Sempat ditentang secara keras oleh publik pada September 2019, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) digodok lagi oleh Pemerintah bersama DPR. Sayangnya, meski dikecam publik, draf KUHP yang sekarang dibahas dan dibawa keliling daerah untuk sosialisasi, merupakan draf yang sama dengan draf pada tahun 2019.
Tak heran kalau kemudian mulai banyak suara lagi yang menentang isi draf KUHP ini.
Salah satu yang dikritisi di antaranya adalah pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Ancaman ini juga berlaku luas, sampai aktivitas warga negara di media sosial. Pada Pasal 219 misalnya, disebutkan bahwa unggahan, baik berupa teks, gambar, video, atau suara yang menyerang kehormatan Presiden atau Wakil Presiden, terancam pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah (hukumonline.com, 26/5/2020).
Kalau ditarik mundur lagi, keberadaan pasal-pasal di atas juga berhubungan dengan warisan KUHP yang dibuat Belanda. Ketentuan terkait penghinaan kepala negara, atau yang disebut dengan istilah Lèse-majesté, mulanya umum digunakan di Eropa untuk menghukum penghina raja atau orang berkuasa lainnya (David, 1995).
Perilaku ini pertama kali diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap martabat Republik Romawi dari Roma Kuno. Pada periode Dominasi, atau Kekaisaran Akhir, para kaisar menghilangkan ornamen republik dari pendahulu mereka dan mulai menyamakan negara dengan diri mereka sendiri.
Konsepsi yang lebih sempit tentang pelanggaran terhadap “Yang Mulia” sebagai pelanggaran terhadap mahkota mendominasi di kerajaan-kerajaan Eropa yang muncul pada periode awal abad pertengahan. Di Eropa pada masa feodal, beberapa kejahatan diklasifikasikan sebagai lèse-majesté meskipun tidak secara sengaja ditujukan terhadap mahkota.
Karena semangat yang merasuk dalam pasal 284 dan 285 RKUHP adalah larangan untuk menghina pemerintah, pasal-pasal tersebut bisa disebut juga haatzaai artikelen. Haatzaai merupakan kata dalam bahasa Belanda yang berarti kebencian, sedangkan artikelen berarti pasal (McGlynn, 2000).
Namun, menurut McGlynn, haatzai artikelen digunakan pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk kepentingan yang lebih luas, tidak hanya untuk membenarkan pengawasan terhadap kegiatan politik, tetapi juga untuk memantau dan mengendalikan hampir semua kehidupan intelektual di wilayah penjajah. “Dengan adanya pasal tersebut, apapun bisa dicetak atau diterbitkan, namun pihak berwenang berhak menuntut, memenjarakan, mengasingkan, dan bahkan mengeksekusi orang yang terkait dengan publikasi yang dianggap berbahaya bagi ketertiban umum,” sebut McGlynn (McGlynn, 2000).
Hukum ini umumnya diterapkan oleh penguasa monarki di seluruh dunia. Meski secara global jarang digunakan, beberapa negara masih aktif menggunakan pasal lèse-majesté. Pada bulan September 2020 lalu misalnya, lèse-majesté menjadi identik dengan situasi di Thailand mengenai kebebasan mengemukakan pendapat.
“Bapak-ibu, mohon koin baht jangan dibuang-buang ya. Di sini membuang uang koin bisa dianggap menghina raja. Uang koin Thailand ada gambar raja,” ujar seorang tour guide pada perjalanan saya ke Bangkok pada tahun 2017 lalu. Ia dalam hal ini mengingatkan beberapa pantangan yang harus dihindari oleh pendatang baru saat menginjakkan kaki di Thailand silam. Sepintas hal itu memang sepele, tapi Thailand memang beda dalam memperlakukan rajanya.
Bicara mengenai sejarah dan asal usul pasal lèse-majesté, memang memang tidak bisa dipisahkan dengan kebebasan berpendapat masyarakat dan kemampuan berpikir kritis. Indonesia sendiri merupakan negara hukum di mana setiap tindakan warga negaranya diatur secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan. Begitu pula dengan pengaturan mengenai etika penyampaian kritik melalui media sosial.
