Ketika Budaya K-Pop Menembus Dinding Sosialisme Korea Utara

    413

    Di Indonesia, budaya K-Pop sudah mulai digemari oleh kaum muda. Ditambah dengan tren “BTS Meal” yang beberapa waktu lalu menggemparkan masyarakat di dunia maya, ratusan orang mengantri di gerai McDonald’s seluruh Indonesia hanya untuk mendapatkan paket makanan yang mereka inginkan (Pedoman Tangerang, 9/6/2021).

    Bukan hanya di Indonesia, fenomena K-Pop juga sudah mewabah di seluruh dunia, baik di Asia bahkan di Amerika. Namun, ketika seluruh dunia di hipnotis oleh budaya K-Pop, ada satu negara yang sangat antipati pada kebudayaan Korea Selatan ini. Negara tersebut adalah Korea Utara.

    Korea Utara adalah salah satu negara yang masih menjunjung prinsip sosialisme dan komunisme. Dengan menjunjung prinsip Juche dan juga semangat patriotik dalam mencintai sang pemimpin (keluarga Kim), orang-orang Korea Utara mengisolasi dirinya dari pergaulan dunia internasional.

    Propaganda anti kapitalisme, anti Barat, dan juga anti Korea Selatan selalu dijalankan oleh mesin propaganda Korea Utara. Warga Korea Utara harus diyakinkan bahwa negara mereka adalah adidaya dan kuat. Rezim Kim juga selalu mempropagandakan bahaya Barat dan kapitalisme sebagai penjajah yang telah membuat rakyat di Korea bagian Selatan tertimpa kemiskinan dan kesengsaraan.

    Namun saat ini, Korea Utara sedang dalam masalah besar. Budaya Korea Selatan yang direpresentasikan oleh budaya K-Pop atau Korean Pop telah menembus dinding-dinding sosialisme yang dibagun oleh keluarga Kim yang telah bertahta selama tiga generasi.

    Pasalnya, budaya K-Pop yang menyerang masuk ke Korea Utara dianggap merusak kebudayaan sosialisme yang telah dibangun oleh rezim Partai Komunis Korea Utara dan juga oleh keluarga Kim. Budaya K-Pop kini mulai merasuki jiwa generasi muda. Lewat film-film, pakaian, dan musik, kebudayaan Korea Selatan telah mempengaruhi jiwa dan pikiran pemuda dan pemudi Korea Utara.

    Melalui film-film drama Korea, anak muda Korea Utara mengetahui bahwa sementara mereka berjuang untuk menemukan makanan untuk dimakan selama kelaparan, orang-orang di Korea Selatan melakukan diet untuk menurunkan berat badan. Belakangan, anak muda Korea Utara mulai frustasi ketika pemerintah tidak dapat menyediakan jatah makan dan menyebabkan jutaan orang meninggal. Keluarga-keluarga bertahan hidup dengan membeli makanan dari pasar gelap yang dipenuhi dengan barang-barang selundupan dari China, termasuk hiburan bajakan dari Korea Selatan (Independent.co.uk, 11/6/2021).

    Budaya pop Korea Selatan telah memasuki tembok tebal Korea Utara. Karena pengaruhnya yang semakin berkembang, hal tersebut mendorong pemimpin negara totaliter tersebut untuk menyatakan perang pada budaya baru dan meminta segala jajarannya menghentikan arus budaya tersebut.

    Kim Jong Un menyebut drama Korea (Drakor) sebagai “kanker ganas” yang merusak “pakaian, gaya rambut, pidato, perilaku” anak muda Korea Utara. Namun, karena arus kebudayaan Korea modern begitu kuat, bahkan seorang diktator seperti Kim Jong Un mengalami kesulitan untuk menahan arus tersebut (Pedoman Tangerang, 14/6/2021).

    Kebudayaan Sosialis, Kebudayaan Mandek?

    Dalam sosialisme, kebudayaan dikembangkan untuk memihak kepada kaum proletarian dan menumbangkan nilai-nilai borjuasi yang telah meracuni pemikiran masyarakat. Dalam pandangan Mao, seni dan sastra revolusioner adalah ketika ia menjadi senjata bagi massa rakyat untuk menyebarkan dan memperkuat sendi-sendi budaya sosialis (Mao, 2009).

