Libertarianisme sebagai sebuah gagasan yang mengadvokasi kebebasan ekonomi dan kemerdekaan individu memiliki berbagai variasi pemahaman dan pemaknaan. Selain itu, setiap individu merupakan entitas yang unik dan berbeda. Tidak ada satupun individu di dunia ini yang 100% mutlak sama dengan individu lain, baik sifatnya, seleranya, nilai dan pemahamannya akan moralitas yang dianutnya, impiannya, hingga ketertarikannya akan suatu hal. Termasuk diantaranya mereka yang menyebut dirinya sebagai seorang libertarian.
Dari aspek kesehatan misalnya, seorang libertarian bisa memiliki pandangan bahwa kesehatan merupakan sesuatu yang sangat penting dan harus dijaga. Bahwa makan makanan yang memiliki nutrisi yang baik, olahraga teratur, dan menghindari konsumsi zat-zat yang berbahaya bagi tubuh seperti tembakau merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dijalankan.
Namun, tidak mustahil ada seorang libertarian yang memiliki pandangan yang berbeda, yang menganggap bahwa hidup merupakan sesuatu yang harus dinikmati dan menomorduakan aspek kesehatan. Bahwa tidak masalah mengorbankan sebagian kesehatan tubuh dengan tidak berolahraga, makan makanan tidak sehat, hingga mengkonsumsi zat-zat yang dapat membahayakan tubuh, seperti alkohol dan tembakau, selama kita mendapatkan kesenangan dan kenyamanan dengan melakukan hal tersebut.
Perbedaan tersebut tentu tidak hanya berlaku pada aspek kesehatan semata, namun juga pada hal-hal lain yang lebih mendasar, seperti moral personal misalnya. Seorang libertarian yang lahir dan besar di keluarga yang memiliki pandangan keagamaan yang konservatif, tentu akan memiliki pandangan mengenai hal-hal tertentu, seperti keluarga, seks, dan gaya hidup dengan seseorang yang lahir dan besar di keluarga yang cenderung sekular atau memiliki pandangan yang progresif terhadap ajaran-ajaran keagamaan.
Seorang libertarian yang memiliki pandangan keagamaan yang konservatif akan cenderung melihat seks sebagai sesuatu yang sangat sakral, keluarga sebagai fondasi dari masyarakat, serta pentingnya untuk selalu menjalankan ritual keagamaan dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, mereka yang memiliki pandangan progresif atau sekular terhadap agama cenderung akan memiliki cara pandang yang lebih terbuka terhadap seks dan nilai-nilai keluarga, serta tidak akan terlalu peduli terhadap ritual-ritual keagamaan.
Lantas, adakah diantara sudut pandang tersebut yang dianggap paling benar dalam kacamata libertarianisme? Apakah bila seseorang mengambil salah satu cara pandang di atas dan menolak yang lain, lantas ia memiliki hak lebih tinggi untuk mengaku dirinya sebagai seorang libertarian yang sesungguhnya?
*****
Inilah pertanyaan yang dibahas oleh Llewellyn H. Rockwell, atau yang biasa dikenal dengan Lew Rockwell, seorang penulis dan pemikir libertarian ternama asal negeri Paman Sam. Lew juga merupakan salah satu pendiri lembaga think tank libertarian Ludwig von Mises Institute, bersama ekonom dan pemikir libertarian tersohor, Murray Rothbard. Rockwell, dalam artikelnya yang dipublikasi dalam website-nya yang berjudul “What Libertarianism Is, and Isn’t”, memaparkan pandangannya mengenai hal-hal yang termasuk dalam pembahasan dan perhatian gagasan libertarianisme dan apa yang tidak.
Dalam artikelnya tersebut, Rockwell memberi paparan bahwa satu-satunya hal yang menjadi fokus dari libertarianisme adalah penggunaan kekerasan di dalam masyarakat, dan karena negara merupakan institusi yang memonopoli kekerasan, tentu kekerasan negara merupakan hal yang menjadi fokus utama dalam diskursus libertarianisme. Kekerasan yang dimaksud tentu adalah tindakan yang secara nyata merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak individu, baik hak atas tubuh maupun hak properti, seperti pembunuhan, penyiksaan, penculikan, pencurian, perampasan, penipuan, pemaksaan, dan sebagainya.
Mengutip Murray Rothbard, Rockwell memaparkan bahwa “Libertarianisme bukanlah suatu gagasan yang menawarkan bagaimana cara hidup yang baik. Yang ditawarkan oleh libertarianisme adalah kebebasan, dimana setiap orang bebas untuk mengadopsi dan bertindak berdasarkan norma-norma atau prinsip moral yang dianutnya.”
Bentuk kebebasan yang diadvokasi oleh libertarianisme merupakan kebebasan negatif, dimana setiap individu diakui merupakan entitas yang otonom dan memiliki hak mutlak untuk terbebas dari agresi atau paksaan dari pihak lainnya. Satu-satunya kewajiban yang dimiliki oleh individu terhadap orang lain adalah tidak melakukan agresi atau pemaksaan terhadap orang tersebut.
Rockwell menulis artikel ini tidak terlepas dari konteksnya, dimana ia melihat fenomena berkembangnya gerakan libertarianisme di Amerika Serikat secara pesat, terutama sejak salah satu tokoh sentral libertarian di negeri Paman Sam, Ron Paul, mengajukan dirinya sebagai salah salah satu kandidat calon presiden Amerika Serikat pada tahun 2008 dan 2012. Meskipun berkembangnya gerakan libertarianisme merupakan sesuatu yang positif, Rockwell melihat bahwa dalam fenomena tersebut, ia juga memiliki beberapa peringatan.
