Konstruksi Kebebasan Berekspresi dan Keselarasan Industri Kreatif dalam Perfilman Indonesia

    395
    Sumber gambar: https://www.si.edu/newsdesk/releases/do-movies-make-good-history-teachers

    Belakangan ini, selain berita konfirmasi mengenai konser Justin Bieber yang akan diadakan di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK) pada penghujung tahun, ada juga fenomena populer lainnya di mana linimasa media sosial saat ini sedang ramai membahas film terbaru dari Jefri Nichol yang berjudul “Jakarta vs Everybody”. Film ini dikatakan berhasil dalam menggambarkan lika-liku seorang pemuda yang menghadapi kehidupan pahit di Jakarta.

    Namun, Jefri Nichol, sang aktor utama dalam film ini, baru-baru ini tampak melontarkan kemarahannya lantaran melihat link ilegal film “Jakarta vs Everybody” ini. Menurutnya, tren pembajakan film ilegal ini yang menjadi penghambat industri film Indonesia untuk maju karena hak cipta yang diselewenengkan dan pemberantasannya yang juga belum jelas.

    Peristiwa di atas bukan satu-satunya contoh aktual permasalahan industri perfilman di Indonesia masa kini. Isu-isu terkait dengan kebebasan berekspresi, sensor, pemboikotan film, dan banyak lainnya memberikan tantang tersendiri terhadap industri perfilman di Indonesia. Sebut saja kasus sensor di tayangan Putri Indonesia tahun 2016, tokoh Shizuka di animasi Doraemon, dan Sandy si Tupai di Spongebob Squarepants yang mengherankan publik saat itu (mediaindonesia.com/27/11/2016). Belum lagi isu pemboikotan film karena mengangkat topik tabu seperti film “Kucumbu Tubuh Indahku” atau pelarangan pemutaran film-film bertema PKI pada tanggal 30 September.

    Jelang Hari Film Nasional Indonesia pada 30 Maret 2022, tentu pokok permasalahan dan jaminan kebebasan berekspresi dalam industri film Indonesia kembali disorot. Melihat ke belakang, film Indonesia sudah dirilis sejak zaman penjajahan Belanda. Namun, proses pembuatan filmnya belum sepenuhnya dipegang kendali oleh masyarakat Indonesia. Titik terang perfilman Indonesia mulai terlihat saat tahun 1950, saat sutradara Indonesia Usmar Ismail berhasil memproduksi film berjudul “Darah dan Doa” atau “The Long March of Siliwangi” melalui perusahaan film miliknya sendiri, Perfini. Hari pertama pengambilan gambar dari film ini adalah pada 30 Maret 1950. Itulah kenapa Hari Perfilman Nasional ditetapkan oleh Dewan Film Nasional di tanggal tersebut (rri.co.id/30/03/2021).

    Kebebasan Berekspresi dalam Industri Perfilman

    Media di Indonesia berkembang menjadi sarana demokrasi yang menyentuh setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Eksistensi media diwujudkan dengan perannya yang selalu menyertai perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Film, sebagai salah satu contoh sarana media, juga tak terkecuali. Film-film yang ada sudah sangat beragam, masing-masing genre membawakan pesan dan interpretasi yang berbeda-beda sesuai dengan nilai yang ingin dibawakan sang sutradara. Ini merupakan salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang disalurkan melalui sarana perfilman, di mana penulis naskah, sutradara, kru, beserta aktor-aktrisnya bebas menyampaikan makna filmnya dengan cara tersendiri.

    Namun, barangkali masih ada yang mengecam beberapa tema film yang dianggap ‘melenceng’ dari budaya dan tidak normal. Pemerintah Indonesia menganggap hal-hal ‘tabu’ seperti membicarakan Pendidikan tentang seks, LGBT, dan topik-topik lainnya yang masih sangat jarang dibahas di dunia perfilman Indonesia akan mengarahkan masyarakat ke arah degradasi moral. Padahal, jika terus-terusan dilarang, masyarakat tidak akan mengenal haknya, platform edukasi juga akan menjadi terbatas, termasuk keberadaan informasi dan data tentang beragam pilihan yang dapat diambil. Ketidaktahuan memengaruhi pilihan juga pada akhirnya dapat memengaruhi kebebasan. Masyarakat yang tidak diberi pilihan tidak dapat menggunakan kebebasannya secara penuh. Ketidaktahuan merestriksi kebebasan.

