasa merupakan tempat tinggal para dewa-dewa, dan sampai saat ini kita masih merasakan pengaruh dari cerita tersebut, diantaranya melalui penamaan berbagai planet berdasarkan dewa-dewa Romawi, seperti Yupiter dan Neptunus.
Selama berabad-abad pula manusia menjadikan langit sebagai sarana navigasi untuk membantu melihat arah tujuan perjalanan dan petualangan. Impian manusia untuk menaklukkan langit di masa depan juga dituangkan dalam berbagai karya fiksi ilmiah, dan salah satunya adalah Star Trek. Seiring perkembangan teknologi, kita akhirnya dapat memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi semesta, meskipun untuk saat ini hanya di wilayah yang sangat terbatas.
Sains dan teknologi yang semakin maju membuat eksplorasi luar angkasa menjadi suatu keniscayaan di masa depan. Tidak hanya institusi negara, berbagai perusahaan swasta pun juga turut serta berlomba-lomba unuk menjelajahi antariksa. Diantaranya adalah Blue Origin yang didirikan oleh Jeff Bezos dan Space X oleh Elon Musk.
Lantas, bagaimana pandangan dari gagasan libertarianisme dalam melihat prospek tersebut?
Inilah yang menjadi topik bahasan dari buku terbaru Walter Block yang berjudul “Space Capitalism: How Humans Will Colonize Planets, Moons, & Asteroids.” Bersama dengan Peter Lothian Nelson, ekonom libertarian dari Universitas Loyola, mereka mengadvokasi eksplorasi dan kolonialisasi luar angkasa sebagai hal yang sangat penting bagi manusia, serta pemerintah harus melepaskan diri dari bidang tersebut.
Block dan Nelson mengungkapkan bahwa eksplorasi dan kolonialisasi antariksa merupakan hal yang sangat penting karena banyaknya potensi serta sumber daya yang dapat diambil dan dimanfaatkan untuk kebutuhan dan kepentingan umat manusia.
Selain itu, mereka juga menulis bahwa manusia merupakan spesies yang gemar melakukan kekerasan terhadap sesamanya, dan dengan teknologi militer yang semakin maju, bukan tidak mungkin manusia akan memusnahkan dirinya sendiri dengan senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir. Bila manusia sukses melakukan kolonialisasi di luar angkasa dan bila hal mengerikan tersebut terjadi di bumi, setidaknya spesies manusia tidak akan punah dan dapat terselamatkan.
Pembahasan selanjutnya adalah mengenai bagaimana hal tersebut dilakukan. Block dan Nelson mengelaborasi konsep negara dari sudut pandang libertarianisme sebagai organisasi pemaksa yang tentunya melanggar prinsip non-agresi yang dijunjung tinggi oleh libertarianisme. Selain itu, melalui kompetisi dan mekanisme pasar perusahaan swasta berpotensi besar dapat membuat berbagai inovasi untuk mengeksplorasi antariksa dengan lebih murah dan efisien.
Salah satu penyebab utama mengapa perjalanan dan eksplorasi ruang angkasa membutuhkan biaya yang sangat besar adalah karena sarana transportasi, dalam hal ini roket, hanya digunakan untuk satu kali perjalanan saja, dan tidak bisa digunakan berulang-ulang. Melalui cara inilah berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Rusia mengirim awak astronot mereka keluar atmosfer bumi.
Bayangkan bila setiap Anda pergi ke kantor, Anda hanya menggunakan mobil Anda untuk sekali perjalanan, dan membeli mobil baru untuk ke kantor keesokan harinya. Bila hal ini dilakukan tentu perjalanan untuk pergi ke kantor akan memakan biaya yang sangat besar.
Oleh karena itulah, berbagai perusahaan antariksa swasta berlomba-lomba berinovasi untuk mengatasi masalah ini, yakni membuat roket yang dapat digunakan berulang kali. SpaceX misalnya, telah berhasil membuat roket tersebut yang dikenal dengan nama Falcon Heavy. Sementara, Blue Origin membuat roket bernama New Shepard.
Pada bagian selanjutnya, Block dan Nelson membahas mengenai konsep kepemilikan ruang angkasa dalam sudut pandang libertarianisme, yakni dengan menggunakan prinsip Lockean-homesteading (homesteading principle). Sama sebagaimana di bumi, kepemilikan benda-benda angkasa berada di tangan mereka yang telah pertama kali menemukan dan mengolah benda-benda tersebut.
Block dan Nelson mencontohkan bulan misalnya, tidak ada satupun hal yang membuat bulan sangat berbeda dari benda-benda yang ada di bumi, yang membuat satu-satunya satelit natural kita tersebut tidak bisa dimiliki dan diolah oleh individu tertentu. Setiap individu dapat mempunyai hak kepemilikan atas bagian tertentu di bulan, apabila ia telah mencapai tempat tersebut terlebih dahulu, dan mengelola wilayah tersebut untuk hal-hal yang produktif, seperti menggali mineral, mendirikan objek wisata, dan sebagainya.
Sama seperti kepemilikan tanah di bumi, seseorang tidak bisa pergi ke suatu tempat di bulan dan lantas mengklaim seluruh wilayah tersebut menjadi miliknya, sebagaimana yang dilakukan para kolonialis Eropa ketika mereka sampai di wilayah dataran baru. Klaim kepemilikan seseorang dibatasi oleh besarnya wilayah tersebut yang dapat ia kelola untuk kegiatan produktif, dan tentu saja selama wilayah tersebut belum dimiliki oleh siapapun. Perpindahan kepemilikan kepada pihak lain juga harus berdasarkan kesukarelaan dan tidak bisa dengan pemaksaan dan perampasan.
