Kominfo Tak Boleh Mengekang Kebebasan

    288
    Sumber gambar: https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/tangerang-raya/pr-075169582/kebijakan-kominfo-tuai-pro-kontra-gp-center-akibat-tergesa-gesa-tanpa-ada-sosialisasi

    Belakangan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah mendapat sorotan publik. Hal ini terkait dengan kebijakan Kominfo terkait perusahaan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), di mana Kominfo ingin agar para pelaku industri digital mendaftarkan platformnya dan mengikuti aturan yang berlaku.

    Beberapa platform digital sempat menolak atau mengabaikan kebijakan ini, seperti Facebook, Twitter, Google, WhatsApp, Gmail, dan lain sebagainya. Namun akhirnya, mereka menyerah dan terpaksa tunduk pada Kominfo.

    Beberapa platform yang lain seperti Paypal dan Steam yang tidak mendaftarkan diri untuk layanan PSE Kominfo akhirnya diblokir secara mendadak. Pemblokiran ini diketahui setelah para pengguna Paypal tak lagi bisa mengakses uang mereka dan tak bisa membuka akunnya. Para gamer juga terkejut karena tak lagi bisa membeli game legal, baik dalam bentuk fisik maupun online karena pembatasan dari Kominfo.

    Dan, apa yang terjadi? Bisa ditebak, Kominfo dirundung oleh netizen Indonesia yang terkenal sebagai pengguna media sosial paling cerewet dan ‘tak ramah’ di dunia.

    ***

    Marah, kesal, gemas, dan bingung, ekspresi yang tampak di wajah para pengguna Paypal dan gamer yang sudah memesan permainan kesayangannya.

    Bagaimana tidak, pekerja freelance yang sering melakukan transaksi digital melalui Paypal beberapa hari yang lalu tak bisa menggunakannya. Entah bagaimana nasib uang yang tersimpan di aplikasi tersebut.

    Anehnya, Kominfo secara mendadak memblokir Steam, Epic Game, dan Nintendo yang notabene adalah ritel digital yang menyediakan pembelian game resmi dan legal.

    Dan yang bikin jengkel netizen, pemerintah memblokir situs permainan legal, tapi menerima situs permainan judi online. Jika kita mengecek di laman pse.kominfo.go.id, beberapa game judi online tampak terdaftar dan diakui pemerintah, seperti Higgs Domino Island, Domino QiuQiu, dan Slot Domino.

    Hal ini dikomentari oleh netizen secara sinis termasuk di Twitter.

    Thank you @kemkominfo JUDI ONLINE di approve legal dong ya?,” ujar Indira Ayu melalui akun Twitter-nya (30/7/2022). Sama halnya dengan @OmDennis yang mengatakan “Situs judi online masih bisa diakses, sementara Steam sudah kena blokir. Maunya apa sih?,” kata dia.

    Sementara, @Mfzxy1 “Dear Kominfo, Lu Enak Banget Ya Blokir Steam, Epic games, PayPal, Asal Lu Tau Banyak gamer di Seluruh Indonesia udah Beli Game di Steam Via Paypal. Dan Lu Enak Enaknya Blokir Mereka? Semua? Sedangkan Situs Judi Online Lu Gak Blokir,” ujarnya.

    Namun, pihak Kominfo menolak bahwa mereka melegalkan situs judi online. Menurut Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (Dirjen Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, situs tersebut bukanlah situs judi. Ia mengambil contoh halaman dari “Domino QiuQiu”, yang merupakan permainan tanpa uang dan bukan judi.

    “Itu saya juga sudah dapat laporan, kan ada namanya “Domino QiuQiu”, itu permainan. Kami sudah duga itu permainan, bukan judi. Itu kita bisa bermain tanpa menggunakan uang,” jelas pria yang disapa Semmy, dalam konferensi pers, pada hari Minggu (31/7) pagi (Kompas.com, 01/08/2022)

    Semmy pun kembali menambahkan kalau sistem permainan tersebut hanya perlu melakukan “top-up uang”, jika koin yang dimiliki sudah habis. Jadi, pada dasarnya, pihak Kominfo menilai kalau situs tersebut bukan judi, melainkan permainan.

    Kendati begitu, masyarakat sudah tahu bahwa permainan di platform domino adalah judi online karena memasang taruhan dan dapat menghasilkan keuntungan. Terlepas dari masalah benar dan tidaknya judi, yang jelas dalam kasus ini, fungsi Kominfo dalam menciptakan iklim digital yang bebas dan sehat patut untuk dipertanyakan.

