Ketika Libertarian Merespon Kebijakan Bansos Di kala Pandemi

    325

    Presiden Joko Widodo terpaksa kembali memperpanjang masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dengan tujuan untuk menanggulangi potensi penyebaran pandemi COVID-19. Hingga kini, pandemi tersebut telah membuat tingkat kematian akibat virus COVID-19 di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia.

    Keputusan untuk memperpanjang masa pembatasan sosial memang bisa dimaklumi. Namun, yang harus menjadi catatan adalah, pembatasan tersebut bukan tanpa risiko. Sejak diterapkan pada tanggal 3 Juli lalu, PPKM terbukti membuat kemerosotan ekonomi yang cukup tajam. Para pedagang makanan, seniman, dan juga para pelaku ekonomi mikro adalah kelompok yang paling menderita atas PPKM ini (Merdeka.com, 1/7/2021).

    Jika pada masa krisis moneter tahun 1998 kekuatan ekonomi Indonesia mampu bertahan karena bertumpu pada  usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), pada masa PPKM ini justru sektor usaha mikro atau UMKM yang paling terdampak kerugiannya.

    Hal ini disebabkan karena, di berbagai tempat banyak peraturan yang melarang kerumunan di pasar, menertibkan pedagang kaki lima, melarang pesta dan berbagai acara adat, sehingga banyak pedagang dan seniman terpaksa menganggur karena sumber pendapatan utama mereka terhalang oleh peraturan.

    Pemerintah sendiri menyadari bahwa pembatasan ini  dilematik. Tetapi, sebagai pemangku kebijakan mereka diharuskan untuk menentukan sikap dalam krisis penyakit COVID-19, meskipun hal itu tidak disukai oleh banyak pihak. Untuk menyelamatkan kehidupan warga, maka untuk sementara pemerintah berusaha menurunkan paket bantuan sosial pada mereka yang terdepak oleh pandemi.

    Namun, apakah pemberian bantuan sosial semacam itu adalah solusi utama untuk memecahkan masalah saat ini? Lalu jika tidak bagaimana solusi pastinya?

    Pertanyaan ini sangat sulit untuk dijawab, sebab jika kita membiarkan orang untuk beraktivitas dan bekerja secara normal, otomatis angka lonjakan akan semakin tinggi. Tetapi jika PPKM terus berlanjut entah sampai kapan, tentu saja bantuan sosial akan menjadi bumerang bagi perekonomian negara.

    *****

    Persoalan mengenai bantuan sosial atau bansos merupakan sebuah perdebatan dalam libertarianisme. Hal yang memicu perdebatan tersebut tentu saja, bagaimana posisi libertarianisme terhadap kebijakan paket bantuan ketika dunia dilanda oleh pandemi COVID-19 yang mau tak mau membuat orang-orang terpaksa mengisolasi diri dan tak melakukan aktivitas kerja seperti biasanya.

    Pada dasarnya, libertarianisme meyakini bahwa menghabiskan dana pajak untuk subsidi atau bantuan sosial sangat dianjurkan untuk dihindari. Kebijakan pemberian bantuan yang dilakukan oleh politisi seperti yang dilakukan di negara-negara kesejahteraan dan komunis, terbukti tidak memberantas akar masalah.

    Ketika seorang politisi melancarkan pemberian bantuan sosial sebagai program utama pengentasan kemiskinan, hal yang terjadi malah sebaliknya. Negara bukan memelihara orang miskin, tetapi memelihara kemiskinan itu sendiri.  Jika negara memberikan uang sumbangan atau bantuan sembako kepada rakyat miskin secara rutin, tentu ini bukan solusi untuk menghapus kemiskinan. Lebih dari itu, negara justru malah menjebak mereka agar tetap dalam lingkar kemiskinan dengan membuat rakyat terlena dengan berbagai macam bantuan sosial.

    Tetapi, pertanyaannya, bagaimana pandangan libertarian menghadapi lonjakan infeksi virus hingga menelan ribuan orang per hari? Apakah seorang libertarian harus tetap kekeuh berpegang pada argumen ini meskipun situasi dunia tengah dalam keadaan darurat dan kritis?

    Tentu saja, jika dalam keadaan darurat, maka semua argumen dan pemecahan akan berubah. Bantuan sosial adalah perlu dengan catatan, jika memang pembatasan dan pelarangan aktivitas melalui PPKM yang dilakukan oleh pemerintah adalah solusi “mentok” dan pemerintah bisa menjelaskan secara masuk akal kenapa pembatasan tersebut harus dilakukan. Menjaga orang untuk tetap selamat memang lebih masuk akal ketimbang membiarkan mereka mati dalam keadaan kelaparan atau terinfeksi virus ganas.

