Tahun 2022 dibuka dengan berbagai berita menarik. Salah satunya adalah, anak kelas 4 SD asal Lampung, Dewa Wibisono, yang tengah menjadi buah bibir di linimasa media sosial baru-baru ini. Bocah berumur 10 tahun tersebut viral karena aksinya menjual karya pribadi berupa gambar di platform e-commerce Shopee. Dengan toko online yang diberi nama Toko_Gambar, Dewa mendapat banyak apresiasi dari masyarakat. Adapun usai dirinya menjadi sorotan di media sosial, Dewa kerap kebanjiran order hingga stok produk dalam tokonya pun habis.
Peristiwa ini menjadi kesekian kalinya kepala saya dikunjungi pemikiran tentang, “apa semuanya boleh dijual? Atau ada batasan dalam suatu komodifikasi?”
Istilah komodifikasi berasal dari kata komoditas yang dapat diartikan sebagai barang jualan yang mencakup barang maupun jasa yang memiliki kualitas “diinginkan” atau “berguna” dan objek perdagangan. Proses komodifikasi sendiri erat hubungannya dengan produksi, sedangkan proses produksi berhubungan dengan fungsi atau guna dari pekerjaannya. Contohnya, seperti pekerja yang telah menjadi komoditas dan telah dikomodifikasikan oleh pemilik modal (eprints.umm.ac.id).
Menurut Pialang, komodifikasi juga berarti sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga kini menjadi komoditi. Sementara, Barker mendefinisikan komodifikasi sebagai proses asosiasi terhadap kapitalisme, yaitu objek, kualitas dan tanda dijadikan sebagai komoditas. Komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual ke pasar (Pradjnaparamita, 2012).
Kasus Dewa Wibisono yang telah penulis sebutkan di atas merupakan bentuk nyata dari ‘kreativitas’ komodifikasi. Pasalnya, di usianya yang masih sangat muda, Dewa kreatif memanfaatkan peluang yang ada. Ia mampu menjadikan karya seninya sebagai sumber penghasilan. Hal yang dilakukan Dewa, membuat karya dan menjualnya sebagai sumber uang jajan tidak pernah terfikir sebelumnya oleh siapapun. Inovasi ide ini merupakan suatu yang baru.
Melihat semangat dan potensi yang dimiliki Dewa, Shopee pun merasa perlu untuk membantu mengembangkan bisnisnya tersebut. Head of Public Affairs Shopee Indonesia, Radynal Nataprawira, mengatakan bahwa pihaknya begitu bangga dengan kontribusi Dewa dalam platformnya. Oleh karena itu, Shopee ingin memperkenalkan Dewa mengenai dunia wirausaha melalui program Bimbel Shopee dan akan memfasilitasi peralatan menggambar untuk hobinya dalam berkreasi (kompas.com, 29/12/2021).
Hari ini mungkin ada Dewa dengan toko gambarnya yang kreatif, esok hari bisa lebih banyak lagi apabila metode inovasi dan kreativitas ini dilanggengkan. Jika komodifikasi kreatif ini diteruskan, beberapa dampak positif bagi pasar dan bisnis seperti meningkatkan Unique Selling Point (USP) dan lahirnya kompetisi yang sehat dan kompetitif. Sebuah bisnis yang dijalankan dengan kreatif dan inovatif, maka akan membantu dalam menemukan keunggulan yang dimiliki dari produk atau jasa yang ditawarkan.
Kemudian, nilai produk yang digabungkan dengan riset pasar akan mengembangkan sebuah inovasi dan ide baru ke dalam bentuk bisnis yang dapat memenuhi permintaan pasar. Selain itu, persaingan bisnis yang semakin ketat juga menuntut setiap pebisnis untuk dapat berpikir kreatif dalam menemukan ide baru agar mampu bertahan di tengah persaingan yang ketat. Selanjutnya, inovasi juga diperlukan agar mampu mencari solusi baru yang mungkin saja belum pernah ditawarkan oleh kompetitor manapun.
