etya Novanto (SN) telah memutuskan mundur sebagai Ketua DPR RI. Pengumuman terjadi di ujung Rapat Majelis Kehormatan Dewan (MKD). MKD sebagai Alat Kelengkapan Dewan tengah menjalankan mandat guna melaksanakan sidang etik terhadap laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said (SS). Menteri Sudirman melaporkan SN kepada Majelis Kehormatan itu disertai rekaman pembicaraan tentang Freeport. Kontan jagad politik menjadi gaduh serta menyita perhatian publik sekitar sebulan terakhir.
Peta politik dari ketujuh belas anggota MKD terbagi dalam dua pihak, yaitu: (1) Sepuluh anggota Majelis Kehormatan menilai SN layak dijatuhi sanksi sedang, pencopotan langsung jabatan ketua DPR. Sanksi sedang diberikan oleh anggota Majelis Kehormatan diantaranya Viktor Laiskodat (NasDem), Risa Mariska (PDIP), Sukiman (PAN), Ahmad Bakrie (PAN), Darizal Basir (Demokrat), Guntur Sasono (Demokrat), Maman Imanulhaq (PKB), Sarifuddin Sudding (Hanura), Junimart Girsang (PDIP) dan Surahman Hidayat (PKS).
Sementara itu, (2) Tujuh orang MKD menilai Setya layak dijatuhi sanksi berat, yakni pemberhentian keanggotan SN sebagai anggota DPR. Mereka adalah Sufmi Dasco Ahmad (Gerindra), Supratman (Gerindra), Adies Kadir Karding (Golkar), Ridwan Bae (Golkar), Kahar Muzakir (Golkar), Achmad Dimyati Natakusumah (PPP) dan Muhammad Prakosa (PDIP). Jalan panjang masih perlu ditempuh untuk memecat anggota DPR. Peraturan yang berlaku menyatakan MKD perlu membentuk panel untuk membahas lanjut keputusan pemberhentian sebagai anggota. Panel terdiri dari wakil MKD dan wakil unsur masyarakat. Mereka akan bekerja selama 90 hari dan hasilnya dibawa ke rapat paripurna.
Dengan sidang-sidang yang terbuka, publik dapat memberi penilaian mereka atas kinerja Majelis Kehormatan yang mengecewakan. Persidangan yang bertele-tele, tidak fokus menjalankan tujuan awal, dan pertemuan setengah kamar dengan pihak tersangkut, misalnya pertemuan tiga anggotanya dengan Menteri Politik Hukum dan HAM Luhut Binsar Panjaitan (LBP). Kita tahu Menteri Luhut disebut sebanyak 66 kali saat rekaman pembicaraan SN dan dua orang lainnya Maroef Sjamsudin dan Riza Chalid.
Padahal secara etis, hakim MKD sepatutnya tidak bertemu dengan pihak yang tersangkut. Selain secara formal, aturan memerintahkan mereka dilarang bersua dengan pihak yang terlibat dalam pengadilan. Dari pertemuan anggota Majelis dengan LBP saja bisa kita menilai bahwa pekerjaan rumah ke depan, paling mendesak melibatkan publik di luar anggota DPR. Akal sehat kita dikerdilkan dengan status lembaga kelengkapan Dewan itu, hal mustahil mereka mengadili sesama anggota Dewan, terlebih Ketua DPR.
Mundurnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR bukan kemenangan siapapun, karena proses hukum belum tuntas sama sekali. Dengan rekam jejak pelanggaran kode etik yang telah dilakukannya, belum lagi dugaan kasus hukum terhadap SN selama ini, yang lebih tepat adalah memecat Setya Novanto sebagai anggota DPR dan melanjutkan proses hukum! Karena hal ini akan menjadi langkah yang sangat berarti dalam upaya menegakkan hukum dan memenuhi keadilan tanpa pandang bulu, agar cita-cita daulat Negara hukum (rule of law) bukan menjadi jargon politik. Melalui editorial ini, kami mendesak proses hukum bisa segera dilanjutkan dengan profesional sekaligus imparsial oleh penegak hukum.
Pelembagaan MKD juga harus lebih transparan dan melibatkan publik, sehingga fenomena darurat DPR menjadi darurat untuk kita semua! Hal ini sangat penting karena kepercayaan publik terhadap demokrasi dan lembaga perwakilan rakyat harus segera diperbaiki dengan mantap. Tidak ada waktu lagi buat status quo, publik umumnya sudah muak dengan Dewan.
Dengan semangat kesamaan di depan hukum (equality before the law), tidak boleh ada pihak-pihak yang tidak tersentuh hukum. Kita menyaksikan pengusaha seperti Riza Chalid, maupun politisi seperti Setya Novanto yang jelas belum tersentuh hukum. Kepada penegak hukum kita menitipkan aspirasi ini dan kepada Dewan untuk mendengarkan suara rakyat!

Muhamad Iksan (Iksan) adalah Pendiri dan Presiden Youth Freedom Network (YFN), Indonesia. YFN berulang tahun pertama pada 28 Oktober 2010, bertempatan dengan hari Sumpah Pemuda. Iksan, juga berprofesi sebagai seorang dosen dan Peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Jakarta. Alumni Universitas Indonesia dan Paramadina Graduate School ini telah menulis buku dan berbagai artikel menyangkut isu Kebijakan Publik. (public policy). Sebelum bergabung dengan Paramadina sejak 2012, Iksan berkarier sebagai pialang saham di perusahaan Sekuritas BUMN. Ia memiliki passion untuk mempromosikan gagasan ekonomi pasar, penguatan masyarakat sipil, serta tata kelola yang baik dalam meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia.