Kritik Sebagai Sarana Untuk Memaparkan Masalah

    474

    “Ah, bisanya kritik pemerintah terus lu! Emang lu sendiri punya solusi?!”

    “Dia mah bisanya cuma ngomong kritik doang, coba aja kalau disuruh cari solusinya, bisa ga?!”

    Bagi Anda yang gemar berdiskusi atau membicarakan isu-isu politik, baik dengan teman maupun keluarga, ada kemungkinan besar Anda pasti pernah mendengar ucapan tersebut kawan bicara Anda. Tidak sedikit kalangan masyarakat yang menganggap kritikan sebagai sesuatu yang negatif, terlebih lagi bila kritik yang diucapkan tersebut dianggap tidak disertai dengan solusi dari permasalahan.

    Secara personal, saya sendiri sudah berkali-kali mengalami hal tersebut. Salah satunya yang belum lama terjadi adalah ketika saya sedang menghadiri acara keluarga beberapa minggu yang lalu. Setelah makan siang, sebagaimana acara keluarga pada umumnya, dilanjutkan dengan kegiatan mengobrol dan berbincang-bincang.

    Singkat cerita, topik pembicaraan lantas membahas mengenai isu-isu politik, terutama pemilihan presiden untuk tahun depan. Salah satu tante saya merupakan pendukung dari presiden yang menjabat saat ini, dan dia mengungkapkan kekesalannya kepada para politisi oposisi, akademisi, serta pengamat politik yang dianggapnya hanya bisa berbicara dan memberi kritik namun tidak bisa melakukan apa-apa.

    “Kritik doang sih ga ada gunanya, buat apa ngomong kalau sendirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Coba kalau mereka yang melakukannya, kira-kira bisa tidak?!” Demikian ujarnya.

    Tidak bisa dipungkiri, mendapatkan kritik dari seseorang yang tidak bisa memberi solusi, atau tidak memiliki kapabilitas untuk menguasai bidang yang kita lakukan memang mengesalkan. Bagaimana tidak, kita yang sudah lelah bercucuran keringat dan menguras energi untuk mengerjakan sesuatu, sementara pada pengkritik hanya cukup menggunakan mulutnya saja untuk memberi komentar tanpa usaha apapun.

    Namun, apakah dengan alasan tersebut, maka kritik terhadap pemerintah yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bisa memberikan solusi merupakan sesuatu yang omong kosong dan sarat dengan kemunafikan?

    *****

    Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita melihat terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kritik. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti dari kritik, yakni “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.” Dengan kata lain, kritik merupakan ekspresi seseorang dalam bentuk pandangan yang didasari oleh pertimbangan tertentu, baik etika, estetika, dan sebagainya, terhadap buah karya orang lain.

    Dalam kehidupan berbegara, di negara demokrasi yang mengakui kedaulatan rakyat, kritik terhadap pemerintah merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Melalui kritiklah, kita bisa menjaga agar pemerintah tidak berbuat sesukanya dan mengkhianati amanat yang sudah diberikan oleh rakyat. Indonesia sendiri merupakan negara yang memberikan kedaulatan kepada rakyat, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

    Lantas, terkait dengan pertanyaan sebelumnya, meskipun kritik terhadap pemerintah merupakan sesuatu yang penting dalam negara demokrasi, haruskah rakyat yang memberi kritik tersebut dapat memberikan solusi dan bukannya hanya bicara saja?

    Inilah mengapa bagi saya sangat penting untuk kita membaca ulang kembali akan pemaknaan terhadap kritik. Sebagaimana yang dijabarkan di dalam KBBI, bahwa kritik merupakan tanggapan yang berisi uraian mengenai baik dan buruk terhadap pendapat atau hasil karya seseorang. Kritik bukanlah sesuatu yang bertujuan untuk mendapatkan solusi, namun sebagai cara untuk mengemukakan dan menunjukkan adanya suatu permasalahan, apapun bentuknya.

    Dalam negara demokrasi dimana rakyat memiliki kedaulatan, otoritas yang dimiliki oleh pemerintah merupakan mandat dari rakyat, dan bukan hadir pada dirinya sendiri. Pemerintah dalam negara demokratis memiliki peran sebagai petugas untuk menangani urusan-urusan publik yang tidak dapat diurusi oleh masyarakat perseorangan atau kelompok, dan juga mereka dipilih oleh rakyat melalui pemilu, dan dibayar pula oleh rakyat melalui mekanisme pajak. Oleh karena itulah, sudah menjadi hak mutlak setiap rakyat untuk memberi pandangan kritis atau melakukan protes apabila pemerintah melakukan hal yang dianggap telah bertentangan dari amanat yang diberikan.

    Ilustrasi sederhana mengenai hal tersebut adalah, banyangkan Anda membawa mobil Anda yang rusak ke bengkel. Setelah menunggu beberapa hari bengkel tersebut menghubungi Anda dan menyatakan bahwa mobil Anda sudah selesai diperbaiki dan Anda membawa mobil tersebut ke rumah. Namun, keesokan harinya ternyata mobil Anda kembali rusak. Anda pun menghampiri bengkel tersebut untuk menyatakan protes.

