Kultur Meritokrasi di Indonesia: Menilik Balik Sejarah, Peranan, dan Fungsi Meritokrasi

    880

    Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di DKI Jakarta telah dimulai pra pendaftarannya pada Kamis, 11 Juni lalu. Hingga saat ini, banyak protes yang datang dari orang tua siswa terkait beberapa peraturan yang dinilai memberatkan, salah satunya persyaratan usia.

    Seleksi berdasarkan usia, selain untuk PPDB PAUD dan SD, juga diberlakukan pada jenjang SMP dan SMA, di jalur zonasi, inklusi, dan beberapa persyaratan untuk jalur afirmasi. Kebijakan baru ini dibuat karena pada pandemi Covid-19 tidak ada ujian nasional. Oleh karena itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta memperhitungkan usia untuk PPDB jenjang SMP dan SMA.

    Sejumlah orang tua menilai syarat kriteria usia pada PPDB Jakarta diskriminatif kepada calon peserta didik yang usianya lebih muda. Pasalnya, untuk jenjang SD kuota murid yang tersedia berusia tujuh tahun sampai dengan dua belas tahun. Untuk jenjang SMP berusia paling tinggi lima belas tahun. Terakhir, untuk jenjang SMA dan SMK, berusia paling maksimal dua puluh satu tahun (CNN Indonesia, 25/06/2020).

    Selain itu, seleksi PPDB berdasarkan usia ini juga berdampak besar pada sistem wajib belajar 12 tahun yang sudah lama diterapkan oleh Pemerintah Indonesia. Walaupun peraturan PPDB berdasar usia ini sudah tertera dalam Permendikbud Nomor 44 tahun 2019, banyak pihak yang merasa dirugikan karena adanya sistem ini. Lantas, apakah syarat prioritas umur dalam PPDB memang tidak sesuai?

     

    Meritokrasi dalam Peranan di Dunia

    Merit system atau meritokrasi adalah sebuah sistem yang menekankan kepada kepantasan seseorang untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu dalam sebuah organisasi. Kepantasan diartikan sebagai kemampuan per se. Tanpa memandang latar belakang etnis, agama, afiliasi politik, atau status sosial mereka. Di negara-negara maju, merit system telah diterapkan sejak ratusan tahun lampau. Di dunia Barat, meritokrasi menjadi salah satu kunci keunggulan mereka dibandingkan peradaban lainnya di dunia.

    Amerika Serikat misalnya, sejak 1883 telah mereformasi undang-undang birokrasinya dengan menggunakan sistem kepantasan (Kompasiana.com, 5/08/2013). Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, birokrat Amerika harus memiliki kapabilitas dan kepandaian sesuai dengan posisi yang didudukinya. Di Australia, merit system didefinisikan secara lebih luas. Jika di Amerika latar belakang pendidikan memegang peranan untuk menduduki posisi tertentu, maka di Australia hal semacam itu tak terlalu dipertimbangkan.

    Jauh sebelum masyarakat Barat menerapkan meritokrasi, Dinasti Qin dan Dinasti Han telah terlebih dahulu mengaplikasikannya. Meritokrasi di China ketika itu, terutama untuk menjaga stabilitas negara yang terdiri dari bermacam-macam etnis. Pada masa kejayaan Dinasti Utsmani, merit system berjalan sebagaimana yang kita lihat di dunia Barat sekarang ini. Wazir, ulama, kadi, dan tentara, dipilih berdasarkan yang terbaik. Di masa itu, tak heran jika melihat anak-anak Kristen dari Balkan, menjadi serdadu atau komandan militer Utsmani dalam penaklukan Eropa (Kompasiana.com, 5/08/2013).

    Di Jepang, meritokrasi setidaknya telah berlangsung sejak Restorasi Meiji. Meritokrasi di negeri matahari terbit, bermula dari sistem pendidikannya yang memberikan kesempatan kepada semua orang untuk duduk di bangku sekolah. (Kompasiana.com, 5/08/2013). Murid-murid yang pandai, kemudian akan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan diberikannya akses pendidikan, bangsa Jepang memiliki modal yang sama untuk bertarung dan memenangkan kompetisi. Selanjutnya ketika mereka menjadi politisi dan birokrat, hanya orang-orang berkompeten lah yang bisa menempati posisi-posisi kunci.

    *****

    Dalam lanskap perpolitikan Indonesia, setidaknya republik ini pernah dipimpin oleh perdana menteri yang menerapkan zaken cabinet, Ir. Juanda, yang mengangkat menteri-menterinya berdasarkan keahlian mereka. Sebelum Juanda, Kabinet Sjahrir juga menerapkan sistem meritokrasi. Selain Sutan Sjahrir yang menjadi perdana menteri, dalam kabinet ada pula Agus Salim, Natsir, Amir Sjarifuddin, Mohammad Roem, dan Johanes Leimena. Meski telah menerapkan merit system, namun kabinet ini hanya bertahan kurang dari dua tahun.

    Setelah masa Demokrasi Terpimpin, yang cenderung berpatokan hanya pada satu ideologi dan politik dinasti yang dibangun pada masa Orde Baru, meritokrasi juga belum benar-benar diterapkan di Indonesia pasca reformasi. Baru-baru ini yang terjadi, kericuhan kader-kader di Kongres V Partai Amanat Nasional (PAN) yang berujung lempar-lemparan kursi (Kompas.com, 11/02/2020).

