Kerukunan Beragama vs Kebebasan Beragama

    556

    Walaupun Indonesia pada dasarnya menjunjung Pancasila yang menaungi semua golongan, baik suku, ras, dan agama, namun itu tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa saat ini Indonesia adalah negara yang paling menjunjung pluralisme, demokrasi dan kemajemukan. Filosofi bhinneka tunggal ika nampaknya dipahami oleh sebagian orang bukan bersatu di antara keragaman, tetapi memaksakan keberagaman menjadi sebuah kesatuan.

    Hal ini dibuktikan dengan munculya kelompok-kelompok primordial, baik kedaerahan dan  keagamaan, yang saling menegangkan urat leher demi mempertahankan eksistensi komunitasnya. Hasilnya, keragaman tidak menghasilkan persatuan tapi ‘persatean’ (bahasa Bung Hatta), di mana kelompok minoritas dipaksa untuk mengikuti aturan kelompok mayoritas dengan dalih agar kelompok minoritas ingin tetap hidup damai.

    Contohnya adalah kasus penyitaan paseban (kompleks pemakaman leluhur) dari komunitas Sunda Wiwitan beberapa waktu lalu. Aliran Sunda Wiwitan sendiri adalah sebuah aliran kepercayaan yang diakui eksistensinya dan merupakan agama lokal masyarakat Sunda. Namun, walaupun mereka adalah pemeluk agama lokal, dari segi nominal, jumlah mereka sangat sedikit alias minoritas.

    Tentu ini sangat ganjil dan aneh. Bayangkan, aparatur negara yang seharusnya melindungi dan menjamin kebebasan dan keamanan komunitas Sunda Wiwitan, justru malah mencontohkan sikap intoleransi dengan menyegel Paseban Komunitas Sunda Wiwitan. Apakah penyegelan ini selaras dengan jargon-jargon yang sering didengungkan oleh pemerintah pusat tentang toleransi antar agama, anti radikalisme, dan juga menjamin pluralisme?

    Atau jargon-jargon “anti radikalisme”, “merawat kebhinnekaan”, “menjalin tenun kebangsaan”  hanya jargon kosong belaka? Slogan-slogan pemerintah bisa dikiaskan dengan pemanis buatan, yang jika dikonsumsi berlebihan akan membahayakan pencernaan dan ginjal. Begitu juga jargon dan semboyan palsu, jika hanya terpampang di spanduk, namun realitas di lapangan justru sebaliknya, lama-lama kebhinekaan akan rusak dengan sendirinya.

     

    Toleransi dengan Tendensi Mayoritarian

    Saya menganggap bahwa konflik umat beragama dewasa ini, seperti peristiwa penyitaan Paseban Komunitas Sunda Wiwitan, penganiayaan yang dilakukan oleh ormas intoleran pada komunitas Syiah di Jawa Tengah, perusakan salib pada pemakaman Kristiani di Yogyakarta, dan konflik agama yang berujung pembakaran Vihara dan Klenteng di Tanjung Balai hanyalah lapisan di permukaan yang menutupi masalah-masalah besar dibawahnya. Masalah-masalah tersebut umumnya berakar pada rasialisme, kesenjangan ekonomi antara pribumi dan nonpribumi, penolakan terhadap tradisi leluhur dan lain sebagainya.

    Walaupun di sekolah atau kampanye politik, kita selalu mendengar slogan-slogan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi toleransi, menghargai pluralitas, dan bangsa yang berlandaskan falsafah Bhinneka Tunggal Ika, namun slogan tetaplah slogan. Implementasi dan realitas di luar, sangat jauh berbeda dengan apa yang diucapkan oleh politisi dan pemerintah.

    Berdasarkan survei The 2015 Legatum Institute’s Prosperity Index misalnya, Indonesia masuk ke dalam urutan ke-123 dengan skor -1.69, dengan mempertimbangkan banyaknya kasus intoleran di Indonesia (Liputan6, 22/12/2016).

    Tentu saja, pencapaian ini tidaklah menggembirakan. Kasus penyegelan situs Paseban Komunitas Sunda Wiwitan, kekerasan yang menimpa komunitas Muslim Syiah dan Ahmadiyah, juga tekanan pada kelompok Kristen dan Hindu yang sulit membangun rumah ibadah,  membuktikan bahwa nilai-nilai kebhinnekaan dan pluralisme dalam masyarakat kita sudah mulai luntur. Tentu saja hal ini dapat berbahaya bagi negara kita.

