
Sebuah kerajaan, kekaisaran, kesultanan dan semacamnya dipimpin oleh seorang raja, kaisar dan sultan yang menduduki tahta secara turun temurun atau monarki. Dari sebuah sistem monarki itulah lahir yang dinamakan dengan dinasti atau sebuah pohon estafet kepemimpinan yang cenderung bersifat tertutup dari masuknya orang lain yang bukan merupakan keturunan dari penguasa.
Pola kedinastian ini merupakan ciri dari kerajaan-kerajaan di Nusantara sebelum era penjajahan. Di era itu, setiap rakyat tidak memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin dalam negaranya. Jangankan menjadi raja atau sultan, anak raja atau sultan saja tidak semua akan dipercaya sebagai pewaris tahta kerajaan atau kesultanan. Kebanyakan dan bahkan semua kerajaan-kerajaan di Nusantara tidak pernah mengangkat anak perempuan menjadi seorang pewaris tahta kerajaan, kecuali Tri Buana Tunggadewi yang memerintah dari 1328-1350 M (Ningsih, 2021). Tidak tahu apa yang menjadi faktor keengganan sang raja atau sultan mengangkat anak perempuannya menjadi seorang puteri mahkota. Tapi yang jelas, nenek moyang bangsa Indonesia kala itu masih dibalut dengan budaya patriarki yang sangat kental dan mendarah daging. Lalu, apakah kita selaku anak bangsa yang menginginkan sebuah kemajuan berpikir, terus menerus memelihara budaya patriarki tersebut? Akankah menganggap perbedaan gender itu sebagai alasan untuk menjadikan perempuan sebagai makhluk domestik?
Dari semua kerajaan-kerajaan yang sudah runtuh dan terkadang keturunannya juga tidak diketahui, terdapat beberapa kerajaan yang masih eksis dalam lingkup kekuasaan Republik Indonesia. Di antara kerajaan-kerajaan yang masih eksis dan paling menonjol keberadaannya sampai sekarang adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan dikuasai oleh Dinasti Hamengku Buwono.
Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningarat adalah salah satu kerajaan yang menjadi pecahan Kerajaan Mataram Islam, selain Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Kadipaten Mangku Negaran dan Kadipaten Paku Alaman (Abimanyu, 2015). Semenjak berdirinya, Dinasti Mataram Islam ataupun Kasultanan Yogyakarta, tidak pernah mengangkat anak perempuan menjadi penerus tahta kerajaan. Selain itu, mayoritas raja-raja, mungkin boleh dikatakan hampir semuanya selalu melakukan poligami dengan mengangkat beberapa permaisuri dan beberapa selir.
Kultur-kultur yang lazim dipelihara oleh para pendahulu, dalam hal ini pengangkatan penerus tahta dari kalangan laki-laki dan raja yang menikahi banyak perempuan, tidak dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X (Hamengku Bawono I). Sutan yang naik tahta (bahasa jawa: Jumenengan) sejak tahun 1989 sampai sekarang (Abimanyu, 2015), banyak mengeluarkan berbagai pemikiran dan tindakan yang modern dan reformis, salah satunya adalah pengangkatan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama Mangkubumi selama ini hanya disematkan untuk anak laki-laki tertua yang merupakan calon penerus tahta dan tidak untuk yang berawalan GKR, tetapi didahului dengan GPH atau Gusti Pangeran Haryo.
Penunjukan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi menuai pertentangan dari semua saudara-saudara (Sentono Dalem) Sultan HB X. Pasalnya, pangugeran atau peraturan adat yang sudah selama ini dijunjung tinggi oleh keraton tidak mengakui adanya sultan perempuan. Namun, walaupun begitu, Sultan tetap mempertahankan gelar tersebut melekat pada puteri pertamanya.
Taktik Sultan HB X untuk mengangkat anak pertamanya menjadi penerus tahta bisa dilihat dalam pergerakannya melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (Rahardian, 2017), yang dirasanya mengandung unsur-unsur ketidakadilan gender atau diskriminasi terhadap kepemimpinan perempuan di Yogyakarta. Diskriminasi yang dimaksud adalah tertera dalam Pasal 18 ayat (1) hurif m yang berbunyi “menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak” (JDIH BPK RI, Tanpa Tahun), redaksi tersebut menunjukkan kepemimpinan perempuan tidak diperkenankan dalam pemerintahan Yogyakarta. Penulis merasa ini adalah sebuah tindakan politik Sultan HB X supaya tahta yang sedang didudukinya sekarang tidak jatuh ke tangan siapa pun, kecuali pada anaknya. Permohonan judicial review yang dilayangkan pada Mahkamah Konstitusi ternyata dikabulkan melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 88/PUU-XIV/2016 yang menyatakan dalam amar putusannya bahwa frasa “yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, isteri dan anak” dalam UU No. 13/2012 Pasal 18 ayat (1) hurif m, bertentangan dengan UUD 1945 (JDIH BPK RI, Tanpa Tahun). Dengan demikian, artinya Yogyakarta memiliki celah untuk dipimpin oleh seorang perempuan.