    Aturan represif tanpa sosialisasi

     Langkah Kominfo yang memblokir atau menangguhkan beberapa platform digital yang mendapat kecaman dari masyarakat, disebabkan oleh faktor kurangnya komunikasi dan sosialisasi dari pihak Kominfo kepada masyarakat

    Wakil Ketua Gerakan Perubahan Center (GP Center), Thomas Dije, mengatakan bahwa pro dan kontra terkait regulasi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dari Kominfo sebenarnya tak perlu terjadi. Ia mengatakan, bahwa kegaduhan ini bisa dihindari jika tak ada miskomunikasi antara Kominfo dengan masyarakat. “Regulasi untuk mengatur PSE sebenarnya bagus untuk ekosistem digital yang sehat di Indonesia. Sayangnya, kebijakan ini kurang disosialisasikan secara masif dan tepat oleh Kominfo,” kata Thomas (Pedomantangerang.com, 02/08/2022).

    Banyak orang terkejut ketika platform transaksi digital Paypal ditangguhkan oleh pemerintah hingga mereka tidak dapat memanfaatkan uang yang tersimpan dalam aplikasi tersebut. Ia mengatakan “kegaduhan ini tidak perlu terjadi jika Kominfo melakukan sosialisasi kebijakan tersebut dengan benar, karena beberapa aplikasi yang mendapat nota merah tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat.” (Pedomantangerang.com, 02/08/2022).

    Memang cukup disayangkan jika miskomunikasi ini justru dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yang notabene harusnya menjadi “penyambung lidah” antara pemerintah dan rakyat. Tak heran jika masyarakat bersama-sama melakukan protes terhadap tindakan Kominfo yang menimbulkan kegaduhan.

    Thomas menyarankan agar kedepannya Kominfo tidak berjalan sendiri dalam menerapkan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Meskipun kebijakan tersebut memiliki tujuan baik untuk pembangunan ekosistem digital yang sehat, namun Kominfo seolah melupakan peran dari masyarakat. Mereka lupa bahwa kebijakan yang akan diterapkan sangat vital hasilnya bagi masyarakat (Pedomantangerang.com, 02/08/2022).

    ***

    Di pihak lain, pegiat media, Teguh Aprianto mengatakan bahwa beberapa aturan yang dibebankan kepada platform digital baik dalam dan luar negeri sangat bertentangan dengan nilai-nilai kebebasan dan perlindungan privasi individu. Beberapa platform seperti Facebook, Twitter dan Gmail awalnya menolak untuk mengikuti aturan dari Kominfo karena banyak aturan yang dinilai bertentangan dengan hak individu dan kebebasan berpendapat. Teguh menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5 Tahun 2020 memiliki sejumlah pasal “karet” yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat (Katadata.co.id, 17/07/2022).

    Contohnya, Pasal 9 Ayat 3 yang menyatakan PSE wajib memastikan sistemnya tidak memuat informasi yang dilarang, dan tidak memfasilitasi penyebarluasan informasi yang dilarang. Kemudian Pasal 9 Ayat 4 menyatakan bahwa informasi yang dilarang itu mencakup informasi yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. “Pasal 9 Ayat 3 dan 4 ini terlalu berbahaya karena ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum’ ini karet banget. Nantinya bisa digunakan untuk ‘mematikan’ kritik walaupun disampaikan dengan damai. Dasarnya apa? Mereka tinggal jawab ‘mengganggu ketertiban umum’,” jelas Teguh (Katadata.co.id, 17/07/2022).

    “Kita semua udah bisa lihat dampak dari pasal karet di UU ITE. Permenkominfo yang ini juga sangat meresahkan,” tambahnya.Teguh juga mengkritisi Pasal 36 Permenkominfo No. 5 Tahun 2020, yang menyatakan bahwa PSE harus memberikan akses dan data informasi pengguna bila diminta pemerintah. “Apa jaminannya bahwa ini nantinya tidak akan disalahgunakan untuk membatasi atau menghabisi pergerakan mereka yang kontra pemerintah? Ga ada, kan?” kritik Teguh (Katadata.co.id, 17/07/2022).

    Dengan kata lain, Kominfo yang sekiranya mengatur regulasi telekomunikasi dan informasi kini seolah berubah menjadi “Kementerian Penerangan” ala Orde Baru yang berfungsi sebagai indoktrinasi rakyat sekaligus mempropagandakan informasi yang menyenangkan hati elit negara dan kroninya.

    Kisah Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan

    Dalam acara talk show, “Kick Andy”, di salah satu stasiun televisi swasta, Gus Dur ditanya oleh Andy Noya, mengapa ia membubarkan Departemen Penerangan saat ia menjabat.

    Perlu diketahui, Departemen Penerangan (Deppen) adalah cikal bakal dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Departemen Penerangan memiliki tugas untuk mengontrol pers, media massa (buku), televisi, film, radio, grafika, izin percetakan, dan propaganda kinerja pemerintah.

