Kritik Bung Karno Terhadap “Islam Sontoloyo”

    751

    “Tetapi apa yang kita “catut” dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flonenya, tetapi abunya, debunya asbesnya..”

    Kasus pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimah syahadat membuat geger masyarakat kita, khususnya media sosial. Mereka marah karena bendera bertuliskan tauhid itu dibakar dan dinistakan. Kasus pembakaran bendera tersebut dilakukan oleh Banser. Dikutip dari Detik.com (24/10), Pemimpin umum GP Anshor, Yaqut Cholil Qoumas atau yang biasa disebut Gus Yaqut menyatakan bahwa yang mereka bakar bukan bendera Islam tetapi bendera HTI.

    Alasan mereka membakar bendera tersebut, karena HTI adalah ormas terlarang. HTI memang dikenal sebagai ormas yang bersifat ekstrim sebab tujuan utama mereka adalah mengganti sistem bernegara Indonesia menjadi negara Khilafah atau negara Islam secara total menurut perspektif mereka. Atas alasan inilah tindakan Banser merampas dan membakar bendera HTI dinilai sebagai bentuk antisipasi perkembangan organisasi terlarang ini.

    Jika kita membahas masalah kebebasan beragama dalam sistem demokrasi yang sedang terus tumbuh di Indonesia ini, perbuatan Banser yang merebut dan membakar bendera tersebut adalah salah satu bentuk pelanggaran dari kebebasan beragama dan berkumpul, sebab demokrasi mengizinkan organisasi macam apapun untuk hidup. Di sisi lain, tindakan Banser juga tidak murni salah, sebab apa yang dilakukan Banser adalah untuk menjaga NKRI dari anasir-anasir yang merusak keutuhan dan kebhinnekaan.

    Pembakaran bendera yang ditunjukan oleh Banser dan didukung oleh sebagian umat Islam adalah bentuk rasa kebencian dan penolakan umat Islam Indonesia kepada paham intoleran dan ekstrim. HTI sendiri dalam dakwahnya selalu keras dalam menyerukan berdirinya syariat Islam dan mengkritik sistem demokrasi (walau seyogyanya ormas mereka dapat menikmati aktivitas karena dijamin oleh sistem demokrasi).

    Namun, tindakan perampasan dan pembakaran tersebut juga kurang tepat dan tidak bijaksana. Seharusnya Banser bisa menahan diri dan melakukan aksi yang lebih menarik simpati masyarakat dan menghindari kontroversi. Melawan paham yang terlarang bukan berarti membuat kita merasa wajar bertidak keras terhadap mereka. Dialog dan juga mempertinggi jiwa nasionalisme lebih tepat dibandingkan melakukan aksi sepihak yang jusru membuat image Islam tercemar.

    Tindakan Banser memang tidak terjadi secara spontan. Aksi penolakan wahabisme dan juga HTI merupakan counter balik dari Muslim NU kepada Islam garis keras yang menebarkan kebencian dan isu sektarian yang justru berakibat pada terpecah belahnya persatuan bangsa.

    Islam BUKAN Islam Sontoloyo…

    Fenomena kekerasan dalam beragama dan semangat fanatisme mulai mencuat kembali belakangan ini, rasa fanatisme yang berlebihan, aksi terorisme, dan tindakan lainnya yang merugikan justru dibungkus oleh agama. Malah belakangan ini semangat fanatisme beragama justru malah melenceng ke sikap rasis, yaitu anti produk dan orang asing (dan aseng) yang tidak ada hubungannya dengan masalah keagamaan.

    Yang membuat kita terenyuh adalah survei oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), UIN Jakarta, yang menemukan bahwa mayoritas guru beragama Islam di Indonesia memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. Hasil survei tersebut menemukan bahwa mayoritas guru beragama Islam memiliki rasa intoleransi yang tinggi terhadap nonmuslim, khususnya dalam bidang politik.

    Rasa cinta terhadap Islam adalah hal yang wajar, bahkan wajar bagi seorang Muslim. Namun, jika hal ini mendorong pada tindakan kekerasan hingga berujung ke kekerasan fisik dan intoleran, tentu perbuatan ini sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Islam bukan sekedar sorban, tasbih, dan ritual, Islam juga akhlak, Islam juga kedamaian bagi umat manusia.

    Banyak orang merasa dirinya paling Islami dan menghardik orang lain yang tidak salih. Ukuran lahiriah seperti berjenggot dan bergamis seolah menjadi tolak ukur kesalihan. Pola pemikiran semacam inilah yang dikritik oleh Sukarno, Sukarno atau yang sering disapa sebagai Bung Karno, sangat gusar ketika Islam yang merupakan agama progresif dan manusiawi berubah menjadi agama yang kaku dan dipahami sebatas ritualistik saja. Bung Karno menyebut kelompok Muslim seperti ini sebagai ISLAM SONTOLOYO.

    “Islam Sontoloyo” adalah salah satu artikel yang ditulis oleh Bung Karno. Tentu jika membaca kepala artikel akan memanaskan hati bahkan dikira tulisan Bung Karno dalam majalah Panji Islam tahun 1940 ini sebagai bagian dari penistaan. Untungnya para ulama zaman dahulu hatinya penuh keluhuran dan ketenangan, kritikan Bung Karno bukan saja diterima, tetapi dianggap sebagai salah satu manifesto pembaruan keagamaan Islam di Indonesia.

    Bung Karno mendefinisikan bahwa Islam Sontoloyo itu adalah orang yang terlalu dogmatis atau literal memahami teks-teks agama, antipati terhadap pembaharuan dan modernitas, sering mengkafir-kafirkan, dan juga memandang Islam hanya sebatas ajaran ritual, bukan suatu world view yang universal, terbuka, dan sesuai dengan kemodernan dan kemanusiaan.

