
Rasa ceria untuk menghirup hawa demokrasi secara murni di Indonesia nampaknya semakin memudar. Optimisme untuk melihat iklim bebas dan demokratis rasanya semakin jauh dari harapan.
Memudarnya optimisme tersebut disebabkan oleh pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang kontroversial baru-baru ini.
Setelah kita merasa lega dan bahagia dengan pengesahan RUU PKS yang melindungi kaum perempuan dan anak, kini kita justru menangis karena elit partai dan politisinya telah mengesahkan beberapa undang-undang yang mencederai kebebasan individu dan demokrasi.
Harapan bahwa RKUHP yang baru akan mengikis sisa-sisa faham kolonial Belanda, justru malah menjebak kita ke alam feodal yang menjunjung oligarki dan aristokrat.
Situasi di mana si penguasa dan elit pemerintah tidak boleh dikritik, tidak boleh diganggu dan wajib dihormati oleh segenap masyarakat meski kebencian masyarakat terhadap oknum pejabat sudah meluap-luap.
***
Tidak ada yang menduga bahwa tanggal 6 Desember yang lalu akan menjadi catatan kelam bangsa ini. Hari Selasa yang sama seperti hari-hari biasanya telah mengejutkan publik ketika tepat di hari itu RKUHP yang kontroversial disahkan oleh DPR RI.
RKUHP awalnya direncanakan dengan tujuan untuk memperbaharui KUHP yang berasal dari Wetboek van Srafrecht voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara saat ini.
Awalnya, RKUHP disusun untuk memberikan pedoman jelas dan sebagai beleid atau aturan yang tidak hanya memberikan ketegasan, namun juga keadilan penegakan hukum di Indonesia. Salah satunya adalah adanya alternatif sanksi bagi pelaku pelanggaran tindak pidana. Namun dalam proses revisi dan penyusunan ulang RKUHP tersebut, banyak pasal-pasal yang disorot oleh publik. Bahkan beberapa aktivis menyebut beberapa pasal tambahan yang termaktub dalam revisi kitab tersebut berpotensi merusak demokrasi.
Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan bahwa DPR dan pemerintah terkesan terburu-buru dan tak melibatkan partisipasi publik dalam perumusan RKUHP.
Menurut Isnur, sejumlah pasal dalam RKUHP akan membawa masyarakat ke masa penjajahan khususnya dijajah oleh pemerintahnya sendiri (CNN, 06/12/2022). Tak hanya satu-dua saja, banyak pihak yang mengkritik rancangan daripada kitab KUHP tersebut, beberapa tokoh seperti Azyumardi Azra (Almarhum) bahkan mengkritik salah satu pasal yang dianggap bakal mencederai kebebasan pers dan mengganggu kinerja jurnalistik.
Ada beberapa pasal dalam draf RUU KUHP yang disoroti oleh beliau. Salah satunya Pasal 219 yang menyebutkan: “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.
Menurut Azyumardi, ayat di atas berpotensi menghambat dan mengganggu kebebasan pers. Siapapun bisa ditangkap meski si wartawan menulis dalam kerangka jurnalisme yang ketat (08/08/2022). Kritikan-kritikan tersebut menunjukkan bahwa RKUHP yang kini telah sah menjadi KUHP dirancang secara ceroboh, tidak mengikutsertakan partisipasi publik dan terkesan asal-asalan. Imbas dari asal-asalan ini justru telah merobek-robek demokrasi dan juga proses reformasi politik yang diusahakan oleh segenap lapisan masyarakat sejak lebih dari dua dekade ini.
Beberapa Pasal yang Kontroversial
Agar menjadi jelas, secara singkat yang memicu protes adalah adanya pasal-pasal kontrovesial dalam KUHP yang baru, seperti pasal penghinaan presiden, pasal kontrasepsi, pasal demonstrasi, pasal hukuman koruptor, pasal kumpul kebo, pasal penistaan agama, pasal makar, pasal kebebasan pers, pasal living law, dan pasal vandalisme.
