
Kampus merupakan peradaban intelektual di mana kecerdasan tumbuh dengan subur. Manusia-manusia pemikir banyak lahir dari tempat ini. Mulai dari intelektual yang berbasis keilmuan alam, hingga mereka yang bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Hal itu bukan terjadi tanpa alasan. Kampus memberikan iklim yang subur bagi para penghuninya untuk mengembangkan diri melalui pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi.
Percepatan dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan informasi membuat kampus menjadi tempat yang begitu bebas. Berbagai paham tumbuh di kampus, dalam satu lingkar diskusi yang sama. Yang luar biasa adalah tidak ada perkelahian ataupun pembunuhan yang terjadi akibat perbedaan pandangan tersebut. Orang-orang dengan agama yang berbeda dapat bertukar pikiran dengan damai. Orang-orang yang dicap kiri ataupun kanan dapat duduk bersama tanpa ada bingkai perpecahan. Inilah yang luar biasa dari tempat yang disebut sebagai kampus.
Kebebasan untuk berbicara yang didapatkan di kampus sangat sulit untuk didapatkan di rumah ibadah, meskipun keduanya memiliki kesamaan yakni sebagai tempat pengetahuan disebarluaskan. Kebebasan di kampus memungkinkan kita mengucapkan argumen kontra, yang mana jika diucapkan di rumah ibadah akan lebih dahulu dicap kafir ataupun telah menyimpang dari ajaran. Inilah keistimewaan kampus. Hal itu mungkin diperoleh karena kampus dipandang sebagai tempat ilmu pengetahuan berkembang melalui mekanisme trial and error sehingga memungkinkan setiap penghuninya untuk berdialektika dengan bebas.
Tidak ada ruang sebebas kampus. Hal itu merupakan ungkapan yang terdengar agak berlebihan, namun begitulah adanya. Di tempat bernama kampus, kita memperoleh kebebasan berbicara, mengungkapkan pikiran tanpa harus takut nyawa terancam. Setidaknya seperti itulah idealnya kampus, tempat tumbuhnya ilmu pengetahuan.
Kampus sejatinya adalah sekolah yang diberi nama perguruan tinggi. Seperti asal kata sekolah yakni ibu asuh dalam buku karya Roem Topatimasang, yang kini disebut sebagai almamater yang berarti ibu yang memberikan ilmu (Topatimasang, 2010). Kampus seharusnya mendidik setiap mahasiswanya untuk menjadi manusia seutuhnya, yakni manusia yang mampu menggunakan akal pikirannya dengan mandiri. Kampus juga merupakan ruang akademis, tempat dengan jaminan kebebasan tanpa intervensi apapun. Kebebasan di kampus adalah kebebasan akademis. Kebebasan akademis merupakan tiang penyangga kehidupan perguruan tinggi. Kebebasan akademik, sebagaimana disebutkan oleh UNESCO, adalah kebebasan dalam mengajar dan berdiskusi, serta kebebasan dalam meneliti, menyebarluaskan, dan menerbitkan hasil riset (MAHKAMAH, 2020).
Namun, yang terjadi hari ini adalah ruang akademis bernama kampus tidak menjunjung kebebasan mahasiswanya. Hal ini sejalan dengan penilaian Kaukus untuk Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) yang pada tahun 2019 menilai Indonesia belum sepenuhnya melindungi kebebasan akademik di kampus (MAHKAMAH, 2020). Hal tersebut terbukti dengan terlalu besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh tenaga pendidik terhadap mahasiswa. Kekuasaan dosen terhadap mahasiswa terletak pada pemberian nilai yang nantinya akan menentukan lulus tidaknya seorang mahasiswa. Hal ini tentu saja berdampak buruk bagi pertumbuhan pikiran. Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa menuntut ilmu di perguruan tinggi selain untuk belajar juga untuk mendapatkan gelar sarjana. Tujuan ini terancam untuk tidak tercapai apabila mahasiswa memiliki hubungan buruk dengan dosennya.