    Tak ayal pada zaman Orde Baru, Deppen menjadi salah satu gerbong terdepan dan terpenting bagi kelanjutan Pemerintahan Orde Baru. Deppen bisa dikatakan memonopoli informasi masyarakat. Ia membatasi mana yang boleh dan tidak boleh dibaca dan diketahui oleh masyarakat. Deppen juga membatasi apa buku yang harus dicetak dan tayangan apa yang bisa disiarkan.

    Bisa dikatakan bahwa Deppen menjadi lembaga yang secara otoriter memangku jabatan sebagai “lembaga kebenaran” karena apa yang dilakukan dan disiarkan oleh Deppen pasti sebuah kebenaran. Kebenaran tunggal yang tersimbol dalam Deppen ini yang tidak disukai oleh Gus Dur. Tokoh yang terkenal sebagai Bapak Pluralisme ini menganggap Deppen justru menghambat intelektualitas dan nalar kritis masyarakat. Karena itu, bagi Gus Dur, kebebasan ekspresi, informasi dan pengetahuan hanya bisa dicapai jika Deppen dibubarkan.

    Dalam buku “Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia”, karangan Ishak Rafick, ia mengatakan Ketika Orde Baru berkuasa, Departemen Penerangan digunakan untuk membatasi pergerakan media massa atau pers. Hal itu dibuktikan dengan dicabutnya izin beberapa media massa, seperti Harian Sinar Harapan, Tempo, dan Majalah Monitor. Namun, setelah Orde Baru runtuh dan Gus Dur naik menjadi Presiden Indonesia, Departemen Penerangan dihapus dari dalam kabinet. Adapun Gus Dur beralasan bahwa Departemen Penerangan dianggap terlalu banyak mencampuri urusan pengelolaan informasi yang seharusnya menjadi hak masyarakat. Selain itu, Gus Dur juga pernah mengatakan bahwa apabila kerja Deppen hanya melarang dan mengekang kebebasan pers, sebaiknya Departemen Penerangan ditiadakan (Raffick, 2008).

    ***

    Dalam novel “1984”, George Orwell secara detail menjelaskan gambaran sebuah negara diktator ekstrim adalah mengontrol perilaku, pola pikir, dan informasi yang disampaikan kepada rakyat. Di setiap sudut jalan, terdapat selebaran “Big Brother (Pemimpin Besar) mengawasimu”, yang secara harfiah berarti perilaku warga harus sesuai dengan kemauan sang diktator.

    Mereka juga menyebarkan propaganda dalam bentuk koran, radio dan televisi bahwa pemerintah telah berhasil mensejahterakan rakyatnya, sehingga rakyat wajib mentaatinya. Gambaran di atas adalah cermin betapa buruknya sistem otoriter yang mencengkram rakyat. Namun, penulis tidak mengatakan bahwa negara kita, Indonesia, sudah seperti negara yang digambarkan oleh George Orwell dalam novel 1984.

    Indonesia masih jauh dari istilah negara otoriter, dan Kominfo kita juga tidak seperti Departemen Propaganda seperti dalam novel tersebut. Penulis hanya ingin memberi pesan bahwa di Era Reformasi ini, kita harus kembali ke rel awal untuk mewujudkan cita-cita reformasi, yaitu demokratisasi dan kebebasan.

    Penulis berharap Kominfo tidak menjadi lembaga pemegang kebenaran sebagaimana Departemen Penerangan dahulu. Kominfo harus tetap ada untuk menjadi pelindung dan mengawasi lingkungan digital kita.Tidak ada salahnya jika Kominfo ingin merapikan platform digital di Indonesia, namun hal ini  tetap harus dilakukan sejalan dengan koridor HAM dan melindungi kebebasan.

     

    Referensi

    Rafick, Ishak. (2008). Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia. Jakarta: Ufuk Press.

    https://amp.kompas.com/tekno/read/2022/07/31/12350767/situs-diduga-judi-online-muncul-di-halaman-pse-kominfo-itu-permainan-tanpa-uang. Diakses pada 3 Agustus 2022, pukul 18.16 WIB.

    https://katadata.co.id/amp/adiahdiat/berita/62d3f8324f92b/facebook-belum-daftar-pse-diduga-terganjal-isu-kebebasan-berpendapat. Diakses pada 3 Agustus 2022, pukul 18.24 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/tangerang-raya/pr-075169582/kebijakan-kominfo-tuai-pro-kontra-gp-center-akibat-tergesa-gesa-tanpa-ada-sosialisasi. Diakses pada 3 Agustus 2022, pukul 19.13 WIB.