Di masa lampau, masih banyak contoh umum terkait komodifikasi kreatif yang kini tak lazim dilakukan karena dianggap menyalahi moral. Semasa Perang Dunia kedua, Suku Dayak membantu sekutu untuk menumpas pasukan Jepang. Sesuai dengan tradisinya, para petarung Dayak menebas kepala musuh dan menyimpannya sebagai simbol kemenangan. Tengkorak kemenangan (victory skull) dibawa pulang oleh tentara sekutu, khususnya Amerika Serikat, yang didapat atau dibeli dari orang Dayak.
Kritik selalu datang dari para anti-komodifikasi. Argumen paling umum berkaitan dengan nilai yang dikandung dalam suatu komoditas dapat mengalami degradasi apabila dijadikan komoditas jual-beli yang hanya menguntungkan dari sisi kapitalis. Maka dari itu, misalnya, seks yang dianggap sakral dan harusnya menjadi suatu kegiatan di bilik pasangan yang disatukan dalam nama Tuhan tidak seharusnya diperjualbelikan, karena akan menodai kesakralan seks itu sendiri. Kegiatan membuat sesuatu sebagai komoditas jual-beli dianggap salah secara moral.
Padahal, menjual atau membeli sesuatu tidak menceritakan hal tersebut memiliki nilai instrumental murni. Orang membeli hewan peliharaan dan juga tetap mencintai mereka, menganggap peliharaannya sebagai keluarga. Kitab suci diperjualbelikan tanpa mendegradasi nilainya, karena tetap diperlakukan dengan hati-hati oleh umatnya, dijaga dengan baik dan dihormati.
Penulis tidak percaya adanya keberadaan nilai intrinsik dalam hal batas pasar. Namun, penulis juga percaya ada sesuatu yang memang tidak boleh diperjualbelikan dalam kondisi apapun karena melanggar batas hak asasi seseorang. Contohnya, seperti pornografi anak. Bukan karena pasarnya yang salah, juga bukan karena pornografi anak diperjualbelikan (karena mendapatkannya secara cuma-cuma juga jelas tidak benar). Kesalahannya terletak di pornografi anak itu sendiri. Seperti perbudakan, pornografi anak melanggar hak asasi mereka.
Pertanyaan menarik tentang pasar bukanlah apa yang bisa kita beli dan jual, tetapi bagaimana cara kita membeli dan menjualnya. Maka dari itu, komodifikasi yang kreatif di sini menjadi urgensi. Adapun cara-cara tertentu untuk membeli dan menjual barang-barang mungkin salah, tetapi itu tidak berarti barang tersebut tidak boleh dibeli atau dijual. Sesuatu yang diperjualbelikan tidak mendegradasi fungsi dan nilai suatu hal. Apabila kita membuat pasar jasa ciuman, orang tidak akan membenci ciuman atau memperlakukan ciuman dengan semena-mena dengan teknik ciuman yang jelek seperti Johnny Depp dan Angelina Jolie di film “The Tourist” atau Emma Watson dan Rupert Grint di film terakhir yang menutup franchise Harry Potter.
Referensi
Artikel
http://eprints.umm.ac.id/43268/3/BAB%20II.pdf Diakses pada 5 Januari 2022, pukul 14.00 WIB.
https://www.kompas.com/tren/read/2021/12/29/171500465/coba-jual-gambar-buatannya-di-e-commerce-bocah-kelas-4-sd-viral-di-medsos?page=all Diakses pada 5 Januari 2022, pukul 13.00 WIB.
Jurnal
Pradjnaparamita, Zebrina. Tesis, Komodifikasi tas belanja bermerek: Motivasi dan Identitas Kaum Shopaholic Golongan Sosial Menengah Surabaya, (Program Magister Kajian Sastra dan Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, 2012), hal. 16, Diakses dari https://repository.unair.ac.id/36587/ pada 6 Januari 2022, pukul 13.20 WIB.

Samuella Christy adalah mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia yang aktif menulis mengenai isu-isu politik, sosial, dan budaya. Dapat dihubungi di samuellachristy3005@gmail.com.