Hal yang sama juga diberlakukan untuk benda-benda langit lain, seperti planet-planet dan berbagai asteroid. Siapapun, baik individu maupun perusahaan, yang dapat mencapai wilayah atau mendapatkan benda tersebut terlebih dahulu sebelum orang lain, serta dapat mengolah dan mengelola wilayah yang telah ia capai, maka ia merupakan pemilik sah dari wilayah dan benda tersebut.
Lantas, bila kepemilikan sudah diterapkan di ruang angkasa, bagaimana dengan penerapan hukum di luar bumi?
Hampir seluruh aturan hukum terkait ruang angkasa saat ini tidak lebih berbentuk kesepakatan antar negara. Block dan Nelson memberi contoh beberapa aturan hukum tersebut, diantaranya adalah Perjanjian Ruang Angkasa (Outer Space Treaty) yang diprakarsai oleh Amerika Serikat, Rusia, dan Britania Raya pada tahun 1967, dan saat ini sudah diratifikasi oleh 108 negara.
Perjanjian Ruang Angkasa menerapkan bahwa tidak boleh ada negara manapun yang meletakkan senjata pemusnah massal di orbit bumi. Selain itu, tidak boleh ada negara yang menerapkan kedaulatan atas objek-objek luar angkasa, seperti Bulan, dan kegiatan di luar angkasa hanya boleh untuk tujuan damai dan bukan tujuan militer.
Outer Space Treaty merupakan menjadi salah satu kerangka hukum dasar aturan ruang angkasa, yang diikuti oleh berbagai peraturan kesepakatan lain. Beberapa peraturan tersebut diantaranya adalah Perjanjian Kesepakatan untuk Menyelamatkan dan Mengembalikan Astronot dan Objek yang diluncurkan ke Ruang Angkasa (The Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space) yang diratifikasi tahun 1968, dan Konvensi Internasional Tentang Tanggung Jawab Atas Kerusakan yang Disebabkan oleh Benda Ruang Angkasa (Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects) yang diratifikasi pada tahun 1978.
Akan tetapi, Block dan Nelson mengungkapkan bahwa ada masalah yang sangat mendasar dari berbagai perjanjian tersebut, yakni tidak adanya pengakuan atas hak kepemilikan pribadi. Semua perjanjian ruang angkasa yang sudah ditandatangani oleh berbagai negara menyatakan bahwa tidak boleh ada satu pihak pun yang mengklaim diri sebagai pemilik benda-benda langit diluar bumi.
Tidak adanya pengakuan atas hak kepemilikan pribadi tentu memiliki konsekuensi logis yang sangat nyata, diantaranya insentif seseorang untuk berinovasi dalam melakukan eksplorasi dan kegiatan produktif di ruang angkasa menjadi tidak maksimal. Hal tersebut tentu akan memiliki dampak negatif terhadap perekonomian karena ruang angkasa memiliki potensi nilai ekonomi yang tinggi dan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan umat manusia.
Sesorang dapat menggali berbagai mineral yang terdapat di benda-benda diluar bumi. Selain itu, potensi lain yang tak kalah besarnya adalah jasa turisme ruang angkasa yang tentunya akan berkembang pesat di masa yang akan datang. Bukan tidak mungkin bila nanti misalnya ada perusahaan yang memiliki insentif untuk membangun penginapan dan sarana rekreasi diatas permukaan bulan atau Mars. Hal tersebut hanya dapat dimungkinkan apabila kita memiliki seperangkat hukum yang melindungi hak kepemilikan individu di ruang angkasa.
Block dan Nelson mengungkapkan bahwa, bila konsep hak kepemilikan pribadi dapat diterapkan di luar angkasa, maka kita tidak membutuhkan perjanjian antar negara tersebut. Kita dapat menerapkan aturan hukum yang sama dengan yang diberlakukan didalam atmosfer bumi, dan dari sudut pandang libertarianisme batasan apa yang boleh dilakukan oleh seseorang sangatlah jelas, yakni tidak ada siapapun yang memiliki hak untuk melakukan agresi terhadap orang lain dan properti yang dimilikinya.
Begitu pula di ruang angkasa. Tidak ada siapapun yang dapat melakukan tindak kejahatan seperti pembunuhan, penculikan, atau perusakan terhadap properti orang lain yang berada di luar atmosfer bumi. Seseorang yang dimana benda angkasa yang dimilikinya terbukti merusak properti orang lain, maka ia harus mengganti kerugian terhadap pemilik properti tersebut, sebagaimana bila hal tersebut terjadi di bumi.
Sebagai penutup, tidak terlalu banyak literatur buku yang membahas mengenai ruang angkasa dari kacamata libertarianisme. Buku karya Block dan Nelson ini bagi saya merupakan buku yang sangat penting untuk memperkaya wacana gagasan libertarianisme dalam melihat perkembangan tekonologi ruang angkasa yang semakin maju di masa yang akan datang, yang didorong oleh berbagai perusahaan swasta yang kreatif dan inovatif.
Apabila prinsip-prinsip yang dibawa oleh gagasan libertarianisme, seperti kompetisi dalam pasar bebas, hak kepemilikan individu, serta prinsip non-agresi dapat diterapkan diluar atmosfer bumi, tentu hal tersebut akan semakin mendorong dan memberi insentif bagi banyak pihak untuk menggunakan sumber daya yang mereka miliki untuk mengembangkan teknologi ruang angkasa.
Dan bila demikian, bukan tidak mungkin bahwa impian manusia untuk mengkolonialisasi, melakukan kegiatan produktif, dan mengeksplorasi ruang angkasa secara lebih jauh, serta membangun peradaban di luar planet bumi dapat segera terwujud di masa yang akan datang.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.