Keputusan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk menyerang Ukraina adalah hal yang tidak terhindarkan bagi banyak pakar politik dan sejarah internasional. Hal ini karena NATO adalah ancaman terbesar Putin. Analogi yang sering disuguhkan adalah “Coba bayangkan jika tiba-tiba Mexico memutuskan menaruh pangkalan militer dan rudal nuklir Rusia, di seberang perbatasan dengan Amerika Serikat (AS), apakah AS akan tinggal diam?”
Ketakutan yang memang seakan-akan mendasar, jika kita tidak punya preseden sebelumnya. Ketakutan sering dilatari oleh ketidakpastian akan masa depan, tetapi ketidakpastian tersebut bisa diredam jika kita mempelajari sejarah. Mereka yang gagal mempelajari masa lalu akan celaka dengan melakukan kesalahan yang sama. Untunglah kita punya catatan masa lalu yang menunjukkan apa yang terjadi jika ada negara berbatasan langsung dengan AS memilih memarkir rudal Uni Soviet tepat berbatasan dengan AS: Kuba.
Bagi sejarawan krisis nuklir Kuba pada bulan Oktober 1962 adalah krisis nuklir paling genting dan paling dekat dalam sejarah terjadinya perang nuklir. Tetapi, kita bersyukur bahwa perang itu tidak terjadi. Krisis dimulai ketika gagalnya usaha Presiden AS, John F. Kennedy, menggulingkan pemimpin Kuba, Fidel Castro, melalui invasi militer di Teluk Babi. Kehadiran pangkalan nuklir AS di Turki dan Italia membuat pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev, secara diam-diam mengiyakan permintaan Castro untuk membangun pangkalan roket nuklir di Kuba. Rahasia keberadaan nuklir ini bocor ketika pesawat pengintai AS berhasil mengambil gambar proses pembangunan pangkalan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Kennedy memiliki berbagai pilihan langkah dan tindakan, mulai dari melancarkan invasi langsung ke Kuba atau mengebom pangkalan tersebut. Namun, Kennedy memilih cara yang paling tidak agresif, yaitu memblokade semua kapal yang keluar masuk Kuba, sehingga menyebabkan Soviet dan Kuba mau untuk bernegosiasi dengan AS. Singkat cerita, AS setuju untuk tidak akan pernah mencampuri urusan politik Kuba dan akan menarik semua senjata nuklir dari Turki. Sebagai gantinya, Kuba tidak akan menaruh senjata nuklir milik Uni Soviet di wilayahnya. Dengan demikian, malapetaka yang diakibatkan oleh nuklir dapat dicegah.
Kemudian, kenapa Konflik Ukraina tidak bisa diselesaikan seperti ini? Jika Putin memang takut dengan NATO, kenapa tidak menggertak terlebih dahulu? Alih-alih, kenapa justru sejak tahun 2004 terus ikut campur terhadap politik Ukraina, mengambil alih wilayah Ukraina pada tahun 2014, dan berbagai taktik yang tidak bersahabat lainnya? Karena bagi Putin musuh utamanya bukanlah NATO dan pangkalan militernya, tetapi demokrasi dan rasa nasionalisme dari bangsa Ukraina.
Putin secara resmi melakukan “operasi militer”-nya adalah untuk melakukan demiliterisasi dan denazifikasi Pemerintah Ukraina. Hal ini adalah alasan yang tidak berdasar, karena saat ini untuk pertama kalinya Ukraina dipimpin oleh seorang Presiden Yahudi. Yahudi dengan Nazi adalah air dan minyak. Mengatakan bahwa Pemerintah Ukraina dipimpin Neo-Nazi adalah alasan yang menggelikan. Ironi yang lebih kentara adalah ketika bom Rusia jatuh di Monumen Holocaust. Tentu, alasan Putin di atas harus kita anggap tidak berdasar.
Jika alasan utama adalah NATO, maka netralitas Ukraina adalah hal yang mudah dicapai. Sebagaimana Kuba yang berbatasan langsung dengan AS, Finlandia dan Swedia, dua negara yang berbatasan langsung dengan Rusia, bukanlah anggota NATO dan tidak ingin masuk NATO karena mereka menyadari berbahayanya langkah ini bagi mereka. Lalu, mengapa Ukraina ngotot masuk NATO dan Putin terlalu bodoh untuk tidak bisa mengusahakan netralitas Ukraina?