- Penghinaan terhadap Presiden
Setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda Rp200 juta,” bunyi Pasal 218 RKUHP.
Dipaparkan dalam Pasal 219, bahwa penghinaan kepada presiden itu termasuk setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi.
Pelaku akan mendapat pidana penjara paling lama empat tahun atau denda Rp200 juta. Sementara penghinaan terhadap pemerintah atau lambang negara seperti dalam Pasal 240 ayat 1, akan mendapat pidana penjara paling lama 1.6 tahun dan denda Rp10 juta.
2. Kriminalisasi Demonstran
“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” bunyi Pasal 256.
3. Berusaha Menjerat Jurnalis
(1) Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
(2) Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV .
Pasal 264
Setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.
***
Pasal-pasal di atas adalah cuplikan beberapa pasal kontroversial yang penulis anggap sangat berbau politis dan membingungkan, sebab pasal karet tersebut bisa dimanfaatkan oleh orang yang memegang kekuasaan untuk membungkam para pengkritiknya.
Contohnya pasal penghinaan pada Presiden dan lembaga negara. Di sini patut dipertanyakan, bukankah presiden dan lembaga negara lainnya adalah “pelayan publik”? Mengapa pelayan publik bisa begitu kebal dari hujatan dan malah orang yang dilayani (rakyat) malah bisa dipenjara karena hujatannya.
Jika mereka yang membela pasal di atas mengatakan bahwa antara “kritik” dan “memaki” adalah dua hal berbeda, namun yang harus diperhatikan adalah di mana perbedaannya? Kritik, hinaan dan satir memiliki jarak yang bias dan tak jelas. Orang yang dihina bisa saja menganggap hinaan itu adalah kritik, dan orang yang dikritik bisa saja kritikan itu dianggap sebagai penghinaan.
Pada dasarnya, ‘baper’ tidaknya pejabat yang dikritik tersebut akan tergantung pada respons dari pihak yang menerima kritik. Jika si pejabat mudah tersinggung, maka kritikan bisa saja berubah menjadi hinaan. Oleh karena itu, sebaiknya pasal ini dibuang saja ke keranjang sampah ketimbang besok memenuhi sel penjara dengan orang yang mengkritisi pemerintah.
Pasal lainnya mengenai demonstrasi dan hoaks juga sangat berbahaya. Berbahaya bagi mahasiswa yang sering menjadi korban dan kambing hitam saat demonstrasi berlangsung, serta berbahaya bagi kebebasan pers.
Jika masalah demonstrasi saja harus mendapatkan izin dari polisi, bagaimana dengan mahasiswa yang berdemonstrasi di kampus? Atau masyarakat yang berdemonstrasi menuntut keadilan atas tanah dan properti yang dirampas seperti yang terjadi di berbagai daerah? Apakah negara akan memenjarakan mahasiswa dan masyarakat kecil? Sangat tidak manusiawi sekali!
Begitu juga dengan berita hoaks yang beredar. Justru ada beberapa hal yang harus dipertegas:
- Siapa yang menentukan satu berita hoaks atau bukan? Jika negara, berarti peran sipil dimiskinkan dan negara ingin menjadi sentral kebenaran lewat propagandanya (persis seperti kejadian di novel “1984” karya George Orwell).
- Jika hanya berita yang mengundang kerusuhan dan kegaduhan publik yang diproses hukum, pertanyaannya adalah kegaduhan macam apa?
Apakah kegaduhan di internet juga termasuk? Dan keonaran macam apa yang dimaksud oleh pasal di atas, serta berapa takaran kerugian hingga satu berita yang viral bisa diproses hukum? Jika tidak jelas, maka RKUHP ini benar benar hanya makalah yang patut dikritik dan direvisi agar isinya benar-benar mencerminkan semangat kebhinnekaan dan keindonesiaan dan tidak merusak cita-cita reformasi.