    Secara umum, memang kebudayaan sosialisme memiliki visi positif yang tak bisa dibantah, di mana tujuannya adalah membangun semangat persaudaraan umat manusia tanpa memandang bangsa dan ras. Kebudayaan sosialis pada konsekuensinya akan mendorong ditegakkannya keadilan dan kesetaraan, dan menghancurkan kelas sosial di masyarakat.

    Namun sayangnya, dalam praktiknya, budaya sosialis justru malah menyebabkan kebalikan dari itu semua. Negara-negara sosialis yang pernah mewarnai sejarah abad 20 telah memberi penjelasan, bagaimana penyensoran pers, pembatasan kreativitas seni, pengekangan kebebasan berpikir menjadi suatu hal yang identik dengan negara-negara yang mengembangkan sistem sosialisme di tanah air mereka.

    Kita mengenal istilah Revolusi Kebudayaan di China, sebuah revolusi yang bertujuan untuk mengembangkan budaya masyarakat komunis dan mengikis nilai-nilai feodal tradisional masyarakat China. Revolusi kebudayaan yang dipimpin oleh Mao Zedong tersebut mempunyai visi untuk menciptakan sebuah budaya baru, yakni budaya komunal yang berlandaskan pada kolektivisme.

    Namun, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba kelompok empat yang dipimpin oleh istri Mao, Jiang Qiang, justru memerintahkan untuk menghapus identitas China yang agung, seperti merusak kuburan tradisional, membakar kuil, menghancurkan peninggalan sejarah dan berusaha menghapus kesenian tradisional yang dianggap bertentangan dengan sosialisme China. Banyak seniman ditangkap karena dianggap oportunis, para guru dan insinyur disuruh menggarap sawah, dan penyeragaman pikiran dilakukan untuk menciptakan sebuah “budaya komunal” (Aizid, 2013).

    Kebijakan represif dibalik propaganda “menciptakan kebudayaan sosialis” juga terjadi pada ranah kesenian. Para seniman di negara-negara sosialis dibatasi kreativitas dan kebebasannya karena dianggap bertentangan dengan kebudayaan dan seni revolusioner.

    Mochtar Lubis dalam esai Manusia-manusia Malang, menulis kisah seorang sastrawan terkemuka Soviet, Anatoly Kuznetsov. Ia adalah penulis buku yang cukup produktif dan karangan-karangannya laku dijadikan naskah film atau sebuah novel.

    Kuznetsov berusaha menulis dengan berpedoman pada “Seni Realisme Sosialis Revolusioner”. Namun, ia merasa semakin banyak karangan yang ia tulis, semakin ketat pula persyaratan untuk sebuah karya yang sesuai dengan Realisme Sosialis dan semangat Revolusioner Soviet (Lubis, 1993).

    Setelah banyak karangannya disensor dan beberapa bukunya tak bisa terbit karena tidak sesuai pedoman seni Uni Soviet, akhirnya Kuznetsov tak tahan lagi. Dengan kedok melakukan tur kunjungan ke Inggris, Kuznetsov sudah bersiap untuk melakukan pelarian, di mana ia bertekad untuk takkan lagi menginjakkan kaki ke Negara Merah tersebut (Lubis, 1993).

    Pada tahun 1968, Pengadilan Tinggi Soviet mengadili empat cendekiawan muda Soviet dengan tuduhan keempat orang tersebut telah melakukan tindakan subversif yang memiliki tujuan untuk menumbangkan rezim Komunis. Hal ini bermula dari karangan keempat pemuda tersebut yang membuat narasi kesengsaraan rakyat dan kritik sosial terhadap pemerintahan Kremlin (Lubis, 1993).

    Di Cekoslowakia dahulu, rakyat, aktivis, mahasiswa, seniman, dan juga para cendekiawan bersatu untuk merebut kembali kemerdekaan dari tangan Partai Komunis Cekoslowakia. Peristiwa Musim Semi Praha yang terjadi pada tahun 1968 tersebut membuat negara-negara Blok Timur menjadi was-was, sehingga pada bulan Agustus, Uni Soviet beserta tentara Blok Timur menginvasi Cekoslowakia dan menghentikan proses reformasi (Lubis, 1993).