Kesulitan di atas terjadi karena dua alasan tambahan dan keduanya ini datang dari pribadi Vladimir Putin. Pertama, ketakutan Putin terhadap demokrasi. Tidak bisa disangkal bahwa Putin adalah seorang otoriter dan menjadi pendukung utama otoriter lainnya di negara lingkaran Rusia. Pasukan Rusia bahkan sempat turun untuk menumpas demonstrasi rakyat Kazakhstan. Rusia juga membantu rezim Lukashenko di Belarusia yang saat ini membantu Rusia dalam gempuran ke Ukraina. Melihat sebuah negara yang rakyatnya bisa memilih seorang komedian menjadi presiden adalah sebuah hal yang tabu bagi Putin. Bagaimana jika penyakit demokrasi ini berjangkit ke negaranya dan dia digulingkan oleh rakyatnya.
Alasan kedua, rakyat Ukraina. Putin tidak melihat rakyat Ukraina sebagai sebuah bangsa terpisah, melainkan bagian dari Rusia. Dengan demikian, membiarkan Ukraina merdeka, menentukan jalan hidup mereka sendiri, dan menjadi suatu negara yang bukan satelit Rusia hanya akan menumbuhkan identitas mereka sebagai bangsa yang terpisah dari Rusia. Khayalan Putin ini sudah terbukti di berbagai wawancara. Bukti yang paling gamblang adalah bocornya artikel yang sudah disiapkan Pemerintah Rusia jika Kyiv jatuh. Setiap orang yang membacanya, akan melihat jelas bagaimana cara pandang seorang Putin terhadap Ukraina.
Jika bukti ini kurang cukup, kita hanya perlu sekedar melihat sejarah 18 tahun ke belakang. Sejak tahun 2004, Putin telah aktif merecoki politik internal Ukraina. Percobaan pembunuhan terhadap calon Presiden Ukraina, Viktor Yuschenko, tindakan brutal terhadap protes rakyat di Maidan pada tahun 2014, aneksasi Krimea, menyokong pemberontak Donbass, semua ini menjadi bukti gamblang bahwa sejak dahulu, “Ukraina menjadi netral asalkan tidak diganggu Rusia” adalah bukan pilihan. Selama Ukraina masih demokratis dan tidak memilih menjadi satelit Rusia, Putin akan mengganggu kedaulatan politik Ukraina. Dan, bagi rakyat Ukraina membuat pilihan menjadi anggota NATO menjadi sebuah pertaruhan hidup-mati. Sebaliknya, bagi banyak pakar politik internasional, usaha Putin untuk mencegah Ukraina masuk NATO adalah masalah hidup dan mati bangsanya.
Kengerian Holodomor, Perang Dunia ke-2, kebrutalan rezim Uni Soviet, semua itu masih segar di ingatan. Tiga puluh tahun lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Ukraina menjadi negara merdeka dan mereka akan mempertahankannya mati-matian. Hidup berdampingan dengan sebuah negara adikuasa bersenjata nuklir yang tidak menghargai kemerdekaan mereka, maka pilihan untuk menjadi anggota NATO adalah pilihan mutlak. Menjadi anggota NATO bukanlah pilihan dari presiden mereka, melainkan pilihan rakyat secara demokratis, sikap yang juga ditunjukkan oleh dua presiden terakhir. Jika saat ini pun mereka ditinggalkan oleh NATO, pasti mereka akan bertarung sampai akhir. Hal yang sudah terbukti paling tidak dalam dua minggu terakhir konflik ini.
Hal di atas membuat prospek perdamaian menjadi kabur, paling tidak untuk waktu dekat ini. Sebagaimana saya sebutkan di atas, rakyat Ukraina akan bertarung mati-matian bagi bangsanya untuk kemerdekaan yang mereka rebut dengan darah dan perjuangan (baca: Revolusi Oranye, Revolusi Maidan, Konflik Donbass, dan lain-lain). Meskipun demikian, Vladimir Putin pun tidak akan mundur dengan mudah, karena mundur berarti lemah dan hal ini bisa membuka jalan bagi penggulingan rezimnya.
Kedua belah pihak akan terikat dalam konflik dan membuat berbagai pihak lainnya bisa mengambil peran penting dalam de-eskalasi. Pertama, rakyat Rusia yang mudah-mudahan bisa berpikir jernih dan membedakan mana bangsa, mana rezim. Kedua, masyarakat internasional, termasuk kita di Indonesia. Ajakan saya, jika kita masih mendukung nilai-nilai demokrasi, maka rakyat Ukraina membutuhkan dukungan tersebut.
*****

Penulis, Penerjemah, Pemerhati Hak Asasi, dan Pengulas Ekonomi, Politik, dan Peristiwa