     

    “Kerukunan Beragama” yang Membabat “Kebebasan Beragama”

    Kebebasan beragama dan kerukunan beragama secara sekilas nampaknya dua terminologi serupa. Namun, jika direnungkan lebih dalam, kedua istilah tersebut sangat berbeda maknanya. Kebebasan beragama, menekankan agar setiap orang menghargai kebebasan setiap individu dalam memeluk agama. Jadi, setiap individu dilarang mencampuri urusan agama individu lainnya.

    Sedangkan, istilah kerukunan beragama umumnya lebih menekankan kepada aspek sosial, di mana setiap pemeluk agama diminta agar menjaga suasana kondusif di lingkungannya. Jika ada pemeluk suatu agama dianggap menyinggung ketentraman komunitas agama lain, maka negara akan turun tangan karena orang tersebut merusak kerukunan.

    Yang terjadi di Indonesia, pemerintah lebih menekankan sikap “rukun” ketimbang menekankan “kebebasan” dalam hal agama. Nampaknya, kata “bebas” sudah menjadi phobia bagi pemerintah sehingga terminologi seperti kebebasan beragama, kebebasan individu, kebebasan seni, disingkirkan, diganti dengan kerukunan umat beragama, demokrasi yang bertanggung jawab, dan seni yang berkebudayaan.

    Pendekatan pemerintah yang menjauhi kebebasan dalam hal agama dan lebih menekankan aspek rukun inilah yang menjadi akar masalah. Penekanan terhadap “kerukunan umat beragama” malah memancung kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Misalnya, peribadatan komunitas Hindu di Yogyakarta dibubarkan polisi karena “mengganggu kerukunan dan ketentraman”, acara Asyura Muslim Syiah dibubarkan aparat karena masyarakat menilai kegiatan itu merusak “kerukunan dan ketentraman”. Pendirian gereja terpaksa dibatalkan demi menjaga “kerukunan dan ketentraman”.

    Jadi, demi sebuah “kerukunan dan ketentraman” aktivitas ibadah dan ekspresi keagamaan kelompok minoritas harus dihentikan. Hanya demi menjaga ketentraman dan kerukunan kelompok mayoritas, maka aktivitas ibadah umat Kristiani, Baha’i, Muslim Syiah, Ahmadiyah, Gafatar dan Komunitas Eden harus dihentikan bahkan berujung pengucilan (seperti Komunitas Muslim Ahmadiyah yang diberlakukan SKB Tiga Menteri sehingga komunitas mereka seolah dikucilkan oleh negara).

    Diskriminasi komunitas Sunda Wiwitan yang terjadi di Kuningan, juga buah dari menjaga “kerukunan dan ketentraman”. Pemerintah daerah menegaskan langkah penyegelan itu “sudah tepat dan strategis” dalam rangka mengantisipasi persoalan yang lebih besar dan “menjaga hal-hal yang tidak diharapkan” demi situasi kondusif di Kuningan (kompas.com 24/07/2020).

    Jadi akar masalah bukan hanya pada masyarakatnya, tetapi juga karena pemerintahnya yang tidak memberi ruang pada kebebasan beragama. Johan Galtung dan Dietrich Fischer pernah menulis mengenai masalah ini. Dalam artikel mereka menulis, untuk mengakhiri terorisme di suatu negara, maka kita harus menghentikan “terorisme negara”. Menurut Galtung dan Fischer, intoleransi dan radikalisme tidak akan muncul, kecuali pemerintah yang menyebabkannya (Galtung & Fischer, 2002).

    Mungkin kita bisa menangkap pesan dari Galtung dan Fischer, bahwa “terorisme negara” adalah kebijakan dan aturan pemerintah pusat maupun daerah yang justru intoleran. Pemerintah yang seyogyanya melindungi setiap komunitas, justru malah berpihak pada komunitas agama mayoritas, dengan banyaknya kebijakan pemerintah cenderung pilih kasih dan tidak toleran pada umat lain.

     

    Referensi

    https://www.liputan6.com/citizen6/read/2685341/indonesia-negara-paling-religius-di-dunia-tapi-kenapa-intoleran Diakses pada 11 Agustus 2020, pukul 22.56 WIB.

    https://regional.kompas.com/read/2020/07/24/06260091/diskriminasi-di-rumah-sendiri-menyoal-penyegelan-bakal-makam-tokoh-sunda?page=all Diakses pada 11 Agustus 2020, pukul 22.00 WIB.

    Galtung, Johan & Dietrich Fischer. 2002. To End Terrorism, End State Terrorism. Dikutip dari http://www.oldsite.transnational.org/SAJT/pressinf/2002/pf158_EndStateTerrorism.html diakses pada 11 Agustus 2020 pukul 22.48 WIB.