Memperjelas Arti “Keindonesiaan”
Menciptakan produk hukum yang sesuai dengan nilai-nilai “keindonesiaan” adalah salah satu alasan mengapa RKUHP dibahas dan dirancang oleh wakil rakyat kita. Secara garis besar saya setuju, sebab hukum, budaya dan norma adalah hal yang relatif. Ia berubah dan selalu berkesinambungan, serta bergerak sehingga perubahan produk hukum sangat dimungkinkan.
Namun sampai di titik ini, kita juga harus bertanya seperti apa produk hukum yang “keindonesiaan” dan mencerminkan Indonesia? Ini harus diperjelas. Apakah keindonesiaan itu berarti anti kritik pada pemerintah? Apakah keindonesiaan itu membuat rakyat wajib tunduk merendah tak berbuat rusuh, demi stabilitas kursi pemegang kekuasaan?
Membahas soal keindonesiaan ini membuat saya ingat pada Bung Hatta yang mencetuskan istilah “demokrasi desa”. Bung Hatta mengatakan bahwa demokrasi desa adalah demokrasi asli Indonesia. Dari sini harus dipahami, Bung Hatta menggunakan istilah “demokrasi desa” bukan “demokrasi Indonesia”, “demokrasi asli Indonesia”, bukan “demokrasi Indonesia” (Berdikarionline, 03/03/2017).
Alih-alih merujuk pada sejarah, Bung Hatta membeberkan konsep demokrasi desa lewat perilaku kolektif dan interaksi demokratis masyarakat desa: gotong royong dan tidak ragu memprotes jika ada yang tak benar (Berdikarionline, 03/03/2017).
Bung Hatta mungkin tahu bahwa sejarah Indonesia di masa lalu adalah sejarah yang berbau feodalisme. Kitab-kitab klasik yang memuja para raja dan hanya mengisahkan keagungan raja ketimbang perkembangan masyarakat Nusantara. Dengan kata lain, untuk membahas istilah “keindonesiaan”, kita harus memisahkan Indonesia yang demokratis (yang dicerminkan oleh masyarakat desa) dan Indonesia yang feodal (sistem pemerintahan dan sosial di masa lalu).
Jika kita berangkat pada demokrasi desa seperti yang dipaparkan oleh Bung Hatta, maka produk hukum kita harus menjunjung kebebasan dan demokrasi. Melumrahkan protes massa dan tidak perlu memenjarakan orang-orang yang berbicara politik secara pedas di warung kopi atau di media sosial mereka (Berdikarionline, 03/03/2017).
Pembungkaman kritik secara hukum merupakan pemerkosaan terhadap demokrasi di Indonesia. Mengingkari cita-cita reformasi dan melanggengkan budaya feodal yang hanya melindungi kaum elit saja. Jadi, apakah benar RKUHP yang kemarin telah sah menjadi KUHP benar-benar mencerminkan semangat demokrasi Indonesia atau demokrasi feodal ala Korea Utara dan negara-negara fasis lainnya?
Referensi
https://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-konsep-demokrasi-asli-indonesia/ Diakses pada diakses pada 9 Desember 2022, pukul 03.55 WIB.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20221206174921-12-883653/ylbhi-kecam-pengesahan-rkuhp-masyarakat-dijajah-pemerintah-sendiri/amp Diakses pada 9 Desember 2022, pukul 03.10 WIB.
https://m.merdeka.com/peristiwa/draf-final-ruu-kuhp-penyebar-hoaks-diancam-6-tahun-penjara.html Diakses pada 9 Desember 2022, pukul 03.12 WIB.
https://politik.rmol.id/read/2022/08/08/542881/bertemu-fpdip-azyumardi-azra-kami-minta-ruu-kuhp-disempurnakan Diakses pada 9 Desember 2022, pukul 03.12 WIB.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com