     

    Dalam tulisannya, Bung Karno mengkritik seorang guru ngaji yang mencabuli muridnya dengan dalih untuk menghapus dosa si murid. Sebelum si guru menghapus dosa murid perempuannya, si guru menikah dengan si murid agar menjadi mahram, setelah dosanya “diampuni” perempuan itu langsung diceraikan oleh guru tersebut. Berita ini tersiar hingga masuk surat kabar Pemandangan edisi 8 April 1940, dan menjadi heboh.

     

    Bung Karno mengutuk tindakan abmoral tersebut sebagai tindakan pelecehan terhadap syariat Islam. Tindakan si guru ngaji tersebut sama saja dengan berzina walau dikatakan sudah menikahinya terlebih dulu. Tindakan seperti ini sama saja dengan “mengakali” syariah. “Benar, ini syah, ini halal, tapi halalnya Islam Sontoloyo! Halalnya orang yang mau main kikebu dengan Tuhan, atau main kucing-kucingan dengan Tuhan”

    Orang mengira karena dirinya seorang mujahid sehingga berhak membakar atau menyerang tempat ibadah orang lain. Orang mengira karena dia berpuasa sehingga berhak menutup paksa rumah makan yang buka disiang hari. Orang mengira karena dirinya paling Islam sehingga merasa berhak menyesatkan dan mendeskreditkan kelompok lain. Tindakan seperti ini adalah tindakan “Sontoloyo” dalam pandangan Bung Karno, yaitu merasa jika dia Islam dan menjalani Islam, maka semua perbuatannya jadi halal dan boleh walaupun bertentangan dengan akhlak dan etika.

    Coba kita kembali mengingat peristiwa pembakaran seorang tukang servis yang dituduh mencuri amplifier di suatu mushala, padahal itu miliknya yang hendak ia perbaiki. Tindakan gegabah yang mengorbankan satu nyawa manusia adalah bukti bahwa motivasi keagamaan saja tidak cukup jika  kita mempraktikan ajaran agama dengan kebuasan dan mengenyampingkan akhlak dan kemanusiaan.

    Selain itu, kita juga masih ingat provokasi pelarangan menyalati jenazah seorang muslim hanya karena beda pilihan politik.  Tentu jika kita menggunakan hati nurani, maka yakinlah bahwa tindakan itu adalah tindak benar dan menyalahi dien Islam.

    Islam sangat menghargai perbedaan, Islam sangat toleran dan menjunjung tinggi kemanusiaan sebagaimana yang Quran gambarkan “WAMA ARSALNAKA ILLA RAHMATAN LIL’ALAMIN “ (Dan tiadalah Kami (Allah) mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam) (QS. Al-anbiya’ :lO7). Rahmat disini berarti kasih sayang, dengan demikian ajaran Islam pada dasarnya adalah ajaran cinta kasih, bukan marah-marah atau emosi.

    Islam yang sejati adalah kearifan sedang Islam sontoloyo adalah kebencian, Bung Karno menjelaskan bahwa sifat dari kejumudan (atau penyimpangan) dalam beragama adalah ujaran kebencian.

    “Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi  kafir; tulisan Latin  kafir; yang bergaul dengan bangsa yang bukan bangsa Islam pun kafir!” …… Astagfirullah inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini?

    Sindiran Bung Karno terhadap sikap Sontoloyo kaum Muslim dalam beragama bukanlah bertujuan untuk mencaci-maki atau bahasa yang populer sekarang: menista Islam! kritikan Bung Karno semata-mata mengajak agar umat Islam Indonesia sadar dan insyaf bahwa Islam adalah agama kemajuan, agama manusiawi yang mengangkat manusia dari kondisi kebiadaban menjadi beradab. “Islam tidak begitu biadab Oorlogsethiek-nya. Islam tidak kejam, malahan mengoreksi oorlogsethiek yang kejam. Oorlogethiek Islam berisi budi yang halus. ”

    Islam diturunkan oleh Allah melalui Muhammad SAAW bukan untuk suatu ambisi politik, bukan ingin mendirikan sistem khilafah atau mengutuki orang-orang kafir, Islam lahir dengan cinta dan akhlak. Muhammad menebar Islam bukan dengan makian atau paksaan, tetapi dengan kelapangan hati dan keluhuran.

    Ketika umat Islam berhasil menguasai kota Mekkah dan musuh-musuh Islam semua ketakutan karena merasa nyawanya terancam, Muhammad dengan suara lantang berteriak “al-yaum yaum al-marhamah”(hari ini adalah hari kasih sayang). Yang artinya, Beliau tidak akan menumpahkan darah dan mengampuni setiap musuhnya, bahkan tidak memaksa mereka untuk memeluk Islam kecuali mereka rela dengan sendirinya.

    Saat ini mungkin kita harus sadar dan mewaspadai lahirnya sikap “Islam Sontoloyo” yang digambarkan oleh Bung Karno. Sikap kebencian, intoleransi, dan terorisme adalah wujud dari sikap sontoloyo yang menyimpang dari ajaran agama. Islam itu luwes, Islam itu dinamis, Islam itu demokratis.

    Bung Karno mengajak kita agar menjadikan Islam menjadi nilai hidup dan pedoman untuk menjadi bagian dari masyarakat dunia, bukan sibuk mendirikan negara khilafah atau sibuk menebar kebencian yang merupakan watak dari Islam Sontoloyo tersebut.

     “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”( QS Al Mumthahanah : 7).