Bagaimana rasanya jika Anda membuat “meme comic” yang mengkritik pemerintah tapi gegara meme itu Anda ditahan dan didenda? Bagaimana perasaan Anda jika Anda seorang perempuan yang telat pulang malam lalu kena denda 1 juta Rupiah? Bagaimana bayangan Anda jika seorang gembel jalanan dituntut oleh polisi untuk bayar denda 1 juta karena dia menggelandang? (buseet mau makan aja susah kok disuruh bayar, piye tho)
Gambaran di atas saja sudah seram jika baru dibayangkan apalagi jika diterapkan. Ya, peraturan tersebut merupakan agenda yang dirumuskan oleh DPR dalam RKUHP yang direncanakan akan segera disahkan. Sontak saja banyak aturan aneh yang tertuang dalam rancangan undang-undang tersebut. Dan yang tak kalah mengherankan ilmu gaib berupa santet juga diatur dalam RKUHP yang segera diresmikan.
Ketidakjelasan ini membuat masyarakat berkomentar negatif, bahkan sebagian orang menuntut agar RKUHP dicabut bersamaan dengan dicabutnya RUU KPK yang dianggap melemahkan KPK. Menanggapi hiruk pikuk dan juga suara sumbang masyarakat yang mengecam dan mencemooh pengesahan RKUHP, Presiden akhirnya turun tangan dengan menunda pengesahan RKUHP tersebut.
Wakil rakyat yang merumuskan RKUHP dan RUU KPK, beralasan bahwa rancangan undang-undang tersebut dibuat dengan hati nurani dan kajian yang panjang, serta telah melalui diskusi yang mendalam. Namun faktanya, walaupun DPR mengaku rumusan RKUHP telah dipersiapkan dengan baik, tetapi rakyat mengecam dan menolak RKUHP dan RUU KPK disahkan.
Banyak aktivis HAM, demokrasi dan Pejuang Perempuan merasa dirugikan dengan adanya rumusan UU yang dirancang oleh DPR. RUU tersebut dianggap telah merampas kebebasan individu, menghambat perkembangan demokrasi di Indonesia, dan juga sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Narasi yang terdapat dalam RKUHP selain abstrak, tidak jelas jantrungnya, picisan tapi juga mengekang kebebasan rakyat. So, bayangkan Anda yang menyimpan buku-buku kiri atau film +18 keatas secara pribadi dan untuk kepentingan pribadi, bisa dikenakan hukuman berupa penjara atau denda. Jelas RKUHP ini amat abstrak dan terlalu mengada-ada sehingga menabrak batas privasi individu.
Hakikat Hukum
Setiap orang pasti berpikir bahwa hukum diciptakan untuk menegakkan keadilan dan ketertiban, sehingga masyarakat percaya pada pemerintah dan aturan hukum yang telah dibuat sebagai suatu “penjamin keadilan.” Namun, apakah kenyataannya begitu?
Sekilas kita harus mengetahui bahwa hukum merupakan bagian dari kontrak sosial manusia. Thomas Hobbes mengatakan bahwa pada dasarnya manusia saling menyerang dan agresi untuk mendapat keuntungan, namun akhirnya mereka “capek” dan membuat konsensus non agresi dan melindungi hak milik satu sama lain. Disini Hobbes mengatakan bahwa hukum dibentuk untuk melindungi dan menjaga diri dan properti dari gangguan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh pihak lain.
Sebagaimana pendapat Friedick Bastiat, bahwa manusia telah dianugrahi oleh Tuhan berupa kebebasan, kepemilikan barang pribadi, dan juga hak untuk hidup. Sehingga setiap orang tidak berhak untuk merebut dan merampas kebebasan milik orang lain sebab kebebasan dan hak milik manusia adalah pemberian langsung dari Tuhan.
Inilah dasar bahwa manusia harus dijamin kehidupannya, kebebasannya, kepemilikannya oleh intitusi negara. Dan jalan untuk melindungi itu semua adalah melalui: produk hukum. Negara harus membuat hukum yang setepat-tepatnya dan seadil-adilnya sehingga orang tidak bisa merampas dan merebut milik dan kebebasan orang lain secara paksa.
