Keadaban publik negeri ini kembali terkoyak. Kali ini, korban merenggut tubuh dan jiwa YY seorang siswi Sekolah Menengah Pertama di desa Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu. Pelaku tindakan kriminal yang keji itu membuat nalar kita kehilangan relevansinya , 14 laki-laki dengan usia di bawah 20 tahun dengan 5 orang diantaranya masih berstatus pelajar. Kejadian terkutuk itu terjadi pada 2 April. Jasad YY ditemukan dalam keadaan mengenaskan di jurang pada 4 April. Lebih dari sebulan yang lalu, hampir tanpa liputan media massa serta publik.
Untuk itulah #NyalaUntukYY , gerakan publik di sosial manusia perlu kita translasikan ke dalam kebijakan publik, agar kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak kembali berulang. Sejatinya kasus pembunuhan anak berinisial A di Bali hampir setahun lalu (Juni 2015) telah memicu kesadaran publik bahwa kekerasan struktural terhadap perempuan menjadi fenomena puncak gunung es (tip of the iceberg). Apa yang muncul ke permukaan masih belum tuntas. Sayangnya, begitu sorotan publik dan media kendur tidak ada tindakan apapun dari pihak yang berwenang.
Misalnya inisiatif masyarakat sipil melalui RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum tercantum dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2016. Prolegnas juga terkadang tidak bermakna apapun di tengah kinerja legislasi yang minimalis, sementara pemerintah juga kadang tidak tertarik untuk merubah UU yang sudah ada, walaupun sudah ketinggalan zaman (outdate).
Berkaca pada data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai bulan April 2016 tercatat 298 kasus anak harus berhadapan dengan hukum, dimana 24 kasus sebagai anak pelaku kekerasan. Selain data KPAI, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan tahun 2013-2015 telah terjadi tren kenaikan terhadap perempuan. Terakhir, untuk melengkapi temuan KPAI dan Komnas Perempuan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat DI Yogyakarta – kota yang dikenal sebagai kota pelajar dan budaya adiluhung- terjadi peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap anak dari tahun 2014-2015.
Kembali ke kasus YY, perangkat hukum guna menyelesaikan kasus pidana anak telah ada lewat Undang-Undang 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Amanat UU ini menyebutkan pengadilan pidana bagi anak-anak diselesaikan sesegera mungkin. Yang jadi persoalan di sini bagaimana menghadirkan paradigma hukum agar mendukung pengakuan hak-hak perempuan.
Kongkritnya keberpihakan kepada korban, karena keberpihakan memerlukan penegak hukum yang menangani korban kekerasan seksual yang merupakan penyelidik dan hukum khusus, dari dominasi laki-laki menjadi partisipasi perempuan. Walaupun RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan segalanya, RUU ini dapat menjadi pintu masuk untuk menghapus segala bentuk kekerasan seksual.
Di samping terobosan legislasi oleh Pemerintah Pusat dan DPR, kasus YY dan kasus lainnya yang serupa juga memerlukan solusi jangka pendek maupun solusi jangka panjang. Solusi yang ditempuh selayaknya melibatkan seluruh pihak, mulai dari keluarga (orang tua), sekolah, pemerintah daerah, legislatif daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah maupun Dewan Perwakilan Daerah) serta legislatif pusat (DPR), dan Pemerintah Pusat.
Pejabat publik tidak boleh lepas tangan terhadap fenomena kekerasan anak dan perempuan dengan alasan apapun. Usaha memajang foto pelaku kejahatan memang belum pernah dilakukan, namun percobaannya juga perlu persiapan. Sementara itu, tindakan mengebiri kelamin pelaku kejahatan, kami anggap terlalu berlebihan dan tidak proporsional. Begitu pula, usaha melakukan pelarangan minuman berakohol tidak berhubungan akar masalah dan kompleksitas problematika kekerasan perempuan dan anak yang sedang kita hadapi.
Walaupun tindakan kriminal yang menimpa YY tidak bisa dimaafkan dan patut dihukum sesuai aturan yang berlaku, namun mengebiri kelamin para pelaku yang masih berusia anak-anak, tidak serta-merta menciptakan insentif agar tidak ada lagi perilaku pemerkosaan di masa mendatang. Pihak yang berwenang perlu menciptakan disinsentif bagi korban dan pelaku kejahatan. Selain itu, perlu ada insentif yang tepat bagi penegak hukum maupun masyarakat umum agar kekerasan anak dan perempuan dapat dihapuskan dari bumi pertiwi.
Dalam jangka panjang, keterlibatan orang tua, guru, dan manajemen sekolah dalam pendidikan seksualitas yang benar dan tepat di sekolah menjadi kebutuhan di tengah terpaan sosial media dan kecanggihan teknologi informasi. Indonesia perlu memetik manfaat kecepatan perkembangan teknologi informasi bagi kemajuan peradaban manusia Indonesia.

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Iksan, juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelum bergabung dengan Paramadina sejak 2012, Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.