Pada tanggal 1 Februari lalu, terjadi peristiwa politik besar di negara tetangga kita di Asia Tenggara, Myanmar. Di pagi hari itu, partai Pemerintah Myanmar yang terpilih secara demokratis National League for Democracy (NLD), yang dipimpin oleh aktivis por-demokrasi, Aung San Suu Kyi, diturunkan secara paksa oleh militer Myanmar melalui cara kudeta.
Kudeta militer tersebut bukanlah hal pertama yang terjadi di negara tersebut. Kudeta juga telah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah Myanmar modern. Hampir 50 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1962, kudeta militer juga terjadi, di mana militer Myanmar, di bawah kepemimpinan Jenderal Ne Win, menurunkan secara paksa pemerintahan Perdana Menteri U Nu yang terpilih secara demokratis (frontiermyanmar.net, 29/3/2016).
Militer Myanmar, yang dikenal dengan nama Tatmadaw, selanjutnya menjadi penguasa negara tersebut dan membentuk pemerintahan Junta. Pada tahun 1988, terjadi demonstrasi besar-besaran menuntut demokratisasi, di mana Aung San Suu Kyi menjadi salah satu tokoh pimpinan gerakan tersebut. Karena tuntutan massa, Junta Militer Myanmar akhirnya membuka pemilihan umum pada tahun 1990, dengan keyakinan mereka akan dipilih oleh masyarakat.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. 60% rakyat Myanmar menjatuhkan pilihannya kepada partau Suu Kyi, NLD, dan mendapatkan 80% kursi di parlemen. Melihat hal tersebut, militer Myanmar memutuskan menolak untuk menerima hasil pemilu, dan tidak bersedia untuk melakukan transisi kekuasaan (opendemocracy.net, 10/6/2010).
Karena tuntutan domestik dan internasional, Tatmadaw akhirnya kembali membuka pemilihan umum pada tahun 2015, yang kembali dimenangkan oleh NLD. NLD mendapatkan hampir 80% kursi di Parlemen Myanmar, dan Aung San Suu Kyi diangkat sebagai state counselor negara tersebut (BBC.com, 3/12/2015).
Berlangsungnya pemilihan umum yang relatif bebas dan terbuka di negara yang menerapkan sistem otoritarianisme tentu merupakan hal yang patut kita apresiasi. Sayangnya, aspirasi rakyat Myanmar dalam pemilihan yang demokratis tersebut kembali dinodai oleh militer Myanmar di bulan Februari lalu melalui kudeta militer secara paksa. Aung San Suu Kyi sendiri ditahan oleh militer pasca kudeta tersebut terjadi.
Kecaman internasional dari berbagai negara terhadap militer Myanmar mencuat sebagai reaksi atas kudeta tersebut. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, misalnya, mengatakan bahwa ia akan memberikan sanksi terhadap militer Myanmar. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, juga mengecam keras tindakan militer Myanmar tersebut, dan menuntut agar seluruh pejabat sipil yang dipilih secara demokratis segera dibebaskan oleh Tatmadaw (arabnews.com, 1/2/2021).
Kecaman dan protes juga tidak hanya dilakukan oleh dunia internasional. Di dalam negeri Myanmar sendiri, demonstrasi besar-besaran dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menolak kudeta tersebut dan menuntut dikembalikannya sistem demokrasi. MIliter Myanmar sendiri merespons demonstrasi tersebut secara brutal, yang menyebabkan setidaknya lebih dari 30 demonstran kehilangan nyawa (BBC.com, 3/3/2021).
Berbeda dengan respon dari negara-negara Barat, Indonesia dan negara-negara ASEAN cenderung menujukkan sikap kehati-hatian untuk merespon kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar. Melalui Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, Indonesia menghimbau seluruh pihak mengambil langkah untuk menahan diri dan tidak melakukan kekerasan. Selain itu, langkah diplomasi untuk menyelesaikan krisis politik tersebut juga dianggap sebagai langkah yang lebih baik dibandingkan dengan sanksi, sebagaimana yang diadvokasi oleh negara-negara Barat (learningenglish.voanews.com, 24/2/2021).
Namun, langkah yang diambil oleh Indonesia dan ASEAN tersebut juga bukan tanpa kritik, khususnya dari gerakan-gerakan dan demonstran pro-demokrasi di Myanmar. Tidak sedikit aktivis pro-demokrasi Myanmar yang menganggap bahwa upaya diplomasi sama saja dengan melegitimasi rezim Junta Militer yang berkuasa melalui kudeta terhadap pemerintahan demokratis yang sah, dan mereka menuntut negara-negara ASEAN untuk menunjukkan sikap yang keras menentang kudeta tersebut.
Tidak bisa kita abaikan, persoalan ini bukanlah masalah yang mudah, dan tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah sosial dan politik di Myanmar. Sepanjang sejarahnya, khususnya setelah mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1948, Tatmadaw telah memainkan peran yang sangat besar dan mendominasi kehidupan sosial dan politik di negara tersebut.
Selain itu, pandangan bahwa sanksi sebagai langkah yang efektif untuk menghukum rezim otoriter yang merepresi rakyatnya juga merupakan pandangan yang sebaiknya tidak kita telan seutuhnya. Melalui sejarah, kita dapat melihat pemberian sanksi yang dilakukan oleh negara big powers terhadap negara-negara tertentu juga tidak membawa perubahan yang berarti terhadap rezim yang berkuasa di negara tersebut. Sanksi terhadap Kuba, Iran, dan Korea Utara misalnya, yang dijatuhi oleh Amerika Serikat dan sekutunya selama berdekade-dekade, juga tidak berhasil membawa proses demokratisasi dan kebebasan politik di negara-negara tersebut.
Meskipun demikian, bukan berarti lantas Indonesia tidak perlu melakukan apa-apa dan sikap lepas tangan menjadi langkah yang tepat. Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ASEAN, harus mampu memainkan perannya untuk mencegah agar pertumpahan darah di Myanmar dapat dihentikan, dan agar kehendak rakyat yang diejawantahkan dalam proses demokrasi dapat dihormati oleh semua pihak di Myanmar.
Indonesia sendiri memiliki posisi yang unik, selain menjadi negara terbesar di Asia Tenggara. Tanah air kita merupakan salah satu dari segelintir negara yang berhasil melakukan proses demokratisasi dan transisi kekuasaan melalui proses demokratis secara berkala dengan damai setelah selama lebih dari 3 dekade berada di bawah rezim otoritarian.
Proses demokratisasi tersebut juga bukan sesuatu yang mudah, dan telah menghilangkan tidak sedikit nyawa anak bangsa. Kini, perjuangan tersebut membuahkan telah hasil, dan masyarakat Indonesia akhirnya bisa merasakan angin segar demokrasi dan kebebasan politik, meskipun tentunya hal tersebut masih belum sempurna dan masih banyak hal yang harus kita perbaiki.
Sebagai negara yang telah mengalami proses demokratisasi dan berhasil melepaskan diri dari jerat otoritarianisme, sudah seharusnya kita juga mampu menaruh simpati dan dukungan terhadap para aktivis pro-demokrasi di Myanmar, yang kini tengah memperjuangkan masa depan tanah air mereka untuk menjadi negara yang bebas dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Semoga, pertumpahan darah di Myanmar dapat segera terselesaikan, dan pilar-pilar serta proses demokrasi dapat ditegakkan dan dihormati di negara tetangga kita tersebut.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.