Menyikapi hal tersebut, para saudara-saudara Sultan (Sentono Dalem) merasa keberatan dengan keputusan tersebut. Mereka menilai bahwa adat di daerah mana pun tidak bisa dirubah, dan keputusan MK yang mengabulkan permohonan Sultan, statusnya batal demi hukum. Penolakan tersebut berbuntut panjang sampai memanasnya hubungan Sultan dengan para Sentono Dalem, bahkan ada pula yang dicopot dari jabatan struktural Pemerintahan DI Yogyakarta. Saudara Sultan juga sempat ada yang mengancam akan mengusir isteri dan anak-anaknya, jika pengangkatan GKR Mangkubumi tetap tidak dicabut.
Sebagai masyarakat adat, tentunya memiliki kewajiban untuk mentaati peraturan adat yang telah ada sebelumnya. Namun, sebagai masyarakat yang berpendidikan tinggi dan visioner untuk kemajuan daerah dan adatnya, tentu perlu juga dilakuakan reformasi dalam internal keraton. Para Sentono Dalem harus bisa berpikiran terbuka dan menerima kemajuan ini dengan lapang dada dan lapang pemikiran. Kepemimpinan perempuan bukan untuk melawan setiap kebijakan atau aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur, tetapi tetap menghargai dengan melakukan keterbukaan pada setiap aturan.
Di era ini, sudah tidak zaman lagi perempuan menjadi kelas dua atau bahkan dikesampingkan. Keterbukaan ini adalah bentuk manipertasi dari kesetaraan dan keadilan gender. Keterbukaan peraturan dengan menerima kepemimpinan perempuan tidak salahnya dilakukan, masyarakat Yogyakarta juga sudah memiliki pendidikan dan cara pandang modern untuk memperlakukan sama kepada perempuan dalam masalah politik. Alangkah baiknya Sultan HB X juga mulai melakukan perubahan terhadap aturan-aturan lain yang tidak substansial dan tidak mewakili rasa keadilan dalam masyarakat saat ini.
Sultan HB X bisa mencontoh sistem pengangkatan pemimpin di Kerajaan Inggris, yang tidak mempermasalahkan gender dalam pengangkatan penerus tahta. Dinasti Hamengku Buwono atau yang sekarang diganti menjadi Hamengku Bawono perlu melakukan pendobrakan mengenai pengangkatan penerus tahta. Misalnya, kedepannya Hamengku Bawono adalah anak pertama yang digolongkan mumpuni dalam melanjutkan tahta, atau bahkan siapa saja pangeran atau puteri Sultan yang paling siap dan mampu memimpin, diangkat mejadi Hamengku Bawono selanjutnya.
Sebelum menutup, penulis ingin mengutip terlebih dahulu apa yang disampaikan oleh Permaisuri Sultan HB X, Gusti Kanjeng Ratu Hemas. Beliau pernah berkata: “Perempuan itu bukan lagi konco wingking, neroko katut suwargo nunut. Perempuan juga makhluk mandiri yang sesungguhnya tangguh.” (Akun Instagram GKR Hemas: @gkr_hemas).
Referensi
Abimanyu, S. (2015). Kitab Terlengkap Sejarah Mataram. Yogyakarta: Saufa.
JDIH BPK RI. (Tanpa Tahun, Tanpa Bulan Tanpa Hari). About Us: JDIH BPK RI. Retrieved from JDIH BPK RI Web site: https://www.peraturan.bpk.go.id
Ningsih, W. L. (2021, Juli 19). Kompas. Retrieved from Kompos: https://kompas.com
Rahardian, L. (2017, September 6). About Us: CNN Indonesia. Retrieved from CNN Indonesia Web site: https://www.cnnindonesia

Emil Maula sedang menjalani pendidikan tinggi di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Fakultas Syari’ah dan Hukum prodi Hukum Tata Negara (Siyasah). Emil aktif di berbagai kegiatan ekstra kampus, kegiatan sosial kemanusiaan, dan kegiatan kepenulisan dan menghasilkan karya berupa dua buah buku fiksi.