Namun pada kenyataannya, negara yang dianggap sebagai pelindung dan penjamin kebebasan manusia (melalui aturan hukum) dalam sejarahnya kerap berbalik melawan dan justru mengontrol kebebasan manusia dengan menciptakan berbagai produk hukum dan aturan-aturan yang dipaksakan kepada rakyat.
Dengan begitu hukum memiliki dua sisi, bisa menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan melindungi kebebasan, atau malah melindungi oknum-oknum yang tidak adil untuk merampas kebebasan manusia.
Oknum-oknum politisi yang mempunyai agenda atau kepentingan ideologi tertentu bisa saja mempermainkan hukum demi kepentingan pribadi atau karena ada “pesanan” dari pihak lain yang berkempentingan. Pada akhirnya suatu rumusan hukum bisa menjadi “bisa” bagi masyarakat yang sebenarnya perlu dilindungi oleh “bisa” hukum tersebut dari gangguan para penjahat.
Kita harus memandang bahwa hukum bukanlah suatu aturan yang sakral walau itu adalah konsensus bersama. produk hukum harus dikritisi bahkan dirubah jika seyogyanya merusak kebebasan dan tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak. Bisa kita lihat lewat RKUHP yang dirancang seolah-olah sebagai pelindung masyarakat, tetapi nyatanya justru menabrak kebebasan masyarakat.
Apakah masuk akal menghukum gelandangan dan fakir miskin yang terpaksa mengorek sampah untuk mencari sesuap nasi? RKUHP yang diproses oleh DPR dan akan disahkan akhir bulan September tahun ini (2019) justru sangat konyol. Gelandangan didenda 1 juta, lantas bagaimana mereka membayar denda?
Seorang perempuan dilarang pulang malam dan jika dilanggar akan dikenakan denda 1 juta rupiah, apakah hukum seperti ini logis? Bagaimana jika perempuan itu pulang malam karena bekerja, atau karena macet atau karena suatu alasan yang tidak bisa diperkirakan oleh kita? jelas aturan ini sangat mengekang kebebasan perempuan. Jika takut kejahatan menimpa perempuan, justru harusnya yang dipergiat adalah patroli aparat, bukan malah mengekang perempuan.
Lalu orang yang membuat “meme kritik” bisa dipenjara karena dianggap menghina lembaga pemerintah. Lho bukankah prinsip utama demokrasi adalah kebebasan sipil? Bukankah prinsip utama dari suatu negara demokratis adalah kepemimpinan rakyat dan diawasi oleh rakyat? Aturan ini bukan hanya ambigu tetapi justru mencederai demokrasi dan menarik mundur bangsa Indonesia ke arah otoritarian seperti Orde Baru.
****
Hukum bukan cerminan keadilan, tetapi melalui hukum orang-orang bisa dicegah dari berbuat tidak adil. Hukum adalah instrumen yang menjamin keamanan manusia, namun tak ayal suatu produk hukum bisa berbalik mengekang dan menjarah kebebasan manusia jika dibuat oleh oknum-oknum jahat yang memiliki kepentingan pribadi. Karena itu dalam merumuskan suatu hukum, para akademisi dan rakyat sipil harus mengawasi secara ketat, agar para politisi tidak bisa berbuat sewenang-wenang dalam merumuskan suatu hukum.
Tolak ukur suatu hukum harus dilihat dari segi sejauh mana hukum itu melindungi kehidupan manusia, melindungi kebebasan manusia, melindungi hak milik, dan menjamin keamanan. Jika suatu produk hukum justru merampas kebebasan individu seperti yang dirumuskan oleh DPR lewat RKUHP maka tentu harus ditolak. Dengan alasan bahwa RKUHP tidak efisien mencegah kejahatan, justru malah mengekang kebebasan.
Kita bersyukur masyarakat banyak yang mengecam tindakan gegabah DPR yang hendak meresmikan RKUHP yang kontroversial. Kita juga bangga dengan para mahasiswa yang berjibaku untuk menyampaikan aspirasi bahwa rakyat tidak membutuhkan RUU KPK dan RKUHP yang dirancang oleh DPR. Ini menandakan bahwa kita (masyarakat Indonesia) masih membutuhkan dan memperjuangkan kebebasan.

Reynaldi adalah seorang aktivis muslim moderat yang tertarik untuk mengembangkan ide-ide mengenai toleransi, kemanusiaan, kebebasan, dan kerukunan antar umat beragama. Email: adisuryareynaldi@gmail.com