Dengan berkembang pesatnya gagasan libertarianisme, atau semakin bertambahnya manusia yang mendeskripsikan dirinya sebagai seorang libertarian, pada saat yang sama juga akan berdampak pada semakin beraneka ragamnya pemahaman serta interpretasi terhadap gagasan tersebut. Rockwell melihat bahwa hal tersebut akan berpotensi besar memunculkan kalangan-kalangan tertentu yang mencampurkan pemahaman mereka terhadap libertarianisme dengan nilai-nilai moral pribadi yang mereka anut, seraya menyatakan bahwa versi libertartarianisme yang mereka yakini merupakan bentuk libertarianisme yang mutlak paling benar dan asli.
Seorang yang mengklaim dirinya sebagai libertarian misalnya, yang memiliki fokus dan ketertarikan pada isu-isu perempuan, bisa memiliki pandangan bahwa libertarianisme merupakan gagasan yang sejalan dengan feminisme. Selain itu, bukan tidak mungkin pula seorang yang mengaku sebagai seorang libertarian harus bergerak untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, serta menyuarakan isu-isu terkait kesetaraan gender.
Seorang yang menganggap dirinya sebagai seorang libertarian, yang bergerak pada isu-isu hak-hak kelompok minoritas yang terpinggirkan, bisa memiliki pandangan bahwa libertarianisme merupakan gagasan yang sejalan dengan egalitarianisme. Bahwa seseorang yang menyebut dirinya sebagai seorang libertarian haruslah memiliki pandangan bahwa setiap manusia, apapun identitas yang dimilikinya, merupakan sesuatu yang secara inheren setara dan tidak ada kelompok yang lebih baik daripada yang lain. Bila ada seseorang yang berpendapat bahwa ada identitas tertentu yang melekat pada individu yang di atas dan lebih baik dari identitas lainnya, maka dia tidak bisa menjadi seorang libertarian.
Rockwell menyatakan dalam artikelnya bahwa libertarianisme tidak ada kaitannya dengan hal-hal tersebut. Libertarianisme tidak menaruh perhatian pada feminisme, ataupun pandangan terhadap egalitarianisme, meskipun seorang yang mengaku sebagai libertarian memiliki kebebasan untuk menaruh perhatian pada isu-isu di atas, namun hal tersebut bukanlah prasyarat yang mejadikan seseorang sebagai libertarian, atau membuat seseorang menjadi libertarian yang lebih tinggi dari seorang libertarian lain yang tidak menaruh perhatian terhadap hal-hal tersebut.
Selain itu, Rockwell dalam hal ini juga bukan berarti lantas mengatakan bahwa gerakan libertarianisme tidak bisa berkolaborasi atau bekerjasama dengan kelompok yang memiliki pandangan atau fokus perhatian yang berbeda dengan gagasan libertarianisme. Di kasus atau situasi tertentu, gerakan libertarian bisa membangun aliansi atau bekerjasama dengan gerakan lain yang memiliki keinginan untuk meraih hasil yang serupa.
Rockwell dalam artikelnya menyatakan secara tegas bahwa apabila kelompok libertarian bisa membangun aliansi dengan gerakan yang memiliki persepektif berbeda dalam isu-isu yang penting dan krusial, maka hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat didambakan. Di dalam masyarakat atau negara yang memberlakukan pembatasan terhadap hak atas tubuh serta kepemilikan properti bagi kaum perempuan misalnya, gerakan libertarian bisa membangun aliansi serta bekerjasama dengan kelompok-kelompok feminis dan pegiat hak perempuan.
Gerakan kolaboratif tersebut masih mungkin dilakukan, meskipun perspektif serta pendekatan terhadap isu tersebut kemungkinan besar akan berbeda. Kelompok yang memiliki fokus terhadap hak perempuan misalnya, akan melakukan pendekatan terhadap kasus tersebut dari kacamata ketidaksetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dimana laki-laki mendapatkan keistimewaan yang tidak bisa dinikmati oleh kaum perempuan.
Sementara, libertarianisme akan melihat dari sisi individunya, bahwa dalam fenomena tersebut ada berbagai individu tertentu yang tercerabut dan terlanggar haknya atas tubuh serta properti yang dimilikinya oleh pihak lain, baik negara maupun masyarakat, yang dalam hal ini individu-individu tersebut memiliki identitas jenis kelamin perempuan. Tidak peduli apakah jenis kelamin dari individu tersebut, baik laki-laki atau perempuan, tindakan agresi terhadap orang lain baik dalam bentuk pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang, oleh siapapun, merupakan hal yang tidak bisa diterima dalam libertarianisme.
Sebagai penutup, Rockwell mengungkapkan bahwa libertarianisme merupakan gagasan yang menjunjung tinggi kebebasan individu yang didasari pada konsep kepemilikan diri (self-ownership.) Oleh karena itu, libertarianisme, dalam bentuk yang paling murninya serta gagasan intinya, tidak perlu dicampuradukkan dengan gagasan lain di luar dari libertarianisme yang berangkat dari pandangan dasar yang berbeda. Hal tersebut niscaya hanya akan membawa kebingungan serta akan mendistorsi fokus utama libertarianisme, yakni bahwa setiap individu memiliki hak dalam kebebasan dan menentukan jalan hidupnya masing-masing.
Sumber artikel:
Rockwell, Llewellyn H. 2014. What Libertarianism Is, and Isn’t. Link: https://www.lewrockwell.com/2014/03/lew-rockwell/what-libertarianism-is-and-isnt/

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.