Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keppres untuk Pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), terutama untuk menggantikan Patrialis Akbar, yang dicopot jabatannya secara tidak hormat setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait uji materi UU Peternakan. Urusan seleksi Hakim MK bukan hanya penting untuk menggantikan mantan hakim yang bermasalah dan membantu MK melanjutkan fungsinya terkait sengketa Pilkada. Seleksi Hakim MK juga krusial untuk memastikan bahwa hakim pengganti adalah orang yang kompeten, punya integritas dan beretika, akuntabel dan profesional.
Mengingat dua hakim MK yang tersandung kasus suap sebelumnya, kriteria hakim MK tersebut memang semakin penting untuk ditegaskan dalam seleksi hakim MK mendatang. Di sisi lain, kita lupa bahwa MK juga kerap dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk mendiskriminasikan kelompok lain atas nama agama dan moral, serta kebencian semata. Tuntutan judicial review Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dan beberapa kelompok pengacara untuk mengkriminalisasi kelompok LGBT dan hubungan di luar nikah, salah satunya, termasuk tuntutan yang cukup disambut oleh para hakim MK. Sementara, usulan judicial review terkait UU Perkawinan, khususnya soal pernikahan pasangan beda agama ditolak oleh MK.
Lebih jauh, kita juga masih menyaksikan betapa peraturan perundang-undangan yang ada kerap mengancam kebebasan kita. Diantaranya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama dapat dengan mudah menjerat kita ke balik jeruji dan memasung kebebasan berekspresi dan berpendapat kita. MK yang merupakan salah satu produk Reformasi 1998 dalam perjalanannya juga rentan diisi oleh para hakim yang anti-kebebasan dan jelas berlawanan dari semangat Reformasi yang menjunjung tinggi HAM.
Sayangnya, kriteria pengangkatan hakim MK yang diatur dalam UU tentang MK tidak menyebutkan dengan tegas kriteria soal keharusan calon hakim MK untuk memiliki komitmen dan rekam jejak yang jelas terhadap penghormatan dan perlindungan HAM. Tampaknya kriteria HAM untuk calon hakim MK tidak terlalu menjadi prioritas dibandingkan kriteria lain terlepas dari mandat MK untuk melindungi hak konstitusi warga negara. Tidak heran jika judicial review yang disambut cenderung mencerminkan tekanan kelompok-kelompok anti-HAM yang hanya mengandalkan argumennya pada argumen moralitas dan agama, serta kebencian terhadap kelompok minoritas.
Pemilihan Hakim Konstitusi 2018 dan Pansel Hakim Konstitusi harus menjadi waktu yang strategis dan tepat untuk mendorong terpilihnya Hakim MK yang bukan hanya memenuhi syarat yang ada dalam UU MK, namun juga pro-HAM dan kebebasan pada umumnya! Masyarakat harus memastikan bahwa proses seleksi dilakukan dengan transparan dan partisipatif karena hal ini jelas dimandatkan oleh UU MK. Sebagai warga negara Indonesia jelas hak konstitusional kita, termasuk HAM, merupakan hak yang tidak bisa diganggu gugat. Sudah menjadi hak kita selaku WNI untuk dilibatkan dalam proses kebijakan dan dijamin HAM-nya lewat hukum yang berlaku, termasuk lewat MK.
Keberadaan Pansel Hakim MK dan moment pemilihan Hakim MK 2018 harus kita manfaatkan untuk menciptakan MK yang pro-kebebasan dan penegakan hukum. Untuk itu, mekanisme pemilihan Hakim MK harus dibenahi untuk memenuhi prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik, dan utamanya untuk melindungi HAM segenap warga Indonesia. Partisipasi masyarakat dan kepedulian masyarakat juga harus didorong untuk memastikan bahwa mekanisme pemilihan hakim MK berjalan dengan transparan, akuntabel, dan partisipatif, dengan informasi yang memadai. Hal ini sangat penting agar masyarakat juga mengetahui siapa nama-nama bakal calon yang ada dan dapat memberikan masukan dan berpartisipasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
SuaraKebebasan.org percaya pentingnya penegakan hukum dan perlindungan HAM. MK adalah salah satu pilar penegak hukum yang kita percaya untuk mengemban tugas ini. Dan kita butuh MK dan para Hakim MK yang memenuhi kriteria fundamental terkait pro-kebebasan dan berkomitmen dalam melindungi HAM! Mari bersama mengawasi proses pemilihan hakim MK di Pansel dan berpartisipasi untuk MK dan Hakim MK yang pro-kebebasan dan HAM!

Adinda Tenriangke Muchtar adalah Chief Editor Suara Kebebasan. Ia juga adalah Direktur Eksekutif The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII). Adinda menyelesaikan studi PhD Studi Pembangunan di Victoria University of Wellington, Selandia Baru (2018) dengan beasiswa NZAID. Adinda mendapatkan Master of Internatio-nal Studies dari The University of Sydney (2003) dengan beasiswa AusAID dan gelar Sarjana Sosial dari Departemen Hubungan Internasional FISIP UI (2001). Fokus kajiannya adalah pembangunan dan kebijakan publik, demokrasi dan tata kelola pemerintahan, pemberdayaan perempuan, dan bantuan pembangunan internasional. email: adinda.muchtar@suarakebebasan.org