Dalam berbagai peristiwa dapat dilihat dengan jelas relasi kuasa yang terjadi antara mahasiswa dan dosen, di mana dosen berada pada posisi yang dominan membuat kebiasaan yang tidak mencerminkan intelektualitas. Saya menyebutnya dengan sebutan budaya feodal. Budaya feodal di sini bukan berarti memberikan kekuasaan pada golongan bangsawan. Yang saya maksud sebagai budaya feodalisme adalah memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada dosen karena jabatannya. Akibat dari kekuasaan dosen yang begitu besar membuat iklim pertumbuhan intelektual yang seharusnya subur menjadi berpenyakit. Sejalan dengan pandangan Ahmad dalam artikel yang diterbitkan oleh Balairung Press, yakni kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas, justru dicederai oleh pihak internal kampus itu sendiri (Nugroho, 2021).
Belum lagi persoalan sopan santun. Adanya budaya feodalisme di ruang akademis menjadikan sopan santun bukan lagi sebagai hal yang murni, namun merupakan usaha untuk mendapatkan nilai bagus dan upaya cari-cari muka di depan dosen. Sederhananya, ingin terlihat baik di depan dosen. Bersopan santun dianggap sebagai jalan menunjukkan kepatuhan pada dosen yang mana hal ini memang menjadi makanan bagi feodalisme untuk tumbuh besar. Saya tidak mengatakan bahwa sopan santun itu buruk, namun jika sopan santun dilakukan dengan motif mendapatkan nilai bagus, hal ini mencederai makna sopan santun itu sendiri. Selain itu, sopan santun juga mengakibatkan nalar kritis tidak bertumbuh. Dan ini merupakan kondisi yang sangat buruk.
Lebih jauh, budaya feodalisme di kampus mengakibatkan terjadinya krisis kebebasan. Krisis kebebasan yang saya maksud ini adalah kebebasan untuk mengutarakan pikiran. Dengan feodalisme, seorang mahasiswa akan cenderung untuk mengiyakan pandangan dosennya. Karena jika memunculkan pandangan kontra dapat dipandang sebagai bentuk pembangkangan. Akibatnya, terjadi dominasi kebenaran dalam ruang akademis yang seharusnya hal tersebut tidak terjadi. Saya melihat hal ini sebagai bentuk krisis kebebasan di ruang akademis yang berakibat pada tidak dihargainya hak-hak individu (mahasiswa), dan hal ini diakibatkan oleh sistem yang ada.
Melihat adanya realitas tersebut, saya berpendapat bahwa sangat penting bagi setiap mahasiswa untuk memiliki pemahaman terkait kebebasan, terutama paham mengenai libertarianisme. Libertarianisme adalah paham yang menjunjung tinggi hak individu (Rady, 2019). Hal ini dikarenakan libertarianisme memandang bahwa realitas sesungguhnya adalah individu, bukan masyarakat. Sehingga sangat penting untuk menghargai hak-hak individu. Dengan menghargai dan menjunjung tinggi hak-hak individu, akan memunculkan iklim kompetitif di ruang akademis agar mampu untuk menumbuhkan budaya intelektual dan membunuh budaya feodal. Akibatnya, mahasiswa dapat kembali memiliki kebebasan berbicaranya yang telah direnggut oleh budaya feodalisme yang ada, tanpa ada lagi rasa takut tidak lulus kuliah karena kritis di ruang akademis.
*****
Referensi
MAHKAMAH. (2020, 6 9). “Kebebasan Akademik: Kebebasan yang Mudah Dicederai”. Dari MAHKAMAH NEWS: https://mahkamahnews.org/2020/06/09/kebebasan-akademik-kebebasan-yang-mudah-dicederai/
Nugroho, A. B. (2021, 2 1). “Krisis Kebebasan Akademik dalam Feodalisme Kampus”. Dari balairungpress.com: https://www.balairungpress.com/2021/02/krisis-kebebasan-akademik-dalam-feodalisme-kampus/
Rady, D. (2019). Libertarianisme: Perspektif Kebebasan atas Kekuasaan dan Kesejahteraan. Jakarta: Suara Kebebasan.
Topatimasang, R. (2010). Sekolah Itu Candu. Yogyakarta: INSISTPRESS.

Amar Maruf, seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin yang mengambil studi Ilmu Administrasi Publik. Saat ini, sedang tertarik dengan gagasan-gagasan mengenai libertarianisme. Senang berdiskusi dan beraksi.