    Namun, bukannya meminta maaf kepada Anda, montir yang membetulkan mobil Anda tersebut justru menantang balik Anda dengan bertanya apakah Anda sendiri memiliki solusi atas permasalahan mesin mobil yang Anda miliki, Ia juga menyatakan bahwa Anda tidak usah melakukan protes apabila Anda tidak bisa menemukan solusi. Tidak hanya montir, para pelanggan lain yang melihat aksi protes Anda di bengkel tersebut juga ikut meluapkan kekesalan mereka terhadap Anda, dan menyatakan Anda sebagai seorang munafik karena hanya bisa memberi kritik dan berbicara saja tanpa memberikan jalan keluar.

    Ilustrasi di atas kemungkinan besar akan terdengar absurd, karena memang demikian adanya. Bagaiamana mungkin, seorang montir yang sudah dibayar oleh pemilik kendaraan untuk membenahi mobilnya, lantas memarahi pelanggannya yang kecewa karena montir tersebut tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan baik, dan bahkan meminta pelanggannya tersebut untuk ikut turut mencari solusinya? Bila pemilik mobil tersebut memiliki solusi atas permasalahannya, lantas untuk apa ia menggunakan jasa montir tersebut?

    Hal demikian juga berlaku dalam konteks bernegara di negara yang demokratis seperti Indonesia, dimana pemerintah merupakan petugas yang mendapat mandat dari rakyat untuk mengurusi urusan-urusan publik, dan serta dibiayai oleh masyarakat. Alangkah sangat tidak masuk akal apabila, sebagaimana pemilik kendaraan yang merupakan pelanggan dari ilustrasi di atas, rakyat sebagai pihak yang memberikan amanat serta dana kepada pemerintah lantas juga harus memberikan solusi apabila mengemukakan kritik atau protes.

    Memberikan solusi harusnya merupakan tugas pemerintah sebagai pihak yang sudah diberi amanat, dan bukan tugas masyarakat. Bila rakyat bisa menemukan solusi atas berbagai persoalan yang mereka alami, lantas apa gunanya mereka memberikan mandat dan memberi dana kepada pemerintah? Lebih baik pemerintah dibubarkan saja karena sudah tidak lagi memiliki fungsi.

    Namun, bukan berarti lantas saya menyepakati seluruh kritik yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pemerintah, atau menyetujui semua cara bagaimana kritik tersebut diberikan. Sebagai seorang libertarian, saya sangat menentang peran negara yang sangat besar dan menjunjung tinggi kebebasan pasar dan individu.

    Di Nusantara, pandangan demikian tentu saja merupakan hal yang sangat jarang dan sulit untuk dapat diterima, mengingat masih kuatnya semangat religiusitas serta kolektivisme di dalam masyarakat kita. Namun, tidak menyetujui suatu kritik dari kelompok atau individu tertentu kepada pemerintah dan menyatakan bahwa setiap pihak yang memberi kritik harus memiliki solusi atas permasalahan yang ada merupakan dua hal yang sangat berbeda. Di dalam negara yang menyatakan rakyat sebagai pihak yang memiliki kedaulatan, kita semua memiliki hak yang setara untuk mengekspresikan sikap kritis serta mengajukan protes terhadap pemerintah, bak saya menyetujui konten dari kritik tersebut atau tidak.

    Selain itu, juga dari sudut pandang libertarianisme, kita hidup di negara yang sangat jauh dari mempratikkan akan nilai-nilai kebebasan dan peran pemerintah yang terbatas. Contoh sederhananya, dalam bidang pendidikan misalnya, pemerintah memiliki peran yang sangat dominan, dan hal tersebut ditandai dengan besarnya porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pendidikan sebanyak 20%.

    Secara ideal, dalam kacamata libertarianisme, sudah sepatutnya pendidikan diserahkan kepada masing-masing individu dan negara tidak ikut mencampuri urusan tersebut. Namun, seorang libertarian pun harus bersikap realistis, dan harus memiliki opsi terbaik di antara pilihan-pilihan yang buruk yang tentunya sangat tidak ideal. Disinilah bagi saya sikap kritis terhadap pemerintah, salah satunya dalam aspek pengelolaan bidang pendidikan. merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Memastikan institusi pendidikan dapat berjalan dengan baik melalui dana dan kontrol pemerintah merupakan opsi yang paling realistis untuk dilakukan.

    Bila pemerintah enggan melepas tangan dari mencampuri urusan pendidikan dan pada saat yang sama pemerintah juga melakukan pengelolaan dan pendanaan secara buruk, maka tentu rakyat Indonesia, khususnya para pelajar dan mahasiswa secara umum, yang akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain itu, jangan dilupakan bahwa pendanaan bidang pendidikan oleh pemerintah melalui APBN juga didapatkan dengan cara paksa dari rakyat negeri ini melalui mekanisme perpajakan.

    Setelah itu, biarlah pemerintah yang mencari solusi atas permasalahan dan kritik yang dikemukakan oleh rakyat, karena, sekali lagi, kritik bertujuan untuk memaparkan masalah, dan bukan mendapatkan solusi.