    Selain berpengaruh pada pengetahuan dan stigma moral masyarakat, dikekangnya industri film seperti ini juga memengaruhi jalannya pasar film dan memberi celah monopoli secara tak langsung. Over-regulation selalu akan menghasilkan government failure. Jika pemerintah sudah menyebut kontrol, baik kontrol harga atau rente, pasti terjadi kegagalan kebijakan akibat intervensi pemerintah yang berlebihan telah mendistorsi pasar. Hal ini pulalah yang menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien dan menurunkan ualitas kesejahteraan.

    Terkait fenomena sensor, yang kerap kali terjadi di dunia pertelevisian juga tidak jelas batasan pemberiannya, hal ini juga perlu diperhatikan dampaknya terhadap kondisi psikologis konsumen media (komnasham.go.id/19/11/2020). Dalam beberapa tahun terakhir, banyak patung-patung dari candi atau arca yang kemudian disensor blur. Selain itu, film kartun yang sebetulnya tidak menunjukkan kevulgaran juga disensor. Apabila penontonnya adalah anak kecil dan kemudian ketika menonton tidak didampingi orangtua, kira-kira rasa penasaran apa yang kemudian bisa terjadi pada mereka ketika melihat sebuah patung arca yang di blur di dalam suatu siaran televisi. Tayangan eksposur terhadap informasi selalu perlu untuk diawasi oleh orang tua, bukan semata-mata dibatasi. Ini perlu diperhatikan kedepannya agar tidak membabi buta dalam melakukan pemblokiran atau pemangkasan dalam siaran televisi.

    Perlindungan Terhadap Hak Cipta Karya Seni

    Di sisi lain, kemajuan teknologi juga berdampak pada maraknya pembajakan film yang dilakukan secara ilegal. Pembajakan merupakan salah satu tidakan yang bisa dikatakan sebagai pencurian di mana orang akan menggunakan barang atau suatu produk digital yang seharusnya membeli lisensi barang tersebut. Banyak yang menggunakan barang digital secara ilegal atau hasil pembajakan. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan langgengnya budaya pembajakan film ini antara lain faktor ekonomi yang menurut pembajak sangat menguntungkan bagi penjual serta bagi penonton. Kemudian, faktor sosial dan budaya di mana masyarakat sendiri pun masih senang membeli CD bajakan yang terjual di pasaran. Terakhir, faktor pendidikan yang meliputi kurangnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat adanya aturan hukum yang mengatur hak cipta atas karya seseorang, serta aspek-aspek hukum terutama penegakan hukum terhadap pembajakan terhadap sinematografi (Dewi, et al., 2018).

    Terdapat beberapa masalah dalam penegakan hukum Hak Cipta di Indonesia. Misalnya, pemerintah Indonesia belum menunjukkan kemauan yang kuat untuk menegakkan perlindungan hak cipta yang ada di Indonesia. Kemudian, pengetahuan masyarakat masih sangat kurang tentang hak cipta termasuk hukum yang mengaturnya. Karena pengetahuan tentang hak cipta ini masih sangat kurang, pada umumnya masyarakat tidak menyadari arti pentingnya perlindungan hak cipta dan kurangnya kesadaran tentang arti pentingnya perlindungan hak cipta. Hal ini menyebabkan masyarakat melakukan pelanggaran terhadap hak cipta.

    Keselarasan Industri Kreatif dalam Industri Perfilman

    Film sebagai media komunikasi massa hingga kini masih bertahan di tengah perkembangan new media yang kian marak dalam berbagai aspek. Film dipandang dalam berbagai perspektif yang berbeda baik sebagai seni, media edukasi, dan industri media massa. Dalam konteks industri media massa, film merupakan industri budaya yang bergerak dalam logika bisnis yang tidak dapat dilepaskan dari ekonomi media. Ekonomi media akan menggerakkan bisnis film dengan perhitungan profit yang seringkali mengabaikan peran dan posisi film dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam bidang ekonomi media ini, karya seni berupa film masuk ke dalam kategori industri kreatif.

