Tahun 1970, muncul gerakan zeitgeist atau New Age. Mereka mempelajari spiritualisme, teosofi, aura, pengobatan alternatif, dan lain sebagainya. Salah satu hasilnya adalah konsep anak Indigo. Konsep ini merupakan salah satu ilmu semu yang didasarkan pada gagasan Zaman Baru pada tahun 1970-an.
Pada tahun 1982, cenayang Nancy Ann Tappe, menerbitkan buku Understanding Your Life Through Color yang menjelaskan bahwa dari tahun 1960-an, ia mulai menyadari bahwa ada banyak anak yang lahir dengan aura “Indigo”. Dalam identifikasinya, Nancy membahas warna nila yang muncul kuat pada hampir 80 persen aura anak-anak yang lahir setelah 1980 (Tappe, NA, 1986).
Warna itu bisa dilihat dengan foto dengan alat generasi baru seperti video aura. Warna nila menempati urutan keenam pada spektrum warna pelangi maupun pada deretan vertikal cakra, dalam bahasa Sanskerta disebut cakra ajna, yang terletak di dahi, di antara dua mata. Penggambaran seperti ini yang kemudian melahirkan konsep mata satu sebagai lambang iblis. Karena saat itu, anak Indigo ditakuti banyak orang karena dianggap berbeda dan dikait-kaitkan keberadaannya dengan dunia gaib.
Anak Indigo adalah anak yang memiliki aura dominan berwarna nila, namun fisiknya sama seperti anak lain. Indigo sendiri juga terkait dengan indra keenam yang terletak pada cakra mata ketiga yang menggambarkan indra keenam dan kekuatan batin yang luar biasa tajam di atas kemampuan orang biasanya.
Keuntungan dan Efek yang Menjelaskan Konsep Anak Indigo
Namun, pergerakan New Age belum menghasilkan satu bukti pun mengenai keberadaan anak Indigo. Sifat-sifat yang dikaitkan dengan anak Indigo itu merupakan efek forer (Barnum Effect), cakupan sifat-sifat yang dikaitkan dengan anak Indigo masih terlalu umum, sehingga semua orang bisa saja berasumsi bahwa dirinya merupakan anak Indigo.
Barnum Effect merupakan suatu fenomena psikologis ketika seseorang merasa akurat terhadap deskripsi beberapa sifat yang seolah ditujukan untuk satu orang. Padahal, deskripsi yang dibaca mungkin saja cocok dengan banyak orang lain. Fenomena yang terkait dengan efek ini adalah validasi subjektif. Validasi subjektif terjadi ketika dua peristiwa yang acak dan tidak terkait dianggap berhubungan agar sesuai dengan keyakinan, harapan atau hipotesis sesorang (Marks, David F. 2000).
Hal ini menjelaskan mengapa banyak orang sangat tertarik dan merasa cocok dengan ramalan bintang, horoskop, astrologi, pembacaan aura, dan beberapa jenis tes kepribadian. Karena kalimat-kalimat yang biasa ditulis di deskripsi-deskripsi tersebut sangat umum dan multitafsir bagi hampir sebagian orang.
Di samping itu, konsep indigo tampak seperti penipu Zaman Baru yang menghasilkan banyak keuntungan. Sejak pertama kali kemunculannya, konsep anak Indigo langsung laku di pasaran orang tua. Kembali lagi, ke dorongan primal manusia, siapa yang bisa menolak keuntungan bila didapatkan hanya dengan mengaku sebagai anak Indigo yang deskripsinya begitu mudah dicocokkan? Siapa yang tidak mau anaknya dilabeli istimewa, meskipun ternyata anaknya punya gangguan perkembangan?
Sedangkan, konsep anak Indigo di Indonesia sendiri dipersempit menjadi anak yang memiliki kemampuan melihat makhluk-makhluk gaib. Konsep ini mengalihkan perhatian orang untuk menyadari gangguan psikologis dalam bentuk justifikasi anak Indigo.
Selain itu, banyak kita jumpai showcase orang tua dan anak yang terang-terangan menampilkan keistimewaan anak yang dapat mengakibatkan gangguan psikis secara tak langsung pada anak. Kasus seperti ini menjadi salah satu contoh masyarakat Indonesia yang darurat advokasi isu-isu sensitif. Tingkat functional literacy dan kemampuan memahami konteks bacaan orang Indonesia juga merupakan salah satu penyebab isu-isu seperti anak Indigo ini mudah digoreng.
Karena adanya konsep seperti ini, obat-obatan atau tenaga medis menjadi pilihan kesekian bagi orang tua untuk menyembuhkan anaknya. Akibatnya, human ingenuity berkurang dan menjadi tidak laku karena konsep anak Indigo yang lebih menjual. Efeknya sama seperti teori konspirasi, kemalasan manusia untuk berpikir, tidak mau melihat data dan situasi-kondisi yang sebenarnya.
Kita juga bisa melihat kebebasan berpikir yang semakin terkikis dengan adanya “jualan-jualan”, seperti konsep anak Indigo. Masyarakat akan menyukai hal yang lebih instan tanpa melakukan verifikasi jelas terhadap fakta yang didapat karena sikap skeptis yang juga ikut dihilangkan. Bagi anak, kebebasan atas dirinya juga dieksploitasi oleh orang tuanya. Anak tidak dapat mengeksplor diri lebih jauh, apabila orangtua tetap memberi doktrin bahwa dia adalah anak Indigo.
Referensi
Tappe, NA. 1986. Understanding Your Life Through Color: Metaphysical Concepts in Color and Aura. Starling Publishers: New York City.
Marks, David F. 2000.The Psychology of the Psychic (edisi ke-2). Prometheus Books: Buffalo, New York.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.