Konspirasi Ruang Aman Pers

    361

    Dalam kurun waktu belakangan ini, linimasa media sosial sedang diramaikan dengan cover majalah Tempo edisi 16-22 september 2019 yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah panasnya isu revisi UU KPK.  Cover tersebut mencantumkan foto presiden kita, Jokowi, dengan bayangan wajahnya ditambah hidung panjang layaknya karakter kartun pinokio.

    Banyak kalangan yang mempertanyakan maksud Tempo dalam cover tersebut. Ada yang menganggap Tempo menghina tokoh nomor satu di Indonesia dan ada juga yang menganggap itu hanya sebuah kritik pers biasa.

    Banyak pendukung (buzzer) Jokowi yang mengatasnamakan moral etika saat geram melihat cover majalah Tempo. Akibatnya, majalah Tempo dilaporkan oleh relawan Jokowi mania ke dewan pers karena gambar Jokowi dengan bayangan hidung panjang dianggap pelecehan. Ia mendesak dewan pers untuk memanggil penanggungjawab majalah Tempo untuk menjelaskan apa maksud dibalik cover tersebut.

    Apakah pantas bila Tempo dilaporkan hanya karena menyinggung perasaan sekelompok bahkan seorang tertentu?

    ****

    Kebebasan pers di Indonesia sendiri baru lahir setelah masa Orde Baru tahun 1998. Sebelum itu, pers dikukung habis-habisan. Kritik tidak boleh ditunjukkan kepada presiden dan pemerintah. Hal yang sama juga diberlakukan pada masyarakat. Ingat sosok Widji Thukul?

    Beliau merupakan aktivis Orde Baru yang menentang rezim Soeharto saat itu. Dalam mengkritik pemerintah, ia menulis sajak-sajak wajib dalam aksi-aksi massa seperti Peringatan, Sajak Suara, Bunga, dan Tembok. Sajak-sajaknya yang pro demokrasi tersebut diterbitkan dengan nama samaran, Manus Amici, untuk menghindar dari hukuman Orde Baru.

    Karena berbagai perlawanan yang dilakukannya, baik yang tersirat dalam puisi maupun langsung dengan campur tangan demonstrasi massa, Widji Thukul diculik sejak bulan Mei 1998 hingga saat kini belum juga ditemukan.

    Secara konseptual, kebebasan pers akan menghasilkan pemerintah yang cerdas, bijaksana, dan transparan. Karena itu, media dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi, melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

    Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah, sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun masyarakat sendiri.

    Dalam UUD No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, di Pasal 4 tertuang bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, pers nasional tidak dikenakan penyensoran atau pelanggaran penyiaran, pers nasional mempunyai hak dalam memperluas gagasan atau informasi, dan pers diharapkan mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum.

    Kesimpulan dari isi UU tersebut adalah pers berhak memperoleh hak untuk mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.

    Masalah keberpihakan media, coba kita lihat di negara lain seperti Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam tersebut, keberpihakannya terlihat sangat jelas, mana media yang cenderung Demokrat dan Republikan. Selama bukan menyebarkan ftinah atau berita bohong, sebenarnya semua boleh dan sah-sah saja. Setiap media memang seharusnya mempunyai angle masing-masing dalam pembahasan suatu isu. Pro atau kontra pemerintah, semuanya balik lagi pada konsumen.

    Isi pemberitaan pers dianggap merupakan sumber informasi yang dominan sehingga pers dituntut lebih untuk menyajikan pemberitaan yang benar. Untuk yang kali ini, saya setuju. Pers baru dapat disalahkan apabila mengandung konten berita bohong atau fitnahan.

    Intinya, yang pertama pers harus menyajikan dalam pemberitaan yang benar, komprehensif dan cerdas. Pers dituntut untuk selalu akurat dan tidak berbohong. Fakta harus disajikan sebagai fakta dan pendapat harus dikemukakan murni sebagai pendapat.

    Istilah kedua, pers juga turut berperan sebagai forum pertukaran pendapat, komentar, dan kritik. Media diwajibkan untuk membangun relasi interaktif dengan konsumen dalam pengertian media menyodorkan suatu masalah kepada khalayak untuk dibahas bersama. Selain itu, gambaran khas serta stereotip masyarakat yang krtis juga bisa terpapar jelas dalam pers nasional.

    Sejauh apapun dunia kita sudah berubah, dimana ide-ide dan tindakan yang pernah dilakukan oleh leluhur kita pada zaman dahulu sudah tidak sesuai dengan standar moral kita. Dikelilingi opini-opini yang membuat segalanya menjadi “safe and sound”, jangankan kekerasan fisik, di dunia kita sekarang, menyinggung perasaan seseorang dianggap sebuah kriminalitas.

    Dan meskipun kita sudah lelah mendengar mendengar keluhan orang tua soal moral zaman sekarang hanya karena melihat unggahan swafoto remaja menggunakan pakaian minim, dunia kita tidak akan pernah benar-benar berubah.

    Jadi, menurut UU Pers, yang dilakukan Tempo sah-sah saja. Kedua, media boleh berpihak atau dengan kata lain, mengambil sikap. Ketiga, justru media kritis seperti inilah yang dibutuhkan sebagai konsumsi warga. Keempat, kalau anda tersinggung bukan berarti salah Tempo. Kelima, kocak amat lu.