Media sosial dalam hal ini secara tidak langsung memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk bebas berpendapat. Tetapi di sisi lain, hal ini juga menjadi ancaman bagi pengguna karena terdapat aturan dalam pasal RKUHP yang dianggap mengintai dan membatasi kebebasan berpendapat tersebut. Salah satunya adalah pasal penghinaan presiden yang melarang kritik dan mengekang protes.
Didukung oleh sifatnya yang lentur alias multitafsir atau pasal karet, lèse-majesté kemudian akan menjadi instrumen hukum yang sangat efektif untuk membungkam kritik terhadap lawan-lawan politik pemerintahan yang berkuasa. Menurut data Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dari sejak pemerintahan Presiden Megawati sampai Presiden Jokowi, setidaknya ada delapan orang yang dipidana karena dianggap telah menghina presiden (rappler.com, 13/8/2015).
Pasal penghinaan ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan jika masih belum memiliki tolak ukur yang jelas, dikarenakan pasal ini dapat saja mengenai seseorang yang mengkritik pada Presiden maupun Wakil Presiden. Menjadi persoalan utama adalah bagaimana cara pengadilan dan eksekutif dapat membedakan kritik dengan hinaan. Dalam penafsiran Pasal 310 KUHP, penghinaan tidak memisahkan itu opini ataupun fakta, jika dirasa oleh korban bahwa itu merupakan suatu perbuatan penghinaan, maka unsur penghinaan tersebut bisa terpenuhi (hukumonline.com, 15/5/2009).
Oleh sebab itu, pasal ini berbahaya sebab seseorang dapat dipidana atas penilaian subjektif orang lain. Hal ini tentu akan menghilangkan beban pembuktian yang menjadi prosedur inti dalam hukum pidana atau dengan singkat subjektivitas Presiden atau Wakil Presiden akan menghilangkan due process.
Maka dari itu, pasal penghinaan terhadap Presiden maupun Wakil Presiden sangat rentan untuk disalahgunakan, akibat tidak didefinisikannya secara jelas kritik dengan penghinaan tidaklah berbeda jauh, samar, dan rawan dikaitkan kepentingan pribadi. Bisa saja, masyarakat mengkritik janji dan hal-hal yang telah dilakukan Presiden maupun Wakil Presiden selama masa jabatannya telah ingkar dan sia-sia, kejadian berupa kritik masyarakat atas keingkaran janji Presiden dan Wapres pada masa kampanye, atau kritik atas kinerja mereka dapat saja dikenakan pidana dengan dalih masyarakat telah menjatuhkan martabat pemimpin negara.
Hadirnya RKUHP Pasal Penistaan Presiden dan Wakil Presiden jangan sampai melupakan inti dari demokrasi, yakni kebebasan berpendapat yang dapat menjamin bahwa setiap warga negara berhak menyampaikan gagasannya. Jaminan ini tertulis juga dalam Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Sebagai penutup, selama belum ada indikator yang jelas untuk membedakan mana yang termasuk dalam penghinaan dan mana yang merupakan kritik, maka pasal ini akan bisa digunakan untuk kepentingan pribadi pemimpin negara dengan memenjarakan rakyat. Bila hal ini terjadi, niscaya ruang-ruang kebebasan berpendapat akan menjadi menghilang.
Referensi
Jurnal
McGlynn, J. 2000. “Silenced Voices, Muted Expressions: Indonesian Literature Today”. Mānoa, Vol. 12, No. 1,
Streckfuss, David. 1995. “Kings in the Age of Nations: The Paradox of Lese-Majeste as Political Crime in Thailand”. Comparative Studies in Society and History, Vol. 37, No. 3.
Internet
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ecccc3869154/jerat-hukum-menghina-presiden-di-tengah-wabah-covid-19/ Diakses pada 8 Juni 2020, pukul 20.00 WIB.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl6865/penghinaan/ Diakses pada 9 Juni 2020, pukul 16.00 WIB.
https://www.rappler.com/world/daftar-korban-pasal-penghinaan-presiden-megawati-sby-jokowi Diakses pada 9 Juni 2020, pukul 15.00 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.