Beberapa waktu lalu, Menteri Agama Republik Indonesia (Menag), Yaqut Cholil Qoumas, menyatakan bahwa Beliau ingin agar setiap kegiatan ke Kementerian Agama yang dipimpinnya tidak hanya diawali oleh pembacaan ayat suci Al-Qur’an, namun juga doa bagi agama-agama lainnya. Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Yaqut pada saat memberikan sambutan dalam rapat kerja nasional Kementerian Agama tahun 2021 (news.detik.com, 6/4/2021).
Dalam sambutannya, Menteri Agama mengatakan bahwa Kementerian Agama bukanlah organisasi massa keagamaan tertentu, atau hanya mengurusi satu agama saja. Kementerian Agama memiliki tanggung jawab untuk menjadi rumah dan melayani agama-agama lainnya. Oleh karena itu, pembacaan doa untuk agama tertentu saja di Kementrian Agama akan menunjukkan seolah acara di Kemenag tidak berbeda seperti acara organisasi kemasyarakatan (nasional.kompas.com, 8/4/2021).
Pernyataan dari Menteri Agama ini sontak menimbulkan pro dan kontra. Di satu sisi, ada pihak yang menyatakan mendukung keputusan yang diambil oleh Menteri Agama tersebut, karena merupakan bentuk sikap untuk menunjukkan toleransi dan menerima perbedaan. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) misalnya, mengapresiasi pernyataan dari Menteri Agama tersebut, yang menunjukkan kepedulian Menag yang melayani semua agama (indonesiaonline.co.id, 6/4/2021).
Di sisi lain, pernyataan dari Menteri Yaqut ini juga mendapatkan banyak kritik keras dari berbagai pihak. Wakil Ketua Umum (Waketum) Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, menyatakan bahwa yang menjadi fokus dalam kegiatan doa adalah melihat pembicara atau mayoritas peserta yang hadir di acara tersebut, serta wilayah tempat acara tersebut berlangsung. Waketum MUI juga menyatakan bahwa Menteri Yaqut dianggap kurang mengerti tentang toleransi (dw.com, 6/4/2021).
Tidak bisa kita tolak bahwa, agama merupakan salah satu isu yang sangat sensitif di negara kita. Merupakan fakta yang tidak bisa kita tolak bahwa, Indonesia bukan hanya rumah bagi satu agama saja, melainkan bagi banyak agama-agama dan kepercayaan lainnya, yang merupakan saudara-saudara kita satu bangsa dan satu tanah air.
Untuk itu, sikap toleransi dan menjaga kerukunan antar umat beragama merupakan sebuah hal yang tidak bisa ditawar-tawar untuk menjaga persatuan dan kebhinnekaan. Tanpa adanya toleransi dan kerukunan, maka tanah air kita tentu akan jatuh ke lubang hitam perpecahan hingga kekerasan.
Toleransi dan kerukunan tentu tidak cukup bahwa kita menerima keberagaman tersebut, dan bahwa ada orang-orang yang memiliki kepercayaan yang berbeda dengan diri kita, namun juga dibarengi dengan pengakuan bahwa mereka yang memiliki kepercayaan berbeda tersebut harus diperlakukan sama dan tidak boleh dibeda-bedakan. Hal ini jauh lebih penting lagi ditunjukkan dan diterapkan oleh lembaga negara, seperti Kementerian Agama.
Lembaga negara, seperti Kementerian Agama, adalah lembaga yang dibiayai dan dimiliki oleh rakyat Indonesia, terlepas dari keyakinan dan kepercayaannya, dan bukan oleh satu agama saja. Setiap penganut agama memiliki hak dan wajib mendapatkan perlakuan yang setara di setiap lembaga tersebut, tentunya termasuk juga Kementerian Agama, yang memiliki tugas untuk melayani seluruh penganut agama dan kepercayaan di tanah air.
Untuk itu, pernyataan dan sikap yang ditunjukkan oleh Menteri Yaqut ini merupakan hal yang sangat patut kita apresiasi. Memberikan kesempatan bagi seluruh agama untuk melakukan doa merupakan simbol yang sangat baik untuk menunjukkan bahwa, Kementerian Agama bukan hanya menjadi rumah dan melayani satu agama saja, namun juga agama-agama lainnya.