    *****

    Sejak dekade 1950-an, keluarga Kim telah menyulap tanah gingseng tersebut sebagai tanah revolusioner. Semangat sosialis yang berkobar pada dekade 50-60an telah membuat harapan rakyat Korea Utara tumbuh. Impian kebebasan dan kemakmuran yang tidak mungkin diperoleh ketika Fasisme Jepang saat Perang Dunia II bercokol di Korea Utara, seolah akan terwujud tak begitu lama setelah “sosialisme menang di seluruh dunia”.

    Sayangnya, impian hanya impian. Rezim sosialis Kim tak mengubah keadaan kultur sosial dan politik di Korea Utara. Semua sama seperti rezim militerisme Jepang berkuasa di negara mereka, hanya bedanya saat keluarga Kim berkuasa, kebebasan dan kemakmuran bisa dinikmati dalam bentuk slogan yang tertempel di poster dan baliho partai komunis.

    Kebudayaan yang dikembangkan oleh Korea Utara memang dijuluki pemerintah sebagai kebudayaan sosialis, di mana semua masyarakat bersatu padu, gotong royong, saling melengkapi satu sama lain, sehingga menciptakan sebuah peradaban yang maju. Sayangnya, ini hanya sekedar deskripsi yang dilontarkan oleh juru propaganda pemerintah. Bukan sosialisme yang dijadikan fondasi kebudayaan, tetapi laras senapan dan politik kultus.

    Korea Utara adalah salah satu kisah memprihatinkan dari rezim otoritarianisme komunis yang masih tersisa. Apa yang disebut sebagai menjunjung kebudayaan sosialis adalah kesetiaan pada partai. Memegang teguh nilai-nilai nasional adalah ketaatan pada Keluarga Kim. “Kebebasan pers dan seni” diakui sepanjang tidak menyalahi norma-norma yang didiktekan oleh Partai Komunis Korea Utara.

    Gambaran di atas adalah sebuah renungan bagi kita, bagaimana dengan dalih sosialisme dan kepribadian nasional menjadi kedok untuk menghentikan kritik dan pendiktean massal terhadap rakyat. Jadi, wajar saja jika “Paduka Kim” begitu khawatir dengan masuknya budaya K-Pop ke tengah-tengah generasi muda Korea Utara, sebab budaya tersebut adalah generasi sensitif yang paling peka terhadap transformasi kultural.

    Bisa dibayangkan jika kultur K-Pop yang bebas, penuh kritik, dan blak-blakan, masuk ke dalam sanubari pikiran anak muda Korea Utara, tentu saja hal ini akan menjadi bom waktu bagi dinasti Kim. Mengutip Surat Kabar Korea Utara, Rodong Sinmun, tradisi K-Pop (Independent.co.uk, 11/6/2021), dalam hal ini, “Akan menerjang pertahanan kebudayaan Korea Utara seperti dinding yang lembab”.

     

    Referensi

    Buku

    Aizid, Rizem. 2013. Rezim Mao: Mao Zedong dan Kekuasaannya. Yogyakarta: Palapa

    Lubis, Mochtar. 1993. Budaya, Masyarakat, dan Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.

    Tse-Tung, Mao. 2009.  Kebudayaan, Negara dan Pembebasan. Yogyakarta: Desantara.

     

    Internet

    https://www.independent.co.uk/asia/east-asia/kim-jong-un-k-pop-vicious-cancer-b1864039.html Diakses pada 22 Juni 2021, pukul 21.20 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/tangerang-raya/pr-072029351/luncurkan-bts-meal-para-fans-bts-di-tangerang-serbu-gerai-mcdonalds Diakses pada 20 Juni 2021, pukul 13.32 WIB.

    https://pedomantangerang.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-072054673/tsunami-budaya-tak-terbendung-kim-jong-un-serukan-perang-terhadap-invasi-k-pop Diakses pada 20 Juni 2021, pukul 17.46 WIB.