    Ketertarikan terhadap industri kreatif berkembang tidak hanya di antara negara- negara maju, tetapi juga negara-negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Ekonomi kreatif merupakan sebuah konsep yang menempatkan kreativitas dan pengetahuan sebagai aset utama dalam menggerakan ekonomi. Pesan besar yang ditawarkan ekonomi kreatif adalah pemanfaatan cadangan sumber daya yang bukan hanya terbarukan, bahkan tak terbatas, yaitu ide, talenta dan kreativitas. Jumlah negara yang mengaplikasikan industri kreatif secara signifikan menjadi lebih tinggi dan memberikan stabilitas yang lebih besar ke masa depan. Dengan demikian, konsep industri kreatif telah berhasil diintegrasikan ke dalam agenda kebijakan baik negara maju dan berkembang. Pemerintah mulai mengembangkan secara spesifik strategi dan kebijakan untuk mempromosikan mereka. Industri kreatif menjadi salah satu sektor berkembang yang tercepat di dunia. Rata-rata pertumbuhan tahunan industri kreatif di dunia mencapai angka antara 5 dan 20% (Simatupang et al., 2012).

    Melihat pentingnya peran film, baik dalam melestarikan kebebasan berekspresi, melanggengkan karya anak bangsa, dan mendukung sektor ekonomi kreatif, tentu membutuhkan partisipasi pemerintah dan masyarakat dalam hal ini. Dukungan ini dapat dilakukan dengan membangun peraturan pemerintah yang mendukung baik dari proses produksi, distribusi, ekhibisi, dan konsumsi media. Lembaga-lembaga, seperti Badan Ekonomi Kreatif, Badan Perfilman Indonesia, yang telah dibangun perlu disinergikan untuk menghasilkan industri film yang kompetitif dengan memberikan perlindungan pada karya-karya anak bangsa. Dalam proses produksi, pemerintah dapat mendukung keberlanjutan perusahaan produksi film melalui pemberian insentif, proyek bersama, maupun bantuan finansial lainnya.

    Industri film juga tidak berarti mengabaikan aspek kualitas sinema. Maka dari itu, diperlukan juga pembinaan sumber daya manusia dan insan-insan kreatif lainnya agar memiliki kemampuan dan kompetensi kreatif menghasilkan karya seni yang berkualitas sekaligus diminati publik. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuka lokakarya, diskusi bebas, dan memberikan ruang untuk karya-karya independen secara komprehensif.

     

    ****

     

    Referensi

    Artikel

    https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2020/11/19/1619/menyoal-kisah-manusia-dalam-film-indonesia.html. Diakses pada 28 Maret 2022, pukul 17.56 WIB.

    https://mediaindonesia.com/hiburan/79534/dilema-sensor-televisi-di-indonesia.  Diakses pada 28 Maret 2022, pukul 16.53 WIB.

    https://rri.co.id/hiburan/film/1011210/sejarah-hari-film-nasional. Diakses pada 28 Maret 2022, pukul 17.21 WIB.

    Jurnal

    Dewi, KRISYA, Gusti Agung Putri; Purwanto, I Wayan Novy. “Pelaksanaan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta di Bidang Pembajakan Sinematografi (Film/Video)”. Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, [S.l.], v. 5, n. 1, p. 1-19, oct. 2018. ISSN 2303-0569. Diakses pada 29 Maret 2022, pukul 09.10 WIB melalui <https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/view/44436>.

    Simatupang, T. M., Rustiadi, S., & Situmorang, D. B. M. (2012). “Chapter 5 Enhancing the Competitiveness of the Creative Services Sector in Indonesia”, (March), 173–270 dalam “https://www.eria.org/Chapter%205-Indonesia%27s%20%20Report%20on%20Creative%20Services.pdf.”