Kementerian Agama sendiri, melalui Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid Sa’adi, menjelaskan bahwa pernyataan Menteri Yaqut ini bukan ditujukan untuk diterapkan bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Pernyataan ini ditujukan hanya untuk acara internal Kementerian Agama (news.detik.com, 9/4/2021).
Menanamkan nilai-nilai toleransi dan menghargai keberagaman merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, terlebih lagi di lembaga negara yang mengemban kewajiban untuk melayani seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi jauh lebih penting mengingat saat ini politik identitas berbasis agama kembali meningkat, dan banyaknya tren radikalisme dan sikap fundamentalisme agama yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahid Institute tahun 2020 lalu misalnya, tren radikalisme dan intolernasi di negara kita cenderung meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kontestasi politik serta banyaknya pidato dan ceramah yang mengandung ucapan kebencian, yang tersebar di berbagai media sosial (antaranews.com, 18/1/2020).
Lembaga negara sendiri bukan lantas menjadi tempat yang imun dari tren meningkatnya radikalisme dan intoleransi ini. Tahun lalu, kita dikejutkan dengan berita banyaknya Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terpapar radikalisme. Salah satu pintu masuk pemaparan radikalisme tersebut berasal dari masjid-masjid di lingkungan kementerian dan lembaga negara (jabar.idtimes.com, 30/9/2020).
Salah satu langkah yang paling penting untuk melawan pandangan radikal dan intoleransi tersebut adalah memperkuat persatuan dan menanamkan nilai-nilai toleransi dan keberagaman. Karena Indonesia bukan hanya miik satu agama saja, namun merupakan rumah bagi seluruh penganut keyakinan dan kepercayaan.

Haikal Kurniawan merupakan editor pelaksana Suara Kebebasan dari Januari 2020 – Januari 2022. Ia merupakan alumni dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Haikal menyelesaikan studinya di Universitas Indonesia pada tahun 2018 dengan judul skripsi “Warisan Politik Ronald Reagan Untuk Partai Republik Amerika Serikat (2001-2016).”
Selain menjadi editor pelaksana dan kontributor tetap Suara Kebebasan, Haikal juga aktif dalam beberapa organisasi libertarian lainnya. Diantaranya adalah menjadi anggota organisasi mahasiswa libertarian, Students for Liberty sejak tahun 2015, dan telah mewakili Students for Liberty ke konferensi Asia Liberty Forum (ALF) di Kuala Lumpur, Malaysia pada tahun bulan Februari tahun 2016, dan Australian Libertarian Society Friedman Conference di Sydney, Australia pada bulan Mei 2019. Haikal saat ini menduduki posisi sebagai salah satu anggota Executive Board Students for Liberty untuk wilayah Asia-Pasifik (yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, Australia, dan New Zealand).
Haikal juga merupakan salah satu pendiri dan koordinator dari komunitas libertarian, Indo-Libertarian sejak tahun 2015. Selain itu, Haikal juga merupakan alumni program summer seminars yang diselenggarakan oleh institusi libertarian Amerika Serikat, Institute for Humane Studies, dimana Haikal menjadi peserta dari salah satu program seminar tersebut di Bryn Mawr College, Pennsylvania, Amerika Serikat pada bulan Juni tahun 2017.
Mewakili Suara Kebebasan, Haikal juga merupakan alumni dari pelatihan Atlas’s Think Tank Essentials yang diselenggarakan oleh Atlas Network pada bulan Februari 2019 di Colombo, Sri Lanka. Selain itu, ia juga merupakan alumni dari workshop International Academy for Leadership (IAF) yang diselenggarakan oleh lembaga Friedrich Naumann Foundation di kota Gummersbach, Jerman, pada bulan Oktober 2018.
Haikal dapat dihubungi melalui email: haikalkurniawan@studentsforliberty.org.
Untuk halaman profil Haikal di Students for Liberty dapat dilihat melalui tautan ini.
Untuk halaman profil Haikal di Consumer Choice Center dapat dilihat melalui tautan ini.