    Salah satu masalah partai politik di Indonesia hari ini adalah belum terlembaganya (institusionalisasi) partai secara baik. Salah satu indikator institusionalisasi partai politik adalah adanya mekanisme rekrutmen secara meritokratis dan dilaksanakan secara kolektif. Kericuhan yang terjadi dalam kongres PAN merupakan deviasi akibat belum terlembaganya partai secara baik. Ada ketidaksiapan untuk menerima segala konsekuensi dari mekanisme yang menjadi kesepakatan kolektif dan menjadi prosedur organisasi

    Penting bagi partai untuk menerapkan sistem meritokrasi politik ini dalam proses rekrutmen kader. Pasalnya, untuk menjadi politisi dan legislator nantinya, tentu bukanlah sebuah hal yang mudah. Semua harus melalui seleksi sistem merit yang ketat sebelum ditawarkan kepada rakyat melalui proses pemilihan umum, dengan berbasis pada nilai-nilai kompetensi, dedikasi, prestasi, profesionalisme, hingga kepedulian pada lingkungan.

    Sebab, pergerakan atau perputaran kader-kader partai ini tak akan jauh-jauh dari lingkaran kekuasaan. Kalau tidak berproses maju untuk dicalonkan partainya masuk ke parlemen, ya bersaing untuk jadi bupati, walikota, atau gubernur. Kalau kariernya mentok, setidaknya ia tetap jadi pendukung setia partai di daerah-daerah untuk meramaikan setiap forum munaslub atau kongres, sambil berteriak “Hidup Partai Tuhan” atau “Maju Terus Harun, Partai Matahari Harga Mati”.

    Secara praktek, hal mengenai basis ideologi sebagai fundamental partai tidak lagi bisa kita jumpai. Ideologi tidak memiliki peran signifikan dalam budaya politik di Indonesia. Kompas politik kurang laku di Indonesia, thus, masyarakat kurang akrab dengan istilah-istilah ide politik. Konsep-konsep seperti Liberal versus Konservatif, Sayap Kanan versus Sayap Kiri terdengar asing di telinga masyarakat. Elektabilitas lebih menitikberatkan pertimbangan masyarakat ke individu si kandidat itu sendiri. Kepada figur dan spokesmen, dibandingkan partai itu sendiri.

    Akibatnya, partai politik menjadi sangat inkonsisten terhadap pendirian mereka sebelumnya. Mereka bisa seenaknya berganti posisi menyesuaikan diri dengan perkembangan politik yang sangat amat dinamis di Indonesia. Seperti Presiden Joko Widodo dari PDI-P yang mengadopsi ide Pancasila dan Marhaenisme, dalam implementasinya di Pemerintahan Joko Widodo 4 tahun belakangan, justru lebih bertendensi ke arah kebijakan kanan.

    *****

    Demikian semua hal yang sudah saya jabarkan tentang meriokrasi dalam lingkup perpolitikan Indonesia dengan harapan sistem meritokrasi terus dibudayakan dalam kultur masyarakat Indonesia dengan kondusif, sehat, dan lancar. Salah satu upaya dalam merealisasikan kultur paradigma meritokrasi ini adalah dengan implikasi pada sistem pendidikan.

    Sistem PPDB yang memprioritaskan jalur masuk dari faktor usia cenderung akan melempar murid-murid progresif dengan prestasi yang mumpuni, namun tidak masuk dalam kriteria usia yang ditetapkan. Hal ini jelas tidak sejalan dengan meritokrasi karena hanya dengan modal “usia” matang, anak sudah bisa masuk ke sekolah negeri pilihan. Selain itu, sistem pengelompokan sekolah favorit juga otomatis berpengaruh karena adanya sistem seperti ini.

    Meritokrasi dalam sistem pendidikan kita penting untuk mengajukan alternatif, yaitu keahlian dan profesionalisme, yang seharusnya menjadi penentu kebijakan yang bermutu. Untuk menghadapi banyaknya hambatan dalam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia, diperlukan transformasi pembelajaran yang bertujuan meningkatkan mutu proses pendidikan di sekolah, yang tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan menyusun sebuah dokumen tertulis yang disebut ‘kurikulum sekolah’.

    Hal ini menyiratkan bahwa, perubahan menyeluruh dalam berbagai komponen pendukung perlu dilakukan secara komprehensif dan serentak, jika kita benar-benar ingin menciptakan transformasi dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Mulai dari penanaman ide yang menurut saya sangat penting untuk mencegah pemikiran-pemikiran subversif dan radikal, metode pembelajaran murid yang tidak berpatokan pada teori, namun perlu diimbangi dengan penalaran dan praktik, hingga macetnya demokrasi di Indonesia yang perlu dibenahi.

     

    Sumber:

    https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200625063632-20-517195/rincian-aturan-dan-syarat-usia-ppdb-jakarta Diakses pada 7 Juli 2020, pukul 19.00 WIB

    https://www.kompasiana.com/afandri_adya/552001ad813311eb719de111/meritokrasi-dalam-kultur-masyarakat-indonesia Diakses pada 9 Juli 2020, pukul 18.00 WIB.

    https://nasional.kompas.com/read/2020/02/11/17370291/kronologi-kericuhan-dan-aksi-lempar-kursi-saat-kongres-v-pan Diakses pada 7 Juli 2020, pukul 19.30 WIB.