    Steve Baker, salah satu libertarian terkemuka di Parlemen Inggris, hampir menangis ketika dia berbicara kepada House of Commons untuk mendukung RUU yang dulunya tampak tidak terpikirkan, yakni paket bantuan ekonomi besar-besaran dalam menanggapi pandemi virus Corona. “Meskipun saya libertarian, ini adalah hal yang benar untuk dilakukan tetapi, ya ampun, kita tidak boleh membiarkan situasi ini bertahan lebih lama dari yang mutlak diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan mempertahankan pekerjaan,” katanya (Independent, 12/4/2020).

    Chris Edwards, Direktur Studi Kebijakan Pajak di Cato Institute, berpendapat bahwa seyogyanya bantuan sosial sama dengan “buang-buang uang”. Tapi, bantuan sosial akan “masuk akal jika untuk mencoba menjaga perusahaan tetap bertahan, terutama usaha kecil dengan sumber daya yang lebih sedikit” (Independent, 12/4/2020).

    Jelas di sini bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa, dalam keadaan tertentu, libertarian menyetujui bantuan sosial sebagaimana mereka menyetujui memberi uang untuk beramal. Tetapi, karena negara bukan lembaga amal atau filantropi, maka bantuan yang diberikan harus tepat sasaran.

    Lagipula, bantuan sosial yang diberikan saat pandemi diambil dari uang pajak yang merupakan milik mereka yang terdampak oleh pandemi. Karena itu, untuk situasi saat ini, bantuan sosial yang tepat sasaran dan juga bertujuan untuk menjaga kehidupan dan keberlanjutan ekonomi, sangat diperlukan.

    *****

    Lembaga penelitian kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) dalam keterangan persnya menekankan bahwa. pemulihan ekonomi akan berjalan seiring dengan pemulihan kesehatan publik yang terganggu oleh pandemi. Ketika pemerintah melakukan pembatasan sosial, maka pemerintah menginginkan mereka yang biasa melakukan aktivitas kerja di luar rumah untuk tetap di rumah.

    Rifki Fadhillah, sebagai peneliti di lembaga TII menerangkan bahwa Pemerintah Pusat dan Kementerian Sosial bersama dengan Kementerian Keuangan mau tak mau  harus memberikan insentif bagi warganya untuk tetap tinggal di rumah (Pedoman Tangerang, 2/8/2021).

    Namun, tentu saja pemberian insentif tersebut harus memiliki kajian mendalam. Jika pemerintah memberikan bantuan tanpa memperkirakan dampak ekonomi, tentu pemberian bantuan sosial yang diambil dari APBN ini akan menjadi beban bagi perekonomian Indonesia di kemudian hari.

    Libertarian percaya bahwa bantuan sosial bukan solusi utama. Bantuan hanya sebagai penopang kehidupan selama pemerintah ‘merampas’ kebebasan yang diambil dari mereka lewat pembatasan sosial. Yang perlu dicatat, Indonesia tidak menerapkan karantina total tetapi pengetatan sosial, sehingga masyarakat masih memiliki sedikit ruang beraktivitas di luar. Dalam hal ini, akan lebih baik jika bantuan yang diberikan oleh pemerintah dalam bentuk insentif tunai bukan sembako.

    Ketimbang pemerintah memusatkan seluruh insentif untuk pengadaan sembako, lebih logis jika pemerintah membayar insentif melalui Kartu Prakerja yang memberikan penerima manfaat keterampilan, Bantuan UMKM, Keluarga Harapan, serta bantuan tunai lain yang bersifat strategis.

    Dan yang harus dicatat, negara tidak bisa selamanya memberi uang pada rakyat, sebab berputarnya roda ekonomi negara murni dari kegiatan dan aktivitas kerja rakyat. Semoga saja kedepannya angka infeksi akan landai dan pemerintah bisa mencabut aturan PPKM agar gairah ekonomi masyarakat bisa kembali sediakala

     

    Referensi

    https://www.independent.co.uk/news/world/coronavirus-libertarian-response-market-economy-government-power-conservative-a9461241.html Diakses pada 3 Agustus 2021, pukul 21.34 WIB.

    https://www.merdeka.com/uang/menengok-dampak-ekonomi-imbas-ppkm-mikro-darurat.html Diakses pada 4 Agustus 2021, pukul 15.19 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-072320210/peneliti-besarnya-implikasi-ppkm-darurat-bagi-masyarakat?page=5 Diakses pada 4 Agustus